Kereta kembali melambat, dan Winarso bersaudara dengan enggan melihat si penumpang ketiga kembali dari gerbongnya sambil membawa sebuah tas ransel yang terlihat lumayan berat. Penumpang bernama Hadrian itu awalnya memesan tiket dengan tujuan Stasiun Tugu, sama seperti Dewantoro dan Johanna. Hanya saja, setelah ia mengetahui kalau apa yang ia tumpangi ternyata kereta gaib dan bisa berhenti di stasiun mana pun, Hadrian yang kini tinggal di daerah Sedayu memutuskan untuk turun di Stasiun Sentolo karena lebih dekat dengan rumahnya.
Itu berarti hanya Johanna dan Dewantoro saja yang akan mengetahui apa penyebab kereta gaib itu tidak pernah tiba di tempat tujuan puluhan tahun lamanya.
"Kalian beneran mau ke lokomotifnya?" tanya Hadrian sekali lagi, yang dibalas dengan anggukan kepala Johanna. "Maaf, ya, nggak bisa nemenin kalian sampai Jogja."
"Nggak apa-apa, Mas. Wajar kalau njenengan milih turun di Sentolo, 'kan bisa hemat di ongkos juga." Dewantoro tersenyum.
Saat kereta benar-benar berhenti, Hadrian bergegas turun sembari melambaikan tangan, tak lupa berpesan kepada dua orang yang lebih muda darinya itu untuk menjaga diri; apabila terjadi sesuatu, Hadrian sangat menyarankan keduanya untuk turun dari kereta secepat mungkin.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dan betapa terkejutnya Bu Bardjo ketika melihat kakak-beradik itu kembali ke gerbong empat. Ia kira, keduanya sudah kabur entah di stasiun mana dan meninggalkan barang-barang mereka. Surya duduk di sebelah neneknya, mengabaikan kehadiran Winarso bersaudara karena sedang fokus mengunyah sesuatu.
Dari sudut matanya, Dewantoro menangkap Pak Heri yang sudah terlelap di kursinya sendiri.
"Saya kira njenengan udah turun dari tadi," celetuk Bu Bardjo.
"Ndak kok, Bu. Tadi saya sama adik di gerbong restorasi, kebetulan ketemu sama penumpang yang kaya kita berdua."
Bu Bardjo menaikkan sebelah alisnya, merasa terkejut sekaligus tertarik.
"O, ya?"
"Iya, tapi dia udah turun di Stasiun Sentolo tadi."
Menganggukkan kepalanya, Bu Bardjo kemudian mengalihkan atensinya pada sang cucu. Dewantoro buru-buru menarik lengan kakaknya, dan mereka berdua kembali berjalan menyusuri gerbong untuk sampai ke lokomotif.
"Wan."
"Hm?"
"Kok perasaanku nggak enak, ya?" Johanna menggenggam tangan Dewantoro erat, tidak peduli dengan telapak tangan adiknya yang sedikit berkeringat. "Kaya bakal ada sesuatu.."
"Nggak bakal ada apa-apa, Mbak. Yah, paling cuma ada hantu masinisnya, secara ini 'kan kereta-"
Dewantoro tidak mampu menyelesaikan kalimat yang hendak ia utarakan, karena sebuah suara mengalihkan atensi mereka berdua. Suara tembakan yang berasal dari gerbong belakang membuat Winarso bersaudara saling bertukar pandang.
"Wan? Tadi Mas Drian nggak cerita apa-apa soal tembakan, to?"
"Enggak, Mbak. Kalau ada dia pasti cerita 'kan? Nggak mungkin informasi sepenting itu nggak dia ceritain."
Johanna masih memandang ke arah gerbong belakang dengan cemas. Dia tidak mungkin salah dengar, itu sudah pasti suara tembakan. Firasat buruk sudah mulai menghampiri, dan Johanna ingin segera menepis firasat itu seolah-olah mengusir serangga yang tengah merayap di kakinya.
Sama halnya dengan Johanna, Dewantoro juga tidak habis pikir dengan suara yang baru saja ia dengar. Bagaimana mungkin suara tembakan terdengar dari dalam kereta? Apakah ada penjahat? Apakah seseorang membajak kereta ini?
Kalau memang benar begitu, lantas kenapa pembajakan itu tidak disebutkan oleh Hadrian?
Buktinya.
Tidak ada buktinya.
"Mbak-"
"Ssst." Johanna mendesis, meminta Dewantoro untuk diam. Samar-samar, mereka bisa mendengar suara beberapa orang dari arah gerbong penumpang.