XIX

117 24 13
                                    

"Belum pulang? Serius?" tanya Jonathan pada Yudantara yang mengangguk. "Kok bisa?"

"Nggak tahu. Dewan sama sekali nggak ngabarin, Jo?"

"Kalau dia ngabarin, gue nggak akan sekaget ini, lah." Jonathan mendorong asbak ke arah teman satu angkatannya itu. "Gue juga baru tahu kalau ada masalah begini gara-gara Adit nge-forward chat-nya Tika yang nanyain soal Dewan. Lo udah coba nanyain ke adik sepupunya yang di Bandung?"

"Aku tadinya mau nanyain, tapi nggak boleh sama Tika; takut ganggu konsentrasi dia karena mau ujian. Mau nanya ibunya, takut beliau malah panik juga. Mana nomor mereka berdua nggak bisa dihubungin semua. Si Bona udah ngotot bilang kalau mereka kayanya kejebak di kereta gaib, tapi kaya mustahil aja gitu." Bibir Yudantara mengepulkan asap dengan kesal. "Nggak mungkin ada hal mistis kaya gitu 'kan, Jon?"

Perasaan yang aneh dan janggal sudah merayap dalam benak Jonathan. Setelah mengalami hal di luar nalar beberapa waktu lalu di rumah baru Wijanarko bersaudara, bukan tidak mungkin kalau hilangnya Dewantoro dan Johanna saat ini juga berhubungan dengan hal-hal seperti itu.

"Selama mereka belum pulang, lo sama yang lain nutupinnya gimana, Yud?"

"Aku bilang aja kalau adik sepupunya Dewan masih dalam kondisi belum bisa ditinggal, dan mereka maklum-maklum aja. Toh, kerjaannya Dewan masih bisa diurus sama Tika atau Anne sampai gladi kotor. Kalau sampai gladi kotor dia belum balik, ribet."

Benar, ribet. Jonathan bahkan tidak mau membayangkan bagaimana pusingnya anggota Divisi Acara kalau Dewantoro belum juga kembali dari 'cuti' panjangnya.

"Omong-omong, kamu sama Theo kemarin ada urusan apa di rumahnya Adit? Ceritain, dong."


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dewantoro bergidik untuk kesekian kalinya. Wajah-wajah yang hancur dan tak berbentuk itu terus mengarah kepadanya juga Johanna selagi mereka berjalan menyusuri gerbong, berusaha menakuti kakak-beradik itu untuk segera enyah dari kereta gaib yang mereka tumpangi.

Keduanya kini tiba di gerbong restorasi, tempat mereka makan sekaligus bertemu dan berbincang dengan Hadrian beberapa saat lalu. Melihat suasana di gerbong itu masih sama seperti sebelumnya, Johanna menatap Dewantoro yang menganggukkan kepalanya, kode bahwa mereka tetap melanjutkan perjalanan ke gerbong berikutnya.

Belum sempat Johanna membuka pintu gerbong, sebuah tangan penuh luka bakar dengan satu jari terpotong setengah mencengkeram lengannya, membuat mahasiswi itu terkejut.

"Jangan ke sana."

Suaranya parau sekali, mengingatkan Johanna pada suatu tempat dengan dinding berwarna abu-abu. Tempat yang gelap, penuh debu, dan bercak-bercak darah di lantai berwarna putih. Kemudian seseorang menggenggam erat pergelangan tangan Johanna, berusaha menahan usaha gadis itu untuk melepaskan diri.

"Jangan ke sana, nanti ketahuan-"

Dan Dewantoro menyadari apa yang sedang, dan mungkin, akan terjadi.

Ia menarik paksa tangan kakaknya dari si orang asing dengan luka bakar yang Dewantoro sadari tengah memakai seragam seperti kondektur kereta. Tubuh Johanna merosot, kemudian ia mengeluarkan jeritan yang begitu mengerikan; yang Dewantoro kenali sebagai jeritan seorang anak kecil.

"Ampun." Johanna memohon di tengah-tengah jeritannya. "Ampun."

Dewantoro tidak bisa melakukan apa pun selain memeluk kakaknya dengan erat, membenamkan wajah Johanna pada dada bidangnya untuk meredam jeritan memilukan itu. "Ssst, nggak apa-apa. Ini Dewan, Mbak. Ini Dewan."

Hantu kondektur dengan nama Slamet itu bergeming, namun tak lama kemudian ia dengan pelan bergerak mendekati dapur.

"Teh. Butuh teh. Biar sadar."

Dewantoro tidak peduli, tapi kepalanya mendongak ketika Slamet sudah setengah berjongkok di dekatnya.

"Suruh hirup." Slamet menunjuk ke arah teh yang ada di tangannya. Lagi-lagi teh beraroma melati. "Biar sadar."

Dalam situasi normal, Dewantoro pasti akan mempertanyakan perintah itu serta hasil dari penelitian mana yang menyebutkan kalau menghirup aroma teh melati bisa menyadarkan Johanna. Namun, karena Dewantoro berada di sebuah kereta gaib yang mana artinya ia sedang mengalami situasi yang tidak normal, maka pria jangkung itu memilih untuk mengikuti saran dari si kondektur.

Benar saja, perlahan jeritan Johanna mulai melemah, berganti menjadi rintihan kemudian kakak perempuan Dewantoro itu terdiam sambil mengatur napasnya. Dewantoro mengecup puncak kepala Johanna kemudian mengangguk pada Slamet.

"Makasih."

Slamet tersenyum. "Di sini aja. Jangan ke sana."

"Kenapa?"

"Nanti kaya gini." Slamet, yang Dewantoro sadari tampak sebaya dengannya, menunjuk pada wajah yang sebagian hancur dan agak miring itu. "Sakit."

"Sakit? Kok bisa sakit?"

"Mau nahan." Cara Slamet berbicara tidak begitu jelas, Dewantoro memperhatikan dengan dahi berkerut. Mungkin karena bentuk rahang bawah kondektur itu bergeser dari posisi rahang bawah pada umumnya.

"Kamu mau nahan siapa?"

"Yang punya pistol," bisik Slamet. "Aku didorong."

"Didorong? Ke mana?"

"Ke sana. Terus mukaku. Sakit."

Slamet menunjuk ke arah pintu gerbong, dan Dewantoro tidak membutuhkan waktu lama untuk memahami serta membayangkan apa yang terjadi pada Slamet beberapa tahun silam.

Seorang kondektur muda, dengan polos dan gigihnya berusaha menahan si penembak sebelum ia akhirnya dilempar keluar melalui pintu gerbong dan ... Dewantoro tidak mampu melanjutkannya.




•••




R's Notes
Slamet ngomongnya singkat-singkat karena rahang bawahnya yang geser itu, ya, jadi bikin dia susah buat ngomong lebih dari empat atau lima kata.
Ada yang bisa nebak Johanna aslinya kenapa?

The Last DutyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang