Setelah kabur dari perpustakaan, Arga membawaku ke paralayang. Dia bilang cari tempat kabur yang jauh sekalian. Memang benar, tempat ini jauh dari perkotaan, bahkan sangat jauh dari rumah. Tapi aku suka, sejuk, pemandangan yang baru pertama aku lihat. Maklumlah, aku anak satu-satunya dan ayah udah meninggal, jadi ibuk super protektif. Paling jauh pergi maen cuma untuk kemah, itupun di lapangan sekolah yang orang tuanya boleh jenguk. Astaga.
Udaranya dingin, Arga malah membelikan es krim.
"Kenapa sih, Ran, kita harus pergi dari perpustakaan? Kamu bilang dia sahabat kamu? Kok pake takut ketemu."
"Ya justru itu, aku nggak mau diceramahi karena pergi sama sembarangan cowok. Mereka itu ngejaga aku banget."
"Ya emang kamu anak kecil jadi butuh dijaga, tapi aku bukan sembarang cowok dalam waktu dekat," kata Arga yang iseng nempelin es krimnya ke pipiku.
"Arga dingiiin!"
"Kita jadian yuk," ucap Arga dengan nada santai, mata lurus ke depan memandang hamparan rumah rumah dari ketinggian paralayang.
"Kamu gila ya? Kita baru kenal berapa hari, lagian rasa itu karena terbiasa."
"Rasa itu nggak bisa milih, bisa datang seperti sambaran kilat, atau seperti habisnya air laut."
"Aneh," yap aneh banget kan laki laki satu ini, gaya bicaranya layaknya penyair saja.
"Serius. Rasa itu anugerah dan rasa cinta nggak pernah salah. Tanpa kamu sadari Tuhan udah nuntun kamu menemukan cinta. Kayak aku nemuin kamu."
Mendengarnya aku tersipu, padahal mungkin dia cuma menggombal, sama aja kayak laki laki pada umumnya.
"Udah ah, makin ngelantur. Yuk balik, tadi aku lupa pamit ke ibuk kalo mau pulang sore." Aku berkata sambil berlalu meninggalkan Arga, berjalan menjauh akibat pipi yang semakin merah.
***
Aku tidak berencana mengajak Arga mampir. Kalau bisa dia langsung pulang aja deh, bikin pikiran berantakan jika terlalu lama bersama. Namun sepertinya rencanaku gagal. Ibuk sudah menungguku di teras rumah.
"Assalamualaikum, Tante. Maaf ya, Arga tadi lupa pamit kalau mau ngajak Rana ke perpustakaan." Di depan pagar Arga langsung mencium tangan ibuk. Sopan juga.
"Wa'alaikumsalam. Iya nak Arga. Ayo masuk dulu." Tawar ibu.
"Makasih Tante, lain kali pasti Arga mampir. Lagian sebentar lagi Maghrib, nggak baik juga bertamu."
"Aduh aduh ada yang bakal sering kesini, kayaknya baru jadian ya?" Tanya ibuk pada Arga.
"Maunya sih gitu Tante, tapi saya ditolak," jawab Arga sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Loh ditolak? Ya ampun sok cantik banget itu ceweknya," Ibu mengeraskan suara agar aku mendengar dari dalam rumah.
"Sayangnya cewek ini emang cantik Tante hehe."
"Udah, Buuk. Suruh pulang aja Arganya, keburu malem," aku tak mau mengalah dan menyahut dari dalam. Aku sengaja masuk rumah lebih dulu. Biar Arga sadar diri terus langsung pulang. Menghindari laki laki aneh itu lebih baik daripada mengganggu kewarasanku.
Aku mengintip dari jendela kamarku yang langsung mengarah ke pagar. Arga yang masih asik ketawa ketiwi bareng ibuk akhirnya pamit.
"Saya pulang dulu ya, Tante," ia mencium tangan ibuku.
"Hati-hati ya nak Arga. Sering main aja kesini, Tante seneng kalo Rana banyak temen baru."
"Siap, Bu Bos. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
KAMU SEDANG MEMBACA
UJARAN SEMESTA
Short Story"Ketika semesta tak berpihak pada rasa ..." Ini cerita yang sederhana, tapi mungkin akan rumit juga. Eh belum tau deng, masalah hati memang tidak bisa dianggap sepele kan? Rana si cewek biasa biasa saja yang setianya kelewatan. Arga si perhatian da...