14

26 6 2
                                    

Selamat membaca ...

"Ayo kita putus!"

Singkat, jelas, dan padat

Jaehan menggeleng samar. Berusaha menarik jemari lentik itu, Menggenggamnya dengan penuh atensi. Setelah kisah panjang yang mereka lewati, Jaehan pastinya menduga hal ini akan terjadi. Namun saat hari itu tiba. Saat kalimat keramat penuh dasar terurai dari birai ranum gadis itu, tetap saja.

Jaehan hancur.

"Jangan, Aku minta maaf. Aku janji hal ini enggak akan pernah terjadi lagi," gagap Jaehan dengan putus asa.

Sudut bibir gadisnya terangkat. Berusaha meraup udara sebanyak mungkin. Menahan sesak tatkala memorinya berkelana. Mengingat hal apa saja yang telah terjadi. Sakit—hanya itu yang ada.

"Aku cape," ucapnya lemah. Lalu menarik paksa jemari yang masih berada dalam genggaman erat jemari kekar Jaehan. "Aku pasti lebih bahagia setelah kita udahan," lanjutnya. Membuat Jaehan seketika bungkam.

Darah dalam tubuh Jaehan berdesir hangat. Seperti baru saja dihantam kenyataan pahit. Menyadari itu hanya akan berakhir penyesalan pilu.

Seharusnya Jaehan selalu mengawasi gadisnya. Seharusnya Jaehan selalu berada dekat di sisi gadisnya. Seharusnya Jaehan tidak lalai meninggalkan gadisnya.

Langit yang mengabu menjadi saksi. Menemani Jaehan dalam kesedihan tak kunjung usai. Seolah paham, rintik hujan ikut serta hadir di bumi. Menyamarkan tangisan Jaehan yang mungkin sudah membanjiri kedua pipi.

Pandangan Jaehan liar melihat sekeliling. Apakah gadisnya masih ada. Apakah Jaehan harus berlari dan mengambil payung untuknya.

Apakah gadisnya akan berubah pikiran setelah melihat Jaehan menyesali kesalahannya.

Tapi nihil, yang tersisa hanya rerumputan hijau yang bergoyang riang diterpa angin. Seolah-olah menertawakan Jaehan—di bawah rintik hujan.

Jaehan hancur.

***

Jaehan perlahan membuka kedua matanya. Samar-samar walau buram, ia dapat melihat langit-langit ruangan yang berbeda. Putih dan bersih. Tepat di sebelah kanannya ada sang mami yang terlihat memasang raut penuh khawatiran. Juga ada selang infus yang menyucuk punggung tangannya dengan dalam.

Ini rumah sakit.

Tapi kenapa.

"Kamu akhirnya bangun Nak," rintih ibu dua anak itu ketika melihat pergerakan Jaehan yang sedikit rusuh. Lina sungguh tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.

Wanita itu sejujurnya sudah menduga jika hal-hal semacam ini pasti akan terjadi. Namun saat waktu itu tiba, tetap saja rasa khawatir hadir tanpa permisi. Apalagi kejadian pingsan dadakan Jaehan terjadi saat anak itu berada di lingkungan sekolah tanpa pengawasan langsung dirinya.

Jaehan menggerakkan leherya yang kaku. Kepala Jaehana juga terasa jauh lebih nyaman. Membuat pemuda itu teringat bahwa dirinya sempat pingsan setelah menonton pertunjukan pentas seni. Dan Gaby—.

Kenapa kepala Jaehan tiba-tiba sakit lagi.

Melihat gestur anak bujangnya yang terlihat kesakitan dengan memegang bagian kepala belakang, buru-buru Lina memanggil dokter. Membiarkan sang anak ditangani orang yang lebih tahu dan ahli. Ibu dua anak itu hanya dapat berdo'a dan pasrah.

Apalagi ketika erang-erangan kesakitan Jaehan mengudara dan begitu menyucuk telinga. Lina hanya bisa menangis dan berharap sesuatu yang baik akan hadir.

***

"Biasa aja dong lihatnya!" Seru Jaehan saat menyadari dirinya menjadi pusat perhatian hampir setengah jam yang lalu. Setelah berjuang dalam kesakitan dan menerima penanganan yang tepat dari dokter. Syukur, saat ini Jaehan sudah pulih tanpa rasa sakit, bahkan sudah bercanda dan sempat menggoda salah satu perawat yang mampir.

Mendengar itu, Lina menghela napas kesal. "Kamu tuh ya, orang tua khawatir masih sempet cengar-cengir. kasih tau Mami apa yang diinget!"

Iya, saat ini Jaehan sudah mengingat semuanya. Tentunya berkat guncangan memori kilas balik ketika melihat penampilan dari Gaby. Dan juga, dengan keberhasilan Jaehan menahan rasa sakit yang luar biasa pada bagian belakang kepalang.

"'Kan Abang udah ceritain itu berkali kali Mi," ucap Jaehan setengah kesal. Bukan tanpa alasan, sang mami memang sudah menanyakan hal yang sama hampir belasan kali.

"Terus kalo udah inget mau gimana sama Gaby?" tanya Lina penasaran. Sungguh ibu dua anak berharap jika Gaby benar benar bisa hadir kembali di tengah-tengah keluarganya.

"Gaby, nama Kakak cantik yang itu kan Mi?" tanya Leo terlihat lebih bersemangat dari tadi. Apa yang si kecil itu pikirkan.

"Lele inget Kak Gaby?" Jaehan bertanya sambil merapikan helaian rambut adiknya yang menggantung berantakan sehingga cukup mengganggu pandangan bocah itu.

"Inget!" seru anak kecil itu cukup keras. Membuat Lina was-was akan ditegur perawat karena suara itu dapat mengganggu kenyamanan pasien lain.

"Kan waktu itu kita bertiga beli krayon warna-warni," tambah Leo bangga. Ditatapnya wajah sang kakak dengan raut penasaran polosnya. "Emangnya Abang gak inget? Waktu itu kan kita belinya bareng bareng sehabis sarapan pagi."

Pertanyaan polos Leo membuat Jaehan tersenyum gemas sambil menyadari kebodohannya sendiri. Masalahnya, kenapa sedari dulu dirinya tidak bertanya kepada sang adik. Walau sudah jelas, sang adik adalah makhuk paling polos dan jujur yang Jaehan kenal dalam hidupnya. Jadi, bukan kah anak ini tidak akan bebrohong tatkala dirinya bertanya ini itu tentang sosok Gaby.

"Iya Abang lupa, kenapa Lele gak ingetin dari kemaren?" tanya Jaehan sembari mencubit cubit ringan pipi gembil sang adik yang begitu menggemaskan.

Jaehan akhirnya dapat tersenyum dan merasa sangat lega. Ternyata potongan puzzle yang hilang pada dirinya sudah ditemukan. Tapi—apa yang harus dilakukan?



Terimakasih sudah membaca. Jangan lupa tekan bintang dan tinggalkan jejak di kolom komentar. Nantikan bab selanjutnya.

Missing Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang