10

68 7 0
                                    

6 bulan kemudian

Hari ini usiaku 16 tahun. Tidak ada yang spesial karena aku juga tidak terlalu suka dirayakan. Ibu membuatkanku kue kecil yang cantik, teman teman ku juga menelepon tadi pagi di tengah liburan mereka. Bersyukur aku lahir di bulan Juni. Setidaknya liburan sekolah selalu membantuku untuk melewati ulang tahun dengan biasa saja.

Perpustakaan adalah tujuanku hari ini. Setengah tahun terakhir aku hampir setiap hari pergi ke perpustakaan. Setelah mendengarkan cerita dari Fito tentang kecelakaan malam itu, aku merasa ada yang hilang. Padahal aku kembali sehat, jantungku juga baik baik saja. Tapi mungkin hatiku yang tidak baik baik saja.

Fero bilang malam itu Arga yg membawaku ke rumah sakit. Tapi kami mengalami kecelakaan akibat pengendara mobil lain yang menerobos lampu lalu lintas. Arga tidak terluka, hanya saja traumanya kambuh. Bahkan Arga pergi setelah dokter bilang kerusakan jantungku semakin parah.

Aku tidak mencari Arga meskipun aku ingin. Ada rasa rindu, tapi tertutup kecewa dan marah. Mungkin akhirnya aku sadar Arga penting. Bisa apa aku tanpa Arga. Hariku kembali sepi setelah dia menghilang. Dan aku terlalu takut mengetahui keadaannya. Tidak tahu apa apa sepertinya bisa memberi ruang hatiku bernafas.

Tempat yang kukunjungi masih sama. Gedung tinggi yang sekitarnya ditumbuhi pohon tabebuya. Mengingatkanku pada laki laki aneh itu tentunya. Aku lebih suka pergi ke ruang baca anak. Tidak terlalu ramai memang. Apakah aku membaca buku atau merenung sambil memegang buku, tidak ada yang tahu.

Aku berdiri di depan rak "Komik". Lama memilih dan memilah buku apa yang ingin kubaca hari ini. Melihat sampul bergambar laki laki memakai Hoodie mengacak rambut perempuan berkaos merah, aku kembali tertegun. Ah ada apa dengan pikiranku. Kenapa bayangan Arga tidak bisa hilang.

Aku mengembalikan buku itu ke rak dan tidak sengaja melihat sosok di seberang rak. Dia ... Seperti seseorang yang sering muncul dalam mimpiku. Aku terpaku, tidak percaya. Tiba-tiba amarahku membuncah, membuat degup jantungku semakin cepat.
Mengapa aku begitu marah? Aku juga tidak tahu.

Segera aku membalikkan badan. Meletakkan buku yang kupegang dan segera pergi dari tempat itu. Dengan sedikit berlari menahan agar air di pelupuk mata tidak jatuh, aku memakai sepatu dengan terburu-buru.

"Rana, tunggu," panggil sosok itu dari kejauhan. Ia berlari dan langsung berjongkok di depanku.

"Aku pikir kamu sudah bukan anak kecil lagi," katanya, sambil menalikan tali sepatu yang tidak kupasang karena terburu-buru pergi.

Aku masih diam tidak menanggapi. Sampai dia berdiri di hadapanku dan tersenyum manis seperti biasanya. Amarah yang tadinya menggebu mendadak luruh berganti miris. Aku ingin mengatakan banyak hal, namun aku terus berpikir kalimat apa yang bagus disampaikan. Dia yang menyadari perubahan suasana hatiku kembali berkata.

"Aku tau kamu pengen marah, aku terima kok. Aku baru sampai di Indonesia dini hari dan langsung ke rumah kamu, tapi Tante Sarah bilang kamu kesini. Aku minta maaf ya, hmm?"

Pertahananku sedikit lagi runtuh. Air di pelupuk mata sudah tidak sabar untuk mewakili perasaanku. Aku memberanikan diri bergerak ke arahnya. Dengan lembut, aku memeluknya. Semakin lama semakin erat dan kubenamkan wajahku di dadanya yang bidang. Tangisku pecah tanpa suara. Arga, lelaki itu membalas pelukanku dan berkata.

"Jadi kalo sekarang aku bertanya, 'Rana, kamu mau nggak jadi pacar aku?' kamu jawab apa?"

Ya, laki laki itu Arga. Dia kembali.

UJARAN SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang