XXI

114 27 7
                                    

Secara tiba-tiba, hawa dingin menyergap dari balik punggung Johanna, seolah tengah memeluk tubuhnya erat. Dewantoro yang duduk di sebelahnya pun sedikit menggigil. Tidak ada suara hujan yang jatuh mengenai sisi luar gerbong kereta, pepohonan yang mereka lewati pun tidak bergerak layaknya sedang ditiup angin. Baik di dalam maupun di luar gerbong, suasananya sunyi sekali.

Terlalu sunyi malah.

"Awas," desis Slamet, berusaha untuk memperingatkan. "Hampir sampai."

Dari kejauhan, mereka mendengar pintu gerbong dibuka dengan kasar, kemudian seseorang melompat; membuat gerbong restorasi itu sedikit bergoyang. Johanna memperhatikan bagaimana Slamet berjalan mendekati pintu yang ia jaga, berusaha menghalangi siapa pun yang berusaha melewatinya.

Perdebatan terjadi, lalu suara lemah Slamet yang berusaha keras untuk melawan dikalahkan oleh suatu benturan, kemudian teriakan pria muda yang memilukan membuat Dewantoro memejamkan matanya.

Kakak-beradik itu masih tetap duduk di kursi mereka, memunggungi seseorang yang berjalan menyusuri gerbong restorasi dengan jaket lusuh yang sedikit tersingkap; sebuah revolver diselipkan di pinggang orang itu. Johanna memberanikan diri untuk mencuri pandang, begitu juga dengan Dewantoro, dan keduanya melihat seberapa besar si pembajak kereta itu.

Lebih besar daripada Jonathan, teman mereka.

 
Saat pria pembajak itu berjalan melewati Winarso bersaudara, Dewantoro menoleh ke arah kakaknya yang disambut dengan anggukan kepala Johanna. Pemuda itu bangkit dari tempat duduknya, setengah berlari mendekati si pembajak disusul oleh Johanna.

Dan Dewantoro pun melompat, mencekik lawannya dari arah belakang menggunakan lengannya selagi Johanna dengan tangan terulur berusaha merebut revolver yang ia lihat.


•••


Justika memperhatikan hujan masih turun dengan derasnya dari lobi fakultas, menahan mahasiswi itu untuk segera pulang dan melepas rindu dengan kasur kesayangannya. Yudantara yang duduk di sebelahnya tidak terlalu memusingkan kondisi cuaca malam ini. Ia justru menikmati hujan sembari merokok, tidak mempedulikan peraturan kampus. Berbeda dari dua orang lainnya, Jihanne masih sibuk membaca ulang progress report per divisi, benar-benar mengabaikan hujan beserta hawa dingin di sekitarnya.

"Kak Jo lama banget ambil mobilnya," keluh Justika sambil mengusap kedua lengannya. Dalam hitungan detik, sebuah jaket berwarna hitam yang sudah mulai pudar dilemparkan oleh seseorang dan mendarat di wajah manis Justika, nyaris membuat gadis itu terjungkal.

"Nyoh."

"Nggak mau, pasti bau."

"Itu baru kemarin tak cuci! Pakai aja, nggak usah sok malu-malu anjing gitu. Takut naksir apa gimana?"

"Najis." Justika mencebik, tapi memilih untuk menuruti omongan Yudantara. Benar saja, jaketnya memang wangi meskipun sedikit bau rokok. Namun yang pasti, Justika mulai merasa hangat. "Dewan sama Kak Hanna belum ada kabar, ya?"

"Belum," sahut Jihanne tanpa mengalihkan pandangannya dari catatan yang sudah ia buat. "Semoga hari ini atau besok mereka udah pulang, soalnya lusa ada dosen yang mau mantau rapat panitia."

"Aku jadi inget. Kemarin waktu aku beli alat yang buat games sama Kak Jo, aku nggak sengaja lihat dia nyari berita soal kecelakaan kereta gitu di internet."

"Kecelakaan kereta?" tanya Yudantara.

"Iya. Terus aku lihat, dia lagi baca artikel berita kecelakaan kereta yang ada di Godean itu-"

Suara klakson mobil menghentikan cerita Justika.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Last DutyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang