"Assalamualaikum, Ibuk."
"Wa'alaikumsalam, eh bareng Claren juga."
"Malam, Tante," sapa Claren sembari mencium tangan ibuku.
"Buk, Rana seneng banget. Akhirnya bisa kerja jadi asisten di Salon Bintang, salonnya Ivan Setiawan itu lo."
"Padahal mah biar ketemu Dennis Mahadhi, Tante, sampe dibelain kursus MUA segala," potong Claren.
"Sebenernya Rana pengen punya produk kecantikan sendiri, Buk. Doain ya."
"Iya ibuk pasti doain, tapi emangnya harus banget jadi MUA? Apa nggak sayang kuliahnya?"
"Cari kerja jaman sekarang nggak mudah, apalagi di Jakarta. Rana jadi MUA biar bisa tau banyak tentang kebutuhan konsumen."
"Berharap konsumennya Dennis Mahadhi kan," ledek Claren.
"Dih sirik, ya kalo ketemu sih bonus wkwk."
Aku dan Claren hendak melanjutkan obrolan di kamarku, berhenti karena ibu kembali memanggil.
"Ran, udah ngabarin Arga?"
Pertanyaan itu seketika membuat mood anjlok. Bagaimana tidak, sudah beberapa minggu dia susah dihubungi. Selain sibuk, dia juga sedikit dingin. Mungkin sibuk kerja, atau ada masalah. Entahlah dia sangat tau tentang diriku, tapi tidak sebaliknya.
***
"Selamat ya, Fer, eh dokter Fero maksudnya."
Hari ini Fero diwisuda. Nggak terasa 4 tahun perkuliahan dia berhasil jadi dokter, yah walaupun setelah ini masih harus koas. Fero tampak menawan dengan kemeja putih dibalut tuxedo biru dongker. Mungkin dia memang tampan, aku saja yang nggak sadar.
"Makasih ya, Rana si anak baik. Kok kamu bisa kesini sih, kan Arga nggak suka kamu terlalu deket sama aku." Kata Fero, dengan muka merasa bersalah.
"Fer, kita tuh temenan udah dari jaman MOS SMA, masa aku nggak datang cuma karena Arga nggak suka. Lagian dia udah ilang beberapa hari."
"Ilang dari mana? Terus yang di mobil putih itu siapa?"
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Fero. Terlihat sesosok lelaki yang keberadaannya beberapa hari ini kupertanyakan.
"Kok bisa pas banget. Padahal aku mau nemenin kamu, Fer. Maaf ya."
"Iya, Rana. Kamu datang aja udah seneng banget. Udah sana gih, takut singanya ngamuk."
"Wkwkwk ngaco. Ya udah bye." Kulambaikan tangan pada Fero dan menuju mobil Arga. Kuketuk kaca mobil sebelah kiri kemudi.
" Boleh masuk?"
Arga ternyata dari tadi melamun. Dia langsung turun dan membukakanku pintu.
"Kamu kelihatan pucat, habis dari mana?"
"Mau kemana kita?" Tanyanya tanpa menjawab pertanyaan dariku.
"Ya udah kita makan aja yuk."
Dalam hubungan kami dari awal dibangun dengan komunikasi yang baik. Namun sayang kami terhambat karena tidak pernah bertanya satu sama lain. Merasa sudah paham, dan akhirnya menerka keadaan pasangan. Itu yang justru menyulitkan. Masalahnya apa cara menanganinya dengan dugaan.
Kami seperti dalam perjalanan ke kutub Utara. Aku hampir membeku terkena dingin sikap Arga. Apa dia marah aku datang ke wisuda Fero? Memang dia bukan tipe posesif, tapi beda cerita kalo soal Fero.
Kucoba menetralkan suasana dengan memulai obrolan. "Sayang, aku mau cerita deh. Sebenernya udah dari kapan hari tapi kayaknya kamu sibuk jadi nggak enak hehe."
"Kamu nyindir ya?" Wah sepertinya aku salah memilih kata, tenang tenang aku nggak boleh kepancing. Kataku dalam hati menenangkan diri sendiri.
"Oh nggak gitu dong, sensitif amat sih pacar aku. Aku mau bilang kalo aku keterima di salon Bintang salonnya Ivan Setiawan. Seneng deh, kesempatan buat ketemu Dennis Mahadhi jadi besar hehe. Kamu tau kan aku suka banget sama Dennis, yah walaupun dia belum terkenal amat."
"Kamu sekarang kenapa sih? Tadi Fero, sekarang dibelain kerja di salon buat ketemu Dennis atau siapalah itu. Kuliah kamu mahal mahal buat apa?"
Astaghfirullah, salah ngomong lagi.
"Kok kamu gitu sih, aku tau kamu peduli tapi bisa lebih bagus dalam memilih kata nggak? Nggak ada yang sia sia. Cari kerja itu nggak gampang lo. Dan aku itu kerja di salon besar, MUA, aku pengen bisnis dan punya produk kecantikan sendiri. Kamu ngerendahin pegawai salon?"
"Bukan gitu ..."
Arga kembali diam, tidak menjelaskan sesuatu. Tidak meminta maaf atau bahkan mendebat pernyataanku. Mungkin baiknya aku juga diam, suasana hati Arga kurang bagus. Akan lebih bagus kalo aku membiarkannya berkutat dengan pikirannya dulu. Nanti juga dia cerita, pikirku.
"Kamu bosan nggak 6 tahun bareng aku?"
"Arga, kamu inget nggak setiap kamu tanya hal itu aku selalu jawab 'seharian sama kamu aku nggak bakal bosan, mungkin malah kurang' tapi hari ini aku merasa kita udah terjebak di rasa yang berbeda. Aku bertahan sama kamu karena aku egois."
"Maksud kamu?" Akhirnya dia menoleh, dan menghentikan mobil karena dia terpaksa memilih jalanan macet. Mungkin alasan agar bisa bicara lama.
"Aku egois, mempertahankan hubungan tanpa bertanya apa kamu ingin bertahan. Berusaha senang ketika bersama tanpa bertanya apakah kamu juga senang. Meski sedetikpun tidak ada kata bosan dalam hati tapi aku nggak pernah tau mungkin bosan sudah menggerogotimu. Suami istri yang seumur hidup saja pasti bosan, apalagi kita yang belum tentu jadi masa depan. Jadi sekarang aku akan hormati keputusan kamu."
Arga memasang wajah datar, tidak ada raut rasa bersalah. Arga dengan wajah teduh, menenangkan, yang sering mengusap kepalaku ketika bicara, sudah hilang, hanya dalam beberapa minggu. Tapi aku tetep tidak bergeming.
"Mungkin kita udah cukup lama bareng, tapi maaf kamu bukan masa depan yang aku cari, Rana. Aku bosan sama hubungan kita. Dan aku tau, kamu lebih suka aku jujur daripada pergi tanpa alasan bukan?"
Kalimat putus tanpa kata 'putus' ternyata lebih menyedihkan. Aku tidak menangis, sama sekali. Cukup baik kenangan yang kami punya. Aku masih bisa menyimpannya. Aku ingin membenci namun tidak ada hal buruk yang bisa kubenci dari Arga selama kami bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
UJARAN SEMESTA
Short Story"Ketika semesta tak berpihak pada rasa ..." Ini cerita yang sederhana, tapi mungkin akan rumit juga. Eh belum tau deng, masalah hati memang tidak bisa dianggap sepele kan? Rana si cewek biasa biasa saja yang setianya kelewatan. Arga si perhatian da...