Dewantoro memasukkan ponsel ke dalam salah satu saku celananya, pertanda bahwa ia telah mengakhiri percakapan melalui pesan singkat dengan salah seorang teman satu divisinya di ospek kampus, Justika, mahasiswi Jurusan Manajemen yang juga teman satu angkatannya.
Malam nanti, Dewantoro akan kembali ke Yogyakarta. Kembali pada rutinitasnya sebagai mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia yang sebentar lagi akan memasuki gerbang neraka dunia perkuliahan, yaitu semester tiga. Seminggu berada di Bandung membuat Dewantoro merasa agak lega, bisa melepas penat setelah berminggu-minggu mempersiapkan ospek untuk mahasiswa baru nanti.
"Mas Dewan." Suara seseorang terdengar dari dalam rumah. Saat Dewantoro menoleh, ia mendapati adik sepupunya muncul di ambang pintu, masih dengan mata yang lumayan sembab. "Makan, Mas, disuruh Mbak Hanna."
Dewantoro bangkit dari duduknya, berjalan memasuki rumah sambil menyempatkan diri untuk mengacak-acak rambut Mandanita. "Pokoknya kalau ujian udah selesai, udah ngurus ijazah sama lainnya, langsung ke Purworejo, ya? Terus kuliah di Jogja sama aku atau Mbak Hanna, oke?"
"Iya, iya."
"Gitu, dong. Udah, jangan nangis-nangis lagi nanti disamperin mbahmu malah."
"Ih, mulutnya!"
Ya, genap satu minggu ini Dewantoro dan kakaknya yang bernama Johanna itu menginap di rumah Mandanita, adik sepupu mereka dari pihak ibu. Mandanita kehilangan sang ibu kandung saat ia masih berusia enam tahun karena penyumbatan pembuluh darah yang kemudian merembet ke mana-mana. Ayah Mandanita kemudian menikah lagi dengan perempuan yang ia temui selama dinas di Surabaya. Sayang seribu sayang, Mandanita lagi-lagi harus merasakan pahitnya kehilangan karena sang ayah dan ibu tirinya menjadi korban tabrak lari saat sedang jalan-jalan sore.
Mandanita kemudian tinggal bersama sang kakek, orang tua mendiang ayahnya, sampai minggu lalu, di mana pria berusia hampir 80 tahun itu menghembuskan napas terakhirnya karena sakit.
Dewantoro dan Johanna langsung meminta izin pada dosen maupun orang-orang di sekitar mereka karena keduanya harus pergi ke Bandung, memutuskan untuk menginap selama seminggu guna menemani Mandanita. Ibu mereka, Yuliana, yang juga kakak dari mendiang ibu kandung Mandanita, terpaksa tidak turut serta karena kakinya yang sedang terkilir akibat terpeleset di kamar mandi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Wan, ngelamun mulu." Johanna menepuk pipi adiknya, membuat Dewantoro secara refleks menatap tajam kakak perempuannya. "Makan."
"Nggak usah mukul pipi juga 'kan bisa, Mbak."
"Kamu dipanggil-panggil nggak nyahut, ya, anjir," gerutu Johanna yang disambut cekikikan Mandanita. Atensi mahasiswi semester empat itu kemudian teralihkan. "Manda, yakin berani di rumah sendirian? Kamu ujian masih sebulan lagi, lho, belum nanti cap tiga jari dan lain-lain, pasti lama."
"Nggak apa-apa, Mbak. Aku 'kan udah gede, masa takut di rumah sendirian."
"Kabar-kabar, ya, kalau kamu keterima di kampus kita berdua." Dewantoro mengingatkan sembari mengambil beberapa tempe goreng dari meja. "Nanti biar tak temenin ngurus daftar ulangnya, terus nyari kos-kosan sama Mbak Hanna."
"Di kosanku aja, Nda, masih ada kamar kosong, kok. Nanti aku bantu booking ke ibu kosnya."
"Kosanmu 'kan deketnya sama fakultasmu, Mbak. Manda daftarnya psikologi, ya, jauh banget kalau suruh ngekos sama kamu."
Johanna terkekeh selagi Dewantoro mendengus, masih tak habis pikir dengan kakaknya itu. Mandanita melihat interaksi kedua sepupunya sambil mengulum senyum, sudah biasa melihat perdebatan kecil di antara keduanya.
"O iya, Mas Dewan katanya jadi panitia ospek, ya?" tanya Mandanita dengan semangat. "Jadi apa?"
"MC, Nda."
"Dih, ngikut-ikut," bisik Johanna yang kemudian dilempari kerupuk oleh adiknya. "Apaan? Ya bener 'kan, tahun lalu aku juga jadi MC pas ospek kampus."
"Aku tadinya daftar divisi keamanan, tapi malah disuruh jadi MC, ogah aslinya tapi dipaksa sama Tika."
"Mbak Tika yang kakak kelasku dulu itu, ya?" Mandanita bertanya.
"Ho'oh." Johanna mengiyakan sembari menyendok suapan terakhir untuk dirinya sendiri. "Wan, buruan. Ini udah mau jam berapa, belum mandi kamu."
"Nanti dulu, Mbak, masih mau ngemilin tempe. Lagian aku mandinya cepet, kok."
"Ya cepet kalau nggak pakai boker," omel Johanna yang sudah beranjak dari kursi sambil membawa piring kotor miliknya dan Mandanita ke tempat cuci piring. Adiknya masih tetap mengunyah tempe goreng, mengabaikan Johanna yang sudah mendelik. "Dewan!"