Wajah Johanna masih pucat, tetapi dia sudah bisa berjalan dan duduk dengan tegap di kursi terdekat sambil berbicara pada Dewantoro selagi Slamet mengawasi pintu gerbong. Kondektur kereta itu masih tetap pada pendiriannya; tidak mengizinkan Winarso bersaudara untuk melanjutkan perjalanan mereka ke gerbong paling ujung.
"Kamu udah tanya soal si penembak itu?" tanya Johanna. Anggukan kepala Dewantoro membuat kedua mata Johanna membulat. "Terus?"
"Dia bilang kemungkinan besar pembajakan, cuma yang bikin aneh pelakunya cuma satu orang. Tanpa bom, tanpa ancaman. Selama Slamet di sini, dia cuma denger suara tembakan terus si pelaku ini jalan ngelewatin tiap gerbong. Slamet berusaha nahan orang itu biar nggak bikin ulah sampai depan tapi dia kalah tenaga."
"Orangnya gede?"
"Katanya lebih tinggi dari aku dan lumayan kekar. Mungkin postur tubuhnya Mas Jojon bisa dijadiin referensi."
Jonathan tiba-tiba bersin, membuat Hendrasaka yang duduk di sebelahnya berhenti menyuapkan sesendok nasi rames ke dalam mulut, kemudian menyodorkan sekotak tisu pada Jonathan.
"Lagi diomongin orang, tuh."
"Lagi ngomongin kalau aku ganteng kali, ya?" Melihat ekspresi datar Hendrasaka membuat Jonathan tertawa. "Geli?"
"Lebih tepatnya, njijiki."
"Kurang ajar."
Hendrasaka menjulurkan lidah."Jadi, ada apa, nih? Aneh banget tiba-tiba ngajak ketemu." Sebelum Jonathan berhasil membuka mulut, Hendrasaka buru-buru melanjutkan bicaranya. "Bukan gimana-gimana, tapi aku nggak sedeket itu sama Mas Jo, beda kalau sama Mas Adit atau sama Mas Theo. Makanya aneh waktu Mas Jo ngajak aku makan habis pulang sekolah tadi."
"Kamu tahu cerita mistis soal kereta, nggak?"
"Ada banyak. Mau dengerin yang mana?"
"Yang rute Bandung - Jogja."
"Oalah." Hendrasaka mengangguk. "Yang tabrakan sama kereta lain di Godean itu."
"Cerita-cerita kaya gitu tuh cuma mitos 'kan?"
"Nggak semua cerita mistis itu mitos, Mas. Ada yang benar-benar terjadi, ya, walaupun bakal kita denger beragam versi ceritanya, jadi terkesan bullshit buat beberapa orang. Kereta yang rute Bandung - Jogja itu salah satunya."
"Salah satunya?"
"Yang beneran ada." Senyum yang Hendrasaka berikan pada Jonathan membuat pria itu merasa gelisah. "Soalnya aku sama ibuku dulu pernah nggak sengaja naik kereta itu. Lucu juga sebenarnya, karena dari pengalaman itulah aku ngeh kalau aku lebih peka daripada orang biasa."
Warung nasi rames itu jauh dari kata sepi. Mulai dari pagi hingga jam makan malam, pelanggan datang silih berganti. Lokasi warung yang berada di dekat sekolah, kos-kosan, sekaligus kantor menjadikannya sebagai tempat bisnis yang strategis.
Namun, meja yang ditempati oleh Jonathan terasa sunyi sekali. Ekspresi wajah mahasiswa itu terlihat terganggu, dan Hendrasaka memicingkan kedua matanya; merasa curiga dengan tindak-tanduk pria yang duduk dihadapannya itu.
"Emangnya ada apa, Mas? Maksudku, kok tiba-tiba tanya soal begituan?"
Lantas, Jonathan menceritakan semuanya, termasuk ketakutannya mengenai keterlibatan makhluk tak kasat mata terhadap hilangnya Dewantoro dan Johanna. Ia tidak mau dicap sebagai manusia munafik; kejadian di luar nalar yang ia alami bersama Theodore beberapa waktu lalu benar-benar membekas dalam ingatan pria itu.
Jonathan merasa takut.
"Kayanya emang ada kemungkinan mereka naik kereta itu, Mas."
"Tapi mereka bakalan pulang 'kan?"
Melihat anggukan kepala siswa SMA itu membuat Jonathan merasa sedikit lega. Hanya saja, Jonathan tidak tahu kalau benak Hendrasaka berkata lain.
"Semoga aja."
Keduanya berpisah, dan sebelum Hendrasaka pulang ke rumahnya, ia menyempatkan diri untuk menghubungi seseorang.
"Cuk, besok Jumat boleh nginep kosanmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Duty
HorrorSame train, same destination. But different situation. -Bathed in Fear, Project 2. © 2020 nebulascorpius