Menutup novel yang sedari tadi menemani perjalanannya, Johanna akhirnya berhasil menyelesaikan bacaan itu sebelum ia sampai di Yogyakarta. Sembari meregangkan otot, ia melirik ke arah Dewantoro yang masih tertidur lelap, tampak tidak terganggu dengan pembicaraan beberapa orang yang duduk di bagian belakang.
Yah, itu benar. Johanna mulai mendengar suara dua orang sedang berbicara saat ia masih sibuk berpetualang dengan Detektif Takizawa dan Detektif Takako Otomichi dalam novelnya. Lambat laun, ada orang lain yang turut berbicara dengan dua orang sebelumnya. Samar-samar, Hanna bisa mendengar kalau mereka bertiga sedang membicarakan sebuah penjara kuno yang menurut legenda sangat angker.
Di mana lokasi penjaranya, Johanna sendiri tidak tahu.
Langit masih berwarna hitam, bahkan tidak ada kehadiran bintang di atas sana. Kalau boleh jujur, Johanna merasa kereta yang ia tumpangi saat ini berjalan lebih lambat dari kereta yang biasa ia tumpangi. Bukan masalah besar, sih, karena itu artinya ia punya waktu untuk beristirahat sejenak sebelum kembali beraktivitas sebagai seorang mahasiswi.
Meskipun tahun ini ia tidak lagi menjadi panitia ospek universitas seperti Dewantoro, Johanna ternyata menjadi panitia ospek di fakultasnya sendiri. Meskipun Jihanne dan Bonaventura sudah merengek kepadanya untuk tetap mendaftar sebagai panitia ospek kampus, Johanna menolak dengan alasan ia ogah mengorbankan libur panjangnya lagi.
Menyilangkan kedua kakinya, Johanna memutuskan untuk memejamkan mata sebentar, mulai merasakan lelah karena terus-terusan membaca sejak ia berangkat dari Bandung. Mahasiswi itu terlelap, dengan pembicaraan soal penjara dan beberapa kasus dari para narapidana menjadi lagu pengiring tidurnya.
Dan mimpi membawanya pada suatu kenangan yang ingin Johanna lupakan seumur hidupnya. Tentang bagaimana ia menangis pilu, berusaha melindungi ibunya dari amukan seseorang. Wajah Yuliana memerah, atau bisa dibilang, sudah memiliki bekas telapak tangan yang cukup besar di pipinya. Jauh di balik punggung ibunya, Dewantoro beringsut, terisak dengan ujung bibir yang berdarah sambil menggenggam erat uang kertas berjumlah Rp2000,00.
Tanpa sadar, Johanna mulai bergerak dengan gelisah, membuat Dewantoro terbangun dan langsung berlutut di depan kakaknya, mengabaikan kepalanya yang berdenyut karena langsung siaga bahkan sebelum dirinya benar-benar sadar.
"Mbak? Mbak Hanna?"
Perempuan itu tersentak, membuat Dewantoro dengan cepat menggenggam kedua tangan sang kakak dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan pria itu mengusap pipi Johanna.
"Wan ..."
"Nggak apa-apa, Mbak. Cuma mimpi, kok." Melihat Johanna masih terlihat panik, Dewantoro mempererat genggaman tangannya. "Minum, ya?"
"Air putih aja."
"Oke. Tak ambilin dulu di ransel."
Dengan enggan Johanna melepas tangan adiknya, dan Dewantoro buru-buru bangkit untuk mengambil sebotol air mineral dari ranselnya yang berada di rak bagasi gerbong.
"Kakaknya kenapa, Mas?"
"Eh?" Dewantoro nyaris menjatuhkan botolnya saat mendengar seseorang bertanya dari bangku penumpang paling ujung. Pria yang sebelumnya ia lihat pergi ke toilet, kini menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Mimpi buruk, Pak, tapi udah nggak apa-apa, kok."
"O, gitu." Pria itu mengangguk. "Saya kira kenapa, soalnya kedengeran lagi kaya minta tolong. Pas masnya masih tidur mungkin, jadi situ nggak denger."
Dewantoro hanya tertawa canggung lalu kembali duduk sambil menyerahkan apa yang ia ambil kepada Johanna.
"Ngomong sama siapa, Wan?" tanya Johanna setelah ia sudah merasa pulih.
"Sama penumpang yang tadi kita lihat mau ke toilet. Kok tahu, ya, kalau aku tadi tidur?"
"Pas kamu tidur tadi dia baru balik dari toilet, Wan. Jadi dia emang lihat kamu ngiler."
"Aku nggak ngiler!" elak Dewantoro sambil mengusap ujung bibirnya. Johanna hanya tertawa. "Sini, kalau mau tidur sandaran aku aja, Mbak."
Tanpa banyak tanya, Johanna melingkarkan tangan kanannya ke lengan kiri Dewantoro, kemudian menyandarkan kepalanya di bahu sang adik sambil menghela napas panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Duty
TerrorSame train, same destination. But different situation. -Bathed in Fear, Project 2. © 2020 nebulascorpius