16

27 6 0
                                    

Hidup memang tidak semenyenangkan itu. Tapi aku memilih membuat diriku bahagia sesering mungkin. Bahkan aku tidak memikirkan tentang perpisahanku dengan Arga. Kami memang bukan pasangan lagi, menjadi teman tidak akan seburuk yang dibayangkan.

Aku menyibukkan diri dengan kegiatan baruku. Menjadi penata rias perlu konsentrasi dan keterampilan. Egoku tidak boleh mengganggu pekerjaanku. Untungnya karena Salon Bintang sering dikunjungi artis aku bisa sering belajar. Meskipun hanya sebagai asisten aku sudah senang.

"Rana," panggil manajer salon.

"Iya, Bu."

"Minggu depan ada Jakarta Fashion Week. Kita butuh banyak bantuan disana. Kamu, Sheila, Arum, Veni dan Dini saya tugaskan untuk berangkat. Anggap saja ini permulaan buat kamu mengembangkan potensi. Saya lihat pekerjaan kamu selama ini rapi dan pelanggan cukup puas."

"Baik, Bu. Terimakasih atas kesempatannya," aku menjabat tangan Bu Meli erat, saking senangnya. Aku tidak sabar menanti hari Minggu. Dennis Mahadhi pasti ada disana. Membayangkan saja sudah membantu mempercepat proses move on hehe.

***

"Rana, stand by."

"Iya, Mbak Dini."

Dari lima orang yang ditugaskan dari salon kami, hanya aku yang tergolong anak baru. Sebisa mungkin aku menghormati semua senior disana. Mengikuti setiap arahan dengan baik. Tapi yang tidak suka dengan kita di setiap tempat pasti ada. Mbak Veni contohnya. Dari awal aku masuk kerja pandangannya dingin, tidak ada keramahan di setiap nada bicaranya. Aku pikir hanya perlu adaptasi saja. Dan kejadian menyebalkan hari ini pun disebabkan oleh Mbak Veni.

Aku bersiap di depan meja rias. Para model sudah mendatangi meja yang mereka inginkan. Aku sedikit gugup ketika melihat Dennis dan Rangga, teman satu grupnya dulu, mendatangi meja kami.

"Eh, lo ngerias Dennis aja, dia nggak terlalu terkenal tapi cuek banget. Nah Rangga buat gue, lebih terkenal, cakep pula," Mbak Veni dengan judes membagi tugas. Seharusnya dia tidak perlu menjelekkan Dennis, toh sebenernya aku senang sekali bisa merias idolaku.

Dennis diam dan menatap ke arahku. Aku ikut diam hingga lupa mempersilahkan dia duduk.

"Boleh duduk?" Kata Dennis sambil menunjuk ke mejaku.

"Bo boleh boleh, silahkan Kak," jawabku tergagap.

Jantungku berdetak sangat kencang, hingga terasa sesak di dada. Jantung tolong ya, kamu sudah 6 tahun lebih selalu sehat, kenapa ketemu Dennis rasanya sakit gini.

"Kamu emang pendiem?" Tanya Dennis melihatku yang tetap acuh ketika mulai membersihkan wajahnya.

"Nggak juga."

"Aku baru tau ada penata rias yang sebelum kerja pake lotion dulu."

"Itu bukan lotion, Kak. Ini hand sanitizer buat menetralkan. Aku pengen tanganku bersih sebelum menyentuh wajah orang lain," aku menjelaskan sambil memperlihatkan botol yang disangka Dennis adalah lotion.

"Bagus, aku suka."

Deg. Dadaku mulai sakit lagi, tapi aku berusaha tidak menunjukkannya di depan Dennis.

"Kamu kenapa, tiba-tiba pucat?"

"Ah nggak kok, make up-nya terlalu natural jadi terlihat pucat."

"Bisa gitu ya."

Setelah hening beberapa saat, Dennis mencoba mengajak bicara lagi. "Kok aku nggak pake masker dulu?"

"Nggak perlu, wajah Kak Dennis sudah halus dan lembab, hanya perlu sedikit polesan juga udah ganteng."

"Jadi aku ganteng?" Tanyanya sambil tersenyum.

Ganteng banget lah astagaaaa, aku ingin bilang sejujurnya tapi gengsi. "Bukannya semua laki laki ganteng?"

"Iya juga sih."

Suatu kebahagiaan bisa merias Dennis di masa tugas perdanaku. Apa karena terlalu senang, jantungku bereaksi agak berlebihan. Dennis juga friendly, pasti aku nggak mungkin lupa pengalaman hari ini. Terimakasih, Tuhan, aku bahagia hari ini.

"Selesai." Aku merapikan alat make up yang sudah kupakai.

"Mas Rangga, saya izin ke toilet sebentar ya." Aku mendengar Mbak Veni meminta izin ke toilet.

Dennis terlihat bermain handphone dan belum ada niat beranjak dari kursi.

"Den, pacar gue ada di lobi nih mau ketemu sebelum acara dimulai. Tapi kok mbaknya lama banget ya ke toilet." Kata Rangga sedikit mengeluh.

"Apa mau gue temuin Siska?"

"Dia maunya gue. Ntar kalo ngambek repot."

Dennis menatap ke arahku. Kemudian menatap ke arah Rangga.

"Kenapa?" Aku bertanya pada Dennis bingung.

"Kamu bisa kan selesaikan riasannya?"

"Ehm saya bisa saja, Kak. Tapi ini kan kerjaan Mbak Veni, saya nggak pengen ada salah paham."

"Lah kalian satu salon kan, bukannya lebih bagus saling bantu biar cepet kelar ya?"

Aku merasa kurang nyaman. Mbak Veni bukan tipe orang yang memaklumi keadaan ini. Sudah sering terjadi salah paham di antara kami. Namun melihat tatapan Dennis dan Rangga penuh harap, aku luluh juga.

Aku mengambil lipstik yang dipakaikan untuk Rangga. Belum sempat kuselesaikan Mbak Veni datang.

"Heh?! Lo tuh dibiarin kok ngelunjak? Suka banget ngerebut pelanggan orang?" Bentak Mbak Veni, meski nggak menimbulkan perhatian orang sekeliling tapi Rangga dan Dennis masih bisa melihatnya.

"Ini bukan salah dia, Mbak," Rangga berusaha membelaku.

"Mas Rangga tau kan. Semakin Mas bela dia akan semakin dimarahi?"

Begitulah Mbak Veni, salah satu manusia menyebalkan yang aku temui di dunia baruku. Aku menghela nafas dan memilih pergi.

UJARAN SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang