XXII

114 26 3
                                    

Jonathan sudah tiba di stasiun bersama Justika, tidak melihat gerombolan penumpang dengan pakaian kuno yang berjalan keluar dari stasiun bersama barang bawaan mereka. Meski begitu, mereka berdua memang merasakan ada hawa aneh di sekitar mereka.

Stasiun Tugu saat ini, entah mengapa, terasa sangat dingin. Padahal malam ini hawa di Jogja sedang gerah-gerahnya.

"Tik?"

Justika hanya mengangguk, mengonfirmasi apa yang ditakutkan oleh Jonathan. Tidak seperti kakak tingkatnya yang baru mengalami kejadian aneh di rumah baru Wijanarko bersaudara, Justika sudah tidak asing dengan perubahan suhu seperti ini.

Pernah tinggal di rumah tabon angker milik kakek dan neneknya beberapa tahun silam selama liburan sekolah bersama sepupunya memberikan mereka sedikit pengetahuan terkait aktivitas makhluk tak kasat mata.

"Mbak, mbak."

Justika perlahan menoleh, mendapati seorang anak laki-laki sedang menarik ujung kausnya, berusaha menarik perhatian Justika.

"Ya?"

"Ini jatuh." Tangan kecilnya tengah menggenggam ponsel yang disodorkan ke arah Justika.

"Ah, iya. Terima kasih, ya, Dik."

Memamerkan gigi ompongnya, anak itu kemudian berlari menjauh, menyusul sang nenek yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari stasiun.

"Tik?"

"Hm?"

"Bukannya kamu nggak bawa ponsel?"

"Lho, iya juga." Justika lantas melemparkan tatapannya pada Jonathan. "Terus ini punya sia-"

Belum sempat Justika menyelesaikan pertanyaannya, ponsel itu bergetar dibarengi layarnya yang menyala, menampilkan ratusan notifikasi baik dari Justika, Jonathan, Jihanne, Yudantara, Bonaventura, Theodore, dan Mandanita.

"Hanna, jadwal pulangnya diundur, ya?" - Anne.

"Kak Han, katanya kamu belum balik?" -Tika.

"Han, kamu sama Dewan ke mana anjir?" - Yuda.

"Mbak, udah sampai Jogja 'kan? Nggak tahu kenapa perasaanku agak nggak enak, makanya aku ngechat." -Manda.

"Han? Aku parno sama sesuatu dan semoga kalian pulang dengan selamat. Plis. Aku nggak bisa ngomongnya ke ibumu kalau kalian kenapa-napa."

"Han, aku baru tahu kalian berdua ngilang nggak ada kabar kaya gini dari Tika sama Jojon. Aku nggak tahu mau ngehubungin kamu gimana lagi, cuma semoga kalian berdua cepet balik. Semua panik nyariin kalian." -Theo.

"Han, kata salah satu temennya Ello, kalian berdua balik hari ini. Gue jemput, dan kalian harus udah nunggu di depan stasiun, ya?" -Jo.





Bagaimana bisa ponsel Johanna berada di tangan anak itu sebelumnya? Lalu, kenapa Johanna dan Dewantoro tidak segera muncul layaknya penumpang pada umumnya?

"Tika!"

Teriakan Jonathan dari kejauhan membuyarkan lamunan gadis itu. Ia melihat Jonathan setengah berlari mendekati bangunan stasiun, atau lebih tepatnya ke arah dua orang yang berjalan keluar dari bangunan itu dengan langkah gontai⎯bahkan nyaris jatuh.

Benar saja, saat tubuh Johanna mulai roboh kemudian disusul oleh Dewantoro, Jonathan mempercepat larinya dan menahan bobot tubuh mereka berdua dengan kedua lengannya.

"I got you, guys," bisik Jonathan sebelum orang-orang mulai berkerumun.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Masih mengenakan seragam kebanggaannya, ia turun dari lokomotif, memberikan tatapan penuh arti kepada ular besi itu sambil tersenyum haru. Setelah puluhan tahun lamanya, ia akhirnya bisa membawa pulang para penumpang ke tujuan akhir mereka.

Perjalanan mereka sudah berakhir, dibantu oleh dua anak manusia yang memberanikan diri untuk mengubah tragedi berulang yang menimpa kereta itu. Ia hampir menangis saat menyadari kalau kereta itu tetap melaju seperti biasa. Tidak ada suara tembakan disertai bau mesiu yang kemudian membuatnya mati rasa di bagian kepala. Semuanya berjalan seperti biasa, sesuai dengan apa yang ia harapkan sejak masih berada di Bandung.

"Pak?"

Suara seorang pemuda mengalihkan atensi Maryanto. Kondektur yang belum lama direkrut, Budi, berdiri di samping masinis itu dengan senyum lebar mengembang di wajahnya. Maryanto baru menyadari kalau pemuda itu memiliki lesung pipi.

"Kamu sudah bisa pulang, le."

"Bapak juga."

"Dua penumpang itu sudah pulang?"

"Sepertinya sudah. Tadi saya lihat mereka pingsan di depan, tapi untungnya ada yang langsung nolongin."

Maryanto mengangguk. "Wajar, mereka soalnya terlalu lama di dimensi kita, apalagi harus nahan pembajak itu. Slamet tetep ndak kelihatan, ya?"

"Ndak, Pak. Mungkin karena Slamet sudah meninggal sebelum kecelakaan itu. Tapi saya yakin dia juga sudah 'pulang'."

Mereka terus berbincang sebelum akhirnya berpisah di depan stasiun. Maryanto menghela napas, mempersiapkan diri untuk melangkahkan kakinya keluar dari area stasiun untuk menyambut apa pun yang akan ia temui nanti. Berbeda dari apa yang manusia biasa lihat, pemandangan tukang becak yang berjejer rapi di pinggir jalan serta lampu-lampu dari Jalan Malioboro dari kejauhan bukanlah hal yang Maryanto saksikan saat ini. Di luar sana, hanya ada kegelapan.

Ia melemparkan pandangan sekali lagi ke arah stasiun, mengucapkan salam perpisahan dalam diam kepada semua kenangan yang ada di sana, kemudian memberanikan diri untuk melanjutkan perjalanan pasca kematiannya.

Tugas terakhir itu kini sudah selesai.

The Last DutyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang