"Va?...Ro" seru dua wanita cantik di belakangku
Langsung saja aku memeluk mamaku. Meluapkan segala kesakitanku. Meluapkan segala kekecewaanku. Mama membelai punggungku pelan. Mengantarkan rasa nyaman yang sama sekali tak bisa kuterima. Bagaimana mungkin aku menerima rasa nyaman sedangkan hatiku sedang hancur berkeping keping? Bagaimana mungkin aku menerima rasa nyaman jika pikiranku sudah seperti benang kusut yang susah untuk diluruskan kembali? Jelaskan padaku bagaimana aku bisa menerima rasa nyaman kalau satu-satunya gadis yang bisa membuatku berpaling dari rasa sakit pergi meninggalkanku? Bagaimana rasanya jika kalian jadi aku? Sakit? Damn it! Don't ask about that stupid question! Tentu saja aku sakit! Ya Tuhan, dia bahkan belum tau aku mencintainya.
"Ma, Vita, Ma. Dia nggak mungkin ninggalin Varo gitu aja kan, Ma?" racauku. Oke, jangan menertawakan aku yang menggila saat ini. Hidupku rasanya juga berhenti detik ini juga.
"Udah, Sayang. Kamu harus ikhlas." Jawab Mama yang ikut menangis juga dalam pelukanku
Ikhlas? Bisa jelaskan padaku bagaimana caranya? Jalan apa yang harus kutempuh untuk bisa ikhlas? Mengabaikan penjelasan dokter tentang tanggal dan waktu kematian Revita. Persetan dengan omongan dokter itu. Bagiku Revita masih hidup, ya kan? Melepaskan pelukan Mama dan menghalangi suster untuk menutup tubuh Revita dengan selimut.
"Jangan sentuh Revita!" desisku seraya memberikannya tatapan tajam
"Var-"
"Revita masih hidup! Aku yakin dia Cuma akting! Bisa tinggalin aku dan Revita?" pintaku dengan suara datar
"Say-"
"Ma, Please!"
Mereka semua akhirnya menuruti kemauanku dan meninggalkanku hanya berdua dengan Revita. Mengamati wajahnya yang semakin lama semakin memutih. Bahkan senyuman tersungging di bibirnya yang manis. Perlahan air mataku menetes kembali. Menggenggam tangannya yang anehnya terasa hangat di tanganku. Mendadak otakku kembali mengingat segala memoriku tentangnya. Dari pertama kali aku bertemu dengannya hingga kejadian mengenaskan yang harus merenggutnya dari sisiku.
"Ta, inget janji kamu waktu di Jepang nggak sih?" Seperti biasa, aku akan mengobrol di depannya. Orang bilang jika orang sedang koma maka lebih baik mengajaknya untuk berbincang, karena katanya orang yang sedang koma masih bisa mendengarkan. Koma. Ya, aku masih menganggapnya koma.
"Kamu pernah bilang kalo kamu bakalan disisiku sampai aku nemu cewek yang bikin aku jatuh cinta, kan? Kamu tau? Aku udah nemu cewek yang sukses bikin aku jatuh cinta lagi. Aku udah nemu cewek yang bisa bikin jantungku menggila lagi Cuma karena ngeliat senyumnya. Kamu penasaran nggak? Pasti penasaran kan? Iya kan? Kalo kamu bangun, aku bakalan nunjukin siapa cewek itu. Jadi...buka mata kamu, Please?"
Revita masih saja terdiam dalam tidurnya. Membuat hatiku hancur. Mencium tangan Revita dan meletakkannya. Mungkin...Aku benar-benar harus melepasnya? Melangkahkan kakiku menuju kamar mandi ruangan ini. Bukan, aku bukan ingin mengeluarkan hajat yang seharusnya kubuang. Aku hanya ingin menenangkan diriku sejenak sebelum aku menerima kenyataan bahwa Revita sudah meninggalkanku.
Ponselku bergetar di sakuku. Aku hanya mengabaikannya. Aku hanya terduduk di atas closet tanpa melakukan apapun. Aku hanya mencoba untuk ikhlas. Sebenarnya aku ingin keluar ruangan ini. Tapi, aku tak tega jika harus meninggalkan Revita sendirian. Jadi, untuk menenangkan hatiku, aku hanya memilih tempat ini. Tak masalah bagiku dimanapun tempatnya. Aku merasa semua tempat sama saja bagiku sekarang. Karena aku hanya merasakan kosong saat ini.
Terdengar suara pintu tertutup dengan lumayan keras. Membuatku sadar dari lamunanku dan menyadari bahwa aku masih berada di dalam kamar mandi. Mungkinkah orang tuaku sudah kembali? Atau jangan jangan seseorang yang menutup pintu adalah suster yang akan membawa Revita? Oh damn it! Bego banget sih sampai harus ninggalin Revita sendirian? Dengan panik aku keluar kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Same Feelings
Ficção AdolescenteKisah Alvaro Gavriel dan Revita Pradipta yang baru saja dimulai... --Sekuel The Same Things--