09

31 8 8
                                    

Selamat membaca ...

Belasan gelas bekas pakai berjejer tak beraturan di atas meja. Sayup-sayup riuh kehadiran wanita dengan poles gincu merah pun masih mengudara. Lina menyelasikan sesi arisan rutin bulanannya dengan lebih cepat.

"Duluan ya Jeng, mau jemput anak bimbel." Kira kira begitu alasan Lina sebelum melenggang pergi dari kediaman salah satu sahabatnya.

Dan sekarang di sinilah Lina duduk. Di barisan kursi tunggu depan salah satu kelas bimbel ternama di negeri ini.Tentunya bukan untuk menjemput Jaehan. Karena tidak mungkin anak bujangnya itu mau mengikuti kelas tambahan di luar jam sekolah. Melainkan menantikan seorang obsidian gadis yang sudah hampir satu tahun penuh hilang dari pandangnya.

Gaby—Lina dengar gadis itu sudah kembali.

Selain karena melihat postingan gadis itu di akun media sosial. Lina juga menyadari kegelisahan Jaehan akhir-akhir ini. Tidak mungkin tanpa alasan. Dan ternyata benar. Gadis itu kembali.

Akhirnya yang ditunggu pun hadir dalam pandang. Gaby terlihat manis dengan kaos merah muda dan denim kodok selutut. Membuat Lina tersenyum hangat. Akhirnya kita bertemu lagi, bisiknya dalam hati.

"Gaby, ini Mami Nak!"

Suara lembut Lina mengudara bahagia. Setelah kurang lebih sepuluh menit menanti dalam kecemasan. Duduk bersama beberapa orang tua lain yang menunggu anak kesayangan mereka selesai mencari ilmu.

Lina merasa tidak terbebani, dirinya malah bersyukur. Kapan lagi bisa mendapat pengalaman menjemput dan menunggu anak bimbingan belajar. Di saat anak sendiri mustahil melakukan itu.

Gaby tersenyum kikuk. Tidak menyangka akan dikejutkan dengan kedatangan Mami Lina di gedung les nya. Tak ada pilihan, gadis dengan kaos kaki beruang di ujungnya itu menghampiri dan membungkuk ramah pada seorang yang entah sudah lama atau baru sebentar menunggunya.

Tak perlu waktu lama. Tanpa aba-aba apa lagi persetujuan. Lina menghamburkan pelukannya pada gadis di hadapannya. Lebih dari rindu, tak mengerti kenapa. Yang terjadi hanya tetesan peluh mengucur dari sudut matanya.

"Apa kabar? Kamu sehat Nak?"

"Baik, sehat juga Tante," balas Gaby dengan suara sedikit bergetar.

"Kabar Tante juga baikkan?" tanyanya balik. Sambil mengusap usap punggung ibu dua anak yang memeluknya itu.

Nyatanya Gaby juga rindu. Di sela terkejutnya, dia juga terharu. Dua insan itu berjalan bergandengan. Saling menautkan jemari lentik juga melempar seulas senyuman.

Seandainya hal buruk setahun lalu tida terjadi. Mungkin hal ini akan lebih sering mereka lakukan. Batin Lina dalam angannya.

"Kamu laper gak? Ayo kita beli makan!" Lina terlihat sangat bersemangat melanjutkan kebersamaannya bersama gadis bernama Gaby ini. Bahkan ibu dua anak itu rela melewatkan setengah sesi arisan rutin bulanan bersama teman sekolah menengahnya.

Gaby menggaruk tengkuk canggung. Sebelum sampai di depan pintu mobil, dirinya harus mengucapkan sebuah penolakan. Secepat kilat otak cerdasnya berpikir. Mencari kalimat terbaik untuk menolak ajakan itu.

"Laper Tan, tapi Bunda di rumah udah nyiapin cumi favorit Aku," final Gaby membuat Lina berekpresi kecewa.

"Yaudah kapan-kapan aja deh," respon Lina saat mereka sampai di depan mobil Lina terparkir. "Biar cepet, Mami anter aja yuk!"

Belum sempat Gaby membalas ucapan itu. Sebuah bariton mengintrupsi mereka. Membuat kedua wanita dengan jemari bertaut itu menegang kaku.

"Mami, ngapain di sini?" tanya Jaehan yang hadir dengan rasa penasarannya.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tugas kelompok sudah dikerjakan lebih dari dua puluh menit yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tugas kelompok sudah dikerjakan lebih dari dua puluh menit yang lalu. Tapi dua remaja itu masih nyaman bersandar pada masing-masing punggung kursi.

"Lo beneran gak mau bantu gue Chik?" kalimat yang sama mungkin sudah Jaehan ucapkan dua puluh kali. Tapi Chika, gadis itu tetap saja menggeleng kuat.

Tanda menolak.

"Please Chik, Lo gak kasian sama gue yang ilang ingatan ini." Jaehan mulai mengungkit kelemahannya.

Membuat Chika sedikit goyah. Jika dipikir-pikir cepat atau lambat Jaehan pasti akan tahu akan kebenaran itu. Pun lelaki itu tidak patut disalahkan. Jaehan dan Gaby keduanya sama sama korban.

"Bukannya Gue gak mau bantu," ucap Chika sedikit menjada. "Kalo sahabat Lo, bahkan keluarga Lo gak nagsih tau. Gue ya gak ada hak buat ngasih tau.".

Jaehan mendesah pelan. "Yaudah, bantu Gue kasih info-info aja tentang Gaby."

Tanpa aba-aba Chika mengangguk pasrah. "Tapi anter Gue nyebrang jalan sampe halte bus yang deket perempatan itu ya."

"Gila jauh amat tuh," tolak Jaehan dengan tegas. Jika dipikir-pikir kenapa para perempuan selalu saja mencari keuntungan di dalam kesepakatan. "Telpon aja si Haidar biar Dia jemput Lo pake motor."

"Gak, lagian siapa dia harus gue mintain tolong. Kalo lo ga mau Gue bata—." Sebelum Chika menyelesaikan kalimatnya buru-buru Jaehan bangkit. Meraih tas gendong yang ia bawa, juga tumpukan buku milik Chika.

Dalam diam seribu bahasa—Jaehan sungguh membawa Chika dengan selamat. Bahkan menunggu gadis itu sampai benar-benar duduk manis di dalam bus. Tidak boleh lecet sedikit pun. Bukan hanya karena gadis itu akan membantunya perihal Jeon Gaby. Tapi Jaehan juga mendapat pesan titipan dari sahabatnya, Haidar Hasbian.

Setelah memastikan bus yang ditumpangi Chika melaju stabil di jalan raya, Jaehan memutar langkah. Berjalan menuju mata angin lain untuk pulang menuju rumah.

Entah langkah nomor berapa atau berapa gedung yang sudah dirinya lewati, Jaehan melihat dua orang yang sangat familiar. Namun terasa aneh dan sangat tidak masuk akal jika mereka bersama.

"Mami, ngapain di sini?" tanya Jaehan. Namun netra elang yang hanya berpusat pada Jeon Gaby.

Missing Puzzle PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang