Selamat membaca ...
Kepulan asap beserta semerbak aroma nikmat masakan yang masih panas mengudara. Semakin menambah kesan jika olahan yang dibuat sepenuh hati oleh Lina sangatlah nikmat.
Setidaknya begitu isi dari pikiran Leo saat ini. Anak berusia lima tahun itu dengan setia menemani sang mami memasak. Tentunya juga bersama mobil mobilan mainan warna biru langit kesayangannya.
Mata indah bak sebening rusa itu memancarkan binar. Melihat betapa banyaknya varian menu baru saja terhidang di depannya. Buru-buru anak menggemaskan itu meletakkan mobil mainan dan berlari mencuci tangan.
Membuat Lina sukses terkekeh ringan dibuat tingkah lucu si bungsu. Hal semacam ini membuat rasa lelah perlahan luntur.
"Mi, ayo! Lele udah laper." Leo menyerngit heran. Kenapa sang mami belum menuangkan nasi dan lauk kedalam piring di hadapan mereka. Padahal dirinya sudah mencuci tangan pakai sabun dan tidak menyentuh mobil mainan kesayangan lagi barang sedikit pun.
Lina tersenyum hangat membalasnya. "Sabar ya, kita tunggu Papi sama Abang pulang dulu. Emang Lele udah laper banget?"
Leo mengangguk yakin dengan poni yang memantul lucu. Kedua tangan mungilnya ia letakkan di depan perut yang rata.
"Laper, pengen sosis rasa chicken," ucapnya sambil menaruh atensi penuh pada sepirng kecil sosis goreng di hadapannya.
Tangan lembut Lina perlahan mengusap pucuk kepala Leo. Membuat sang empu menoleh bingung. Kenapa sang mami sedari tadi terlihat tidak semangat—begitu kiranya.
Lina terus saja teringat kejadian malam kemarin. Anak pertamanya Jaehan, seharusnya tidak mendapatkan informasi semacam itu sebelum ingatannya benar-benar kembali. Lina jadi bingung sendiri.
Lina sungguh ingin memberi tahu fakta yang sebenarnya terjadi. Namun itu terlampau berbahaya. Memori di dalam otak Jaehan akan mengalami kejutan dan mengakibatkan sesuatu yang tidak diinginkan.
Namun jika Lina terus menutupi hal ini. Ia seratus persen yakin jika anak sulungnya pasti akan mencari tahu sendiri. Jika informasi yang didapat anaknya hanya sebagian, Lina takut nanti akan timbul prasangka dan spekulasi yang tidak sesuai fakta.
Membayangkannya saja sudah tidak mengenakan.
***
Jaehan memasuki rumah dengan langkah gontai. Bahkan sang papi yang berada di belakang pemuda itu pun terheran-heran melihat tingkah anak sulungnya.
"Cape banget ya jagoan Papi?" selidik Beri sambil memijat ringan bahu lebar anaknya. Sedangkan Jaehan yang mendengar sebutan kekanakan itu hanya mendengus kesal. Sedikit menggoyangkan bahunya agar tangan sang papi terlepas dari sana.
"Apaan sih, bukan anak kecil lagi tau!"
Lina yang melihat dua orang yang dinantinya juga merasakan hal yang sama. Jaehan terlihat lebih lelah dari biasanya. Apa ini ada hubungannya dengan kejadian semalam. Apa Jaehan memikirkan semuanya sendiri sampai kelelahan.
"Besok weekend, pasti cape udah seminggu sekolah."
Beri menagguk menyetujui perkataan istrinya. Berjalan dengan senyum sumringah menuju kursi yang sudah diduduki oleh jagoan yang satu lagi. Mengecup pipi gembil itu sekilas dan mengacak rambut lembutnya dengan gemas.
"Jangan cium! Papi bau," seru Leo sambil mengusap ngusap bekas ciuman sang papi dengan sebelah tangan. "Pokoknya Lele marah! Papi sama Abang pulangnya lama. Lele udah laper," lanjutnya dengan kedua tangan berkacak pinggang.
"Maaf deh, tadi jalannya macet. Mobil Papi jadinya gak bisa maju," jelas Beri sambil mengelap kedua tangan yang baru saja selesai dicuci. Sedangkan Leo tetap berekspresi marah. Dengan mulut mengembung lucu dan salah satu tangan memegang garpu yang menancap dalam pada sepotong sosis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Missing Puzzle Piece
Teen Fiction~Tanpa sadar, ada yang kurang, ada yang hilang~ . Jaehan pikir hidup yang dirinya jalani terlampau baik-baik saja. Kedua orang tua yang harmonis, kehadiran adik laki-laki yang menggemaskan, dan juga kebersamaan bersama para sahabat yang sama sekali...