Mencengkram kemudi dengan erat. Melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Aku butuh pengalih perhatian. Aku butuh pelampiasan emosi yang sedang bergejolak dalam hatiku. Mataku fokus menatap jalanan. Walaupun aku sedang emosi, aku tak ingin membuat kami berdua mati karena kecelakaan. Ya, saat ini aku sedang bersama Revita. Dan kalian tau apa yang membuatku emosi? Karena baru saja Revita bertemu dengan Jovan.
Mobilku sukses terparkir dengan sempurna di garasi. Revita dengan terburu langsung pergi begitu saja. Langsung saja aku berlari mengikutinya yang setengah berlari seperti itu. Ketika sudah dekat, aku menarik lengannya hingga dia berhenti dan menghadap ke arahku.
“Bisa jelasin ke aku kenapa matamu bengkak setelah ketemu Jovan?” ucapku dengan suara yang kubuat datar. Tentu saja jika aku tak membuat suaraku sedatar mungkin maka yang terjadi adalah aku menyentaknya.
Revita terdiam. Wajahnya menunduk ke bawah. Sial! Aku nggak butuh diamnya dia sebagai jawaban. Aku ingin dia menjawab pertanyaanku dengan suaranya. Tak bisakah dia mengerti bahwa aku khawatir saat melihat matanya yang memerah tadi? Tak bisakah dia mengerti bahwa aku sedang emosi dan rasanya ingin menghancurkan apa saja yang di sekitarku seperti taman belakang sekolahku dulu.
Oh ayolah, dia masih bertahan dengan diamnya? Tak tahukah dia bahwa saat ini aku gatal sekali ingin memukul sesuatu jika aku hitung sampai satu menit lagi dia tak mengeluarkan suara. Ketika aku mulai berhitung, Revita mengangkat kepalanya. Damn it! Udah berapa kali aku bilang kalau aku benci melihatnya mengeluarkan air mata? Reflek ibu jariku menghapus air mata yang menuruni pipinya.
“Kalo aku bilang aku masih cinta Jovan gimana, Va?”
Setelah Revita mengucapkan kalimat tersebut, tubuhku langsung membeku. Duniaku seakan berhenti berputar. Kalimatnya terus mengulang seperti kaset rusak di dalam otakku. Ada apa denganku? Kenapa rasanya ada rasa tak suka ketika mengetahui bahwa Revita masih menyukai Jovan?
“Kamu bodoh, huh? Kamu mau jadi cewek bego yang ngeharepin mantan kamu balikan sama kamu setelah dia dengan mudahnya nyia-nyiain kamu dulu? Kamu mau jadi cewek bodoh, Revita?” ucapku seraya melepaskan cengkramanku dari lengannya. Revita hanya menatapku dan matanya menyipit, tanda bahwa dia tak suka ucapanku.
“Aku nggak berharap buat balikan sama dia, Alva!”
“Terus apa? Kalo kamu emang nggak niat balikan sama dia. Lupain dia. Jangan ketemu sama dia. Tutup segala aksesnya untuk bertemu denganmu!” ucapku dengan suara yang meninggi
“Kenapa aku harus ngelakuin semua itu? Emangnya kenapa kalo aku masih cinta sama Jovan? Ada masalah?”
“Demi Tuhan! Dia sudah punya pacar, Revita! Kamu mau mau jadi perebut pacar orang kayak Farah?”
“Kalo aku mau kayak gitu kenapa? Ada masalah?”
“Jelas masalah! Aku nggak suka kamu deket-deket sama Jovan!”
“Kamu siapaku pake ngelarang-ngelarang? Ayah bukan. Sodara juga bukan. Kamu nggak ada hak buat ngelarang aku, Alvaro Gavriel!”
Seketika aku kembali mematung ketika mendengarnya berkata seperti itu. Aku bukan siapa-siapanya. Ya, dia tak menganggapku apa-apa. Mendadak aku merasakan dada sebelah kiriku berdenyut nyeri. Kenapa rasanya sakit sekali mendengarnya berbicara seperti itu? Dan dia menyebutkan nama lengkapku, itu tandanya dia sedang marah.
“Jadi…bukan apa-apa yaa?” ucapku lirih
“Va—“
“Aku ke atas dulu yaa. Kalo kamu capek, kamu istirahat aja. Good afternoon, Ta”
Sebelum langkahku melewatinya, aku mencium keningnya. Menunjukkan padanya bahwa dia sangat berarti bagiku. Revita adalah sahabatku yang aku sayangi dengan setulus hatiku. Revita-lah yang menyembuhkan luka-luka hatiku yang dihancurkan oleh Naira. Walaupun dia tak menganggapku apa-apa, aku tetap menganggapnya sebagai sahabatku. Mungkin tadi dia seperti itu karena emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Same Feelings
Teen FictionKisah Alvaro Gavriel dan Revita Pradipta yang baru saja dimulai... --Sekuel The Same Things--