Memeriksa ponselnya, Jihanne mengerutkan dahi karena lagi-lagi pesan yang ia tujukan baik kepada Johanna maupun Dewantoro tidak terkirim. Sejak semalam, Justika dan Bonaventura pun mengeluhkan hal yang sama. Apakah ponsel mereka tidak mendapatkan sinyal? Rasanya tidak mungkin. Bisa jadi daya baterai ponselnya habis, iya 'kan?
•••
"Mbak Hanna dari dulu emang sukanya bolu kukus, ya?" ucap Dewantoro setelah ia selesai membersihkan apelnya dengan tisu. Johanna mengangguk sambil bersenandung, dengan pelan melepaskan cup case dari bolu kukus supaya remahannya tidak jatuh ke baju dan celananya.
"Soalnya enak, Wan. Walaupun belum ada yang nandingin bolu kukus buatannya Ibu, sih."
"Kalau itu nggak mungkin kayanya. Masakannya Nyonya Yuli tuh 'beda'."
Mahasiswi berambut sedang itu terkekeh geli. Meskipun sudah bertahun-tahun ia mendengarnya, Johanna masih belum bisa menerima panggilan kesayangan Dewantoro untuk ibu kandungnya sendiri: Nyonya Yuli.
Selesai melepaskan cup case, Johanna kemudian menggigit bolu kukusnya, merasakan betapa lembut dan manisnya kue itu. Tidak terlalu manis, sesuai dengan selera Johanna. Ia sebenarnya ingin mengakui kalau bolu kukus yang sedang ia kunyah itu lebih enak dibanding buatan ibunya, tapi ia takut menjadi anak durhaka.
Selagi mengunyah, ia bisa mendengar gigitan renyah dari sebelah, yang ia asumsikan kalau Dewantoro sedang menggigit apel.
•••
Tidak ada.
Itu adalah hal pertama yang langsung disadari Jihanne sejak ia menunggu di stasiun hampir setengah jam lamanya. Ia memperhatikan setiap penumpang yang keluar dari kereta dengan tujuan Bandung - Yogyakarta, tetapi Jihanne tidak melihat dua wajah familiar yang ia cari.
"Mbak?" Seorang petugas stasiun menghampiri Jihanne yang terlihat pucat dan kebingungan. "Nyari siapa?"
"Maaf, Pak. Untuk kereta rute Bandung - Yogyakarta yang pagi hari, apa cuma ini aja?"
"Iya, Mbak."
"Nggak ada kereta yang belum dateng, mungkin?"
"Yang belum dateng, ya, masih nanti siang, Mbak. Kalau yang pagi ini sudah sampai di Jogja semua."
Jihanne setengah berlari keluar dari stasiun, mengabaikan tawaran beberapa supir taksi dan langsung mendekati Yudantara yang sedang mengobrol dengan salah satu tukang becak di pinggir jalan sambil merokok.
"Lah? Kok sendirian, An?"
"Mereka nggak ada, Yud."
"Hah? Nggak ada gimana? Jangan aneh-aneh."
"Aku udah nunggu di dalem, dan aku nggak lihat Hanna maupun Dewan turun dari kereta yang rute Bandung - Jogja."
"Sama sekali nggak lihat?"
"Sama sekali."
Yudantara mengerutkan dahi. "Kamu nggak salah hari, 'kan? Jangan-jangan mereka pulangnya masih nanti atau malah besok."
"Nggak mungkin salah, ya, su. Tika aja juga bilang kalau mereka berdua pulang pagi ini."
•••
Kunyahan Johanna melambat, merasakan sesuatu yang aneh dengan makanannya. Melihat ke sisa bolu kukus yang belum ia makan, Johanna bisa melihat sesuatu yang menggeliat dari dalam jajanan pasar itu.
Secara refleks ia melempar bolu kukusnya sambil memuntahkan sebagian yang sudah ia makan, sampai ia menyadari ada semacam bola kaca pecah dengan bercak berwarna merah yang menggelinding mendekati bekas gigitan bolu kukus.
"Wan?"
Tidak ada jawaban.
Menoleh ke arah Dewantoro, tatapan Johanna membulat. Mulut Dewantoro penuh darah, yang sudah menetes ke seluruh pakaiannya. Di pangkuan adiknya, Johanna melihat pecahan kaca yang ia yakini berasal dari bola tadi. Tidak ada apel, yang ada hanya bola kaca dan pecahannya.
"Dewan!"
Dan lampu gerbong itu mendadak mati total saat Johanna meneriakkan nama adik laki-lakinya dengan histeris.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Duty
HorrorSame train, same destination. But different situation. -Bathed in Fear, Project 2. © 2020 nebulascorpius