Selamat membaca ...
Tungkai semampai berbalut kaos kaki motif beruang itu mematung kaku tepat di depan daun pintu. Gedung serba guna, rasanya Gaby ingin pergi dan berlari saat itu juga. Menjauh dari tempat dengan manusia yang seharusnya tak ia temui.
Melihat obsidian dan bertemu tatap dengan sosok Jaehan bukan hal yang menyenangkan. Jika itu sempat terjadi, hanya akan menggores luka lama. Anggap saja Gaby lemah. Menyerah begitu saja sebelum benar berjuang. Sejujurnya kala itu, di bawah senja musim hujan penuh memori dirinya tak benar-benar ingin pergi.
Namun sungguh tak sanggup kalau harus menelan ucapan berisi makian setiap waktu. Jika tidak beruntung, perlakuan kasar juga ia dapat. Dorongan kuat dari belakang membuat Gaby terhuyung. Buku-buku dalam pelukan yang sudah ia bawa jatuh berceceran. Orang itu lagi, mereka secara tidak langsung merundungnya.
Sengaja menyenggol dan melewati Gaby dari belakang dengan kasar.
"Ups sorry. Gak sengaja gue," ucap salah satu dari mereka.
Beruntung Dena dan Juwita datang tepat waktu. Mereka dengan segera menolong Gaby. Dengan hati-hati membawa gadis itu menuju tempat duduk yang sudah ditentukan. Memastikan adik mereka yang satu itu tak tersentuh orang jahat lagi—barang sedikit pun.
Setelah benar-benar duduk dengan nyaman, Gaby melihat sekeliling. Seluruh pasang mata tertuju pada dirinya. Termasuk siswa lain yang bukan dari kelasnya. Melihat Gaby, seperti melihat makhluk astral dari planet lain.
Di sisi lain, sepasang mata elang menatap segerombolan orang dengan nyalang. Noah—pemuda itu dengan terang-terang memandang sinis beberapa orang yang dengan sengaja mendorong Gaby tadi. Sungguh tidak suka jika orang yang seharusnya ia lindungi disakiti oleh orang lain. Apa lagi di depan matanya sendiri. Lebih parah, Noah tidak bisa berbuat apa-apa selain melihat dan mengumpat.
Namun, jujur Noah lebih tidak suka saat orang di sebelahnya—Jaehan, terlihat dengan jelas memandang Gaby dengan tatapan berbeda.
Dia..., terlihat memuja.
***
Dua puluh lima menit berlalu tapi belum satu soal pun Jaehan jawab. Pikiran pria dengan senyum semanis madu itu berkelana melawan waktu. Saat ini Jaehan hanya memandang Gaby yang duduk gelisah tepat dua bangku di sebelah kanannya.
Sejak kedatangan Gaby yang berdiam diri di depan daun pintu, Jaehan sudah menaruh atensi. Netranya tak lepas memandang gadis itu. Apa lagi saat Gaby di gandeng kedua orang temannya untuk duduk. Jaehan ikut khawatir dan ingin membantu.
Rungu Jaehan jelas mendengar namanya disebut beberapa kali. Bukan hanya dirinya tapi nama sahabatnya—Noah juga ikut terdengar. Membuatnya otomatis melirik Noah yang duduk tepat di sebelah kirinya. Pemuda dengan rahang tegas itu terlihat penuh emosi.
Jaehan sama sekali tidak paham dengan situasi yang terjadi. Dirinya juga sempat melihat Haidar yang nampak tidak tenang dan terus bergerak dengan gelisah.
Sampai suara decitan kursi menarik atensi semua makhluk dalam ruangan itu. Gadis yang sedari tadi menarik atensi Jaehan mengumpulkan jawaban ulangan fisika tepat di tiga puluh menit pertama.
***
"Gila gila, Gue kira tadi si Gaby izin ke WC. Ternyata ngumpulin jawaban," teriak Haidar di tengah ramainya kantin pada jam istirahat. Membuat seisi kantin menoleh padanya dan juga dua pria tampan lain di sekitarnya.
Wajar sih Haidar bersikap demikian. Memangnya siapa yang tidak kaget saat ada seorang siswa dari kelas lain yang kebetulan melaksanakan ulangan bersama dengan kelasnya mengumpulkan lembar jawaban tepat di menit ke tiga puluh pertama. Bahkan Haidar tidak berpikir akan menyelesaikan soal sebanyak itu jika pun diberikan waktu tambahan yang sangat banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing Puzzle Piece
Teen Fiction~Tanpa sadar, ada yang kurang, ada yang hilang~ . Jaehan pikir hidup yang dirinya jalani terlampau baik-baik saja. Kedua orang tua yang harmonis, kehadiran adik laki-laki yang menggemaskan, dan juga kebersamaan bersama para sahabat yang sama sekali...