23. Alvaro - Awake

7.1K 363 57
                                    

“Please, please, Ta. Jangan tutup mata kamu. Aku mohon. Jangan tidur, okey?” lirihku sambil menyanggah kepalanya.

Revita tersenyum. Tangannya lemah memegang pipiku. Sial. Rumah sakit masih jauhkah? Ayolah, sepertinya pemerintah perlu membangun rumah sakit di daerah sini. Kalian tau? Setidaknya untuk sampai di rumah sakit memerlukan waktu dua jam. Kali ini yang mengendarai mobil adalah Naoki dan dia sudah tak pernah menaati peraturan lalu lintas. Sudah berapa kali lampu merah dan dia tetap saja jalan dengan kecepatan di atas rata-rata.

Air mataku tak berhenti menetes. Ya Tuhan, aku mohon selamatkan Revitaku. Aku meracau tak jelas, membuat Revita agar tak bisa tidur. Karena kalau sampai dia tidur maka…maka…Ah, aku tak sanggup untuk mengatakannya. Naoki terlihat gelisah di kursinya. Revita masih berusaha menaati perintahku, dia berusaha untuk tak tidur.

“A—aku ngan—ngantuk, Va” lirihnya

“Nggak! Demi Tuhan, kamu jangan tidur dulu, Ta. Aku mohon” racauku lagi

Brengsek. Harusnya aku tak membiarkan Revita mengejar Valeria tadi. Aku tak akan tinggal diam kalau sampai terjadi apa-apa sama Revita. Aku bukan orang yang baik. Sekali mereka mengusik orang-orang yang aku sayangi, maka mereka akan tanggung akibatnya. Aku bersumpah akan menuntutnya dan tak akan mencabut tuntutanku kalau sampai terjadi sesuatu pada Revita.

Mengabaikan darah Revita yang mengenai mobil kak Dafa bahkan kemejaku. Aku sudah tak memperdulikan keadaanku sendiri. Sedari tadi yang ada di dalam pikiranku hanyalah keselamatannya Revita. Aku bersyukur saat ini sudah dekat dengan tengah kota, dan tinggal menunggu beberapa menit lagi untuk sampai rumah sakit. Aku terus memanjatkan do’a dalam hatiku agar Revita tetap selamat. Aku tak ingin sesuatu yang buruk menimpanya lagi.

Berlari dengan kencang begitu aku turun dari mobil. Beberapa suster langsung membawa brankar, dengan lembut aku menaruh Revita di atas brankar.

“Kamu jangan tidur, sampai dokter nyuruh kamu tidur, oke?” bisikku lalu mencium keningnya

Suster-suster tersebut membawa brankar Revita dengan lari, mereka langsung membawanya ke ruang operasi. Jelas, sudah tidak mungkin Revita harus menunggu di UGD. Pikiranku kacau. Aku tak dapat berpikir apapun. Masih teringat jelas di kepalaku bagaimana Valeria si gila tersebut menusuk Revita. Terlambat bagiku menyadari bahwa Valeria memegang pisau lipat. Harusnya aku bisa menyelamatkan Revita. Harusnya aku bisa menjaganya.

Pikiranku masih kacau sampai seseorang menonjok mukaku. Oh, tonjok saja aku sepuasnya. Aku tak peduli. Aku pantas mendapatkan. Aku telah lalai menjaga janjiku. Aku telah melanggar janjiku sendiri yang selalu menjaganya. Aku bahkan tak melawan siapapun orang yang telah memukuliku ini. Aku yang salah di sini. Revita celaka dan kesakitan di dalam sana karena kesalahanku yang tak dapat menjaganya.

“Van, udah! Lo nggak berhak mukulin adek gue” itu suara kak Dafa. Sepertinya orang yang memukulku barusan adalah Jovan

“Lo bego, hah? Mana buktinya lo bakal jagain dia? Lo liat sendiri hasilnya?” Jovan mencengkram kerahku

“Pukul gue lagi!” jawabku datar

“Lo bener-bener gila hah?” geram Jovan

“Pukul gue, habisin gue. Buat gue ngerasain apa yang Revita rasain. Gue nggak akan bales ngelawan lo”

“Lo bener-bener mau mati ya?” Jovan semakin mencengkram kerahku

“Van! Gue bilang lo nggak berhak mukulin adek gue!” kak Dafa menarikku dan menarikku ke belakang tubuhnya

Menepis tangan kak Dafa dan berjalan ke arah Jovan. Mata Jovan merah menyalang. Mungkin dia juga sama hancurnya denganku. Jovan mungkin juga nangis sama sepertiku. Melihat seseorang yang kita cintai terluka benar-benar mampu melumpuhkan kerja otak kita. Kita seakan tak punya otak dan tersisa hati yang hancur dan terluka.

The Same FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang