13

32 5 1
                                    

Selamat membaca ...

Jaehan memandang heran, dan juga aneh sebuah gitar yang sangat manis dalam genggaman gadisnya yang tak kalah manis juga. Saat ini, Gaby tengah memangku benda itu sambil sesekali memetiknya dan bersenandung pelan.

"Kok gitu sih liatnya, katanya mau belajar gitar?" Gaby sedikit mengguncang-gunang tubuh Jaehan.

"Se—sekarang?"

"Iya, kalo besok-besok Aku full bimbel," jelas Gaby. Sambil menaruh gitar itu ke pangkuan Jaehan.

Jaehan diam. Ekspresinya bingung—dan Gaby tahu.

"Kok diem, gak mau ya?" tanya Gaby lalu menarik gitar itu kembali dari pangkuan Jaehan. "Aku kira beneran tadi malam bilang mau belajar gitar."

Jaehan menahan gitar yang akan diambil alih Gaby. "Bukan gak mau, tapi sore ini tiba-tiba ada latihan basket."

Jaehan sedikit menyesal. Sebenarnya tadi malam dirinya tidak terlalu bersungguh-sunggguh mengatakan ingin belajar gitar bersama kekasihnya. Hanya ingin mencari topik obrolan dalam telpon—dan berhasil.

"Sorry, ini di luar rencana," sesal Jaehan dengan tulus dan diangguki Gaby.

"Yaudah sih, sekarang Kamu otw lapangan aja. Biar Aku tunggu di sini," ujar Gaby sambil mengedarkan pandangan mengelilingi taman belakang sekolah.

"Sendiri?" Jaehan menautkan kedua alisnya.

Gaby mengangguk yakin. "Aku bukan anak kecil, sana pergi."

***

Jaehan menyeka peluh yang membasahi wajah. Walau dadakan—beruntung dirinya menyimpan cadangan handuk kecil, baju ganti berupa kaos oblong, dan sebotol serbuk minuman berantioksidan tinggi di dalam loker.

Beruntung Gaby selalu mengingatkannya hal-hal kecil semacam itu. Membuat Jaehan tersenyum kecil di sela-sel alatihannya. Gadis itu, kekasihnya, Gabriella Somi memang sungguh luar biasa.

"Eh, gila Lo!" tukas Noah saat melihat tingkah aneh sahabatnya.

Mendengar itu Jaehan melemaskan bahunya. Sedari tadi pemuda itu sama sekali tidak sadar jika sudah melamun dan membayangkan terlalu jauh kesempurnaan yang dimiliki kekasihnya. Huh, jatuh cinta memang membuat gila—batin Jaehan di dalam hati.

"Jae, hp Lo bunyi dari tadi," teriak seorang dari belakang sana. Otomatis Jaehan beringsut meraih benda plasma pipih itu dari dalam tas.

75 panggilan tak terjawab dari Gaby Sayang.

Wajah Jaehan mendadak memucat. Tanpa aba-aba dirinya berlari meninggalkan Lapangan. Menghiraukan teriakan dari teman-teman satu team-nya.

Tujuan Jaehan hanya satu. Taman tempat terakhir dirinya melihat sang kekasih.

Tapi nihil. Tiga puluh menit sudah berlalu, namun Jaehan masih belum menemukan kekasihnya padahal sudah memutari taman lebih dari tiga kali. Naasnya, handphone Gaby juga tidak bisa dihubungi.

Jika saja dirinya langsung melihat handphone selepas latihan, tentunya mencari keberadaan Gaby tidak akan sesulit ini.

Tak buntu, Jaehan beralih menyusuri tempat lain. Kelas per kelas, koridor, gedung serba guna, gudang bahkan gedung kosong juga ia jamah. Tapi hasilnya hanya satu, si cantik Gaby belum ditemukan. Dan itu sungguh membuatnya semakin frustasi.

Langkah Jaehan kian menggebu. Pikirannya berkecamuk kesana-kemari. Tidak ada hal positif karena semua yang ada di benak pemuda itu hanya hal negatif.

Hanya satu tempat yang belum Jaehan telusuri.

Toilet wanita

Maka Jaehan kembali ke taman, lalu mencari toilet wanita terdekat di sekitar tempat itu. Tak perduli apa yang akan terjadi, toh sekolah juga sudah sepi.

Karena jika ramai, pastinya sang kekasih sudah mendapat pertolongan dari orang baik.

Tanpa permisi Jaehan membuka kasar sat per satu bilik pintu. Sampai pada akhirnya, pemuda itu tiba di bilik pintu terakhir dan mendapati hal yang sangat di luar dugaan.

Gadisnya dengan kondisi yang mengenaskan. Tentunya bersama gitar kesayangan yang bentuknya tidak sama lagi.

Tubuh basah kuyup. Rambut berantakan. Tanpa alas kaki. Dan, gitar kesayangannya yang sudah terbelah menjadi dua.

"Ya ampun," seru Jaehan sesaat setelah memeluk kekasihnya erat. "Maaf, sekali lagi maaf. Seharusnya Aku gak ceroboh ninggalin Kamu sendiri."

Gaby tak menjawab perkataan Jaehan. Tadinya gadis itu sudah tenang, tapi saat melihat Jaehan, rasa ingin menangis kembali muncul.

Sebagai kode dirinya lelah. Dan mungkin juga menyerah.

***

Setelah kejadian itu Gaby absen beberapa hari dalam kegiatan sekolah. Juga Jaehan, lelaki itu sibuk karantina di salah satu wisma untuk pelatihan intensif fisik dan juga keterampilan.

Karena tiba-tiba sekolahnya mengikuti kompetisi basket yang cukup bergengsi yang diadakan oleh salah satu universitas swasta ternama di provinsinya.

Dan itu membuat Jaehan tidak dapat bertemu atau menghubungi kekasihnya, barang satu detik pun.

Sampai akhirnya trophy kemenangan hadir di tengah-tengah tim. Juga medali menggantung di leher masing-masing peserta. Tak ketinggalan beberapa lembar uang seratus ribu dalam genggaman.

Tetapi Jaehan masih kesulitan bertemu sang kekasih.

Membuat pikiran Jaehan tetap pada sosok Gaby. Rasa bersalahnya selalu saja tertanam dalam diri.

Dan disinilah. Di dekat taman belakang sekolah. Namun lebih indah—walau hanya ilalang tinggi berwarna hijau.

Jaehan menunggu kehadiran Jeon Gaby.

Dirinya akan meminta maaf. Berjanji untuk menjadi lebih baik. Dan yang penting memberikan sebuah hadiah untuk kekasihnya.

Di rumah, di sudut kamar dekat nakas. Ada sesuatu yang baru yang Jaehan sudah belikan untuk seorang Gabriella Somi. Uang dari hasil bermain basket yang lumayan. Hasil jeri payah dan keringat Jaehan sendiri.

Spesial untuk orang ter-spesial di hidup Jaehan. Sebuah gitar toska, Jaehan menggantinya.

Tapi siapa yang tahu. Beberapa menit setelah memikirkan hal yang membuat kekasihnya bahagia namun harapan itu mendadak sirna.

Karena sore itu, Gaby hadir dengan kematangan ucapannya. Putus, berpisah, dan mengakhiri semuanya—adalah pilihan terbaik.

Terimakasih sudah membaca. Jangan lupa tekan bintang dan tinggalkan jejak di kolom komentar. Nantikan bab selanjutnya.

Missing Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang