Prolog

3.4K 298 8
                                    

Seorang gadis kecil berusia enam tahun berjalan pelan melalui taman belakang Istana Lotus, istana yang digunakan untuk putri Kerajaan Idezaveros. Seharusnya dia istana itu, tapi karena suatu hal dia harus rela tinggal di Istana Lilac, istana paling belakang yang lebih sederhana dibanding istana-istana lain.

Malam ini bulan purnama bersinar dengan terang, memancarkan cahaya temaram yang melenakkan. Langit bak karpet raksasa, dihiasi miliyaran bintang gemintang. Gadis kecil itu mendongak, menatap langit dengan sendu.

Mata hijaunya menangkap sebuah bintang yang terpisah dari kawan-kawannya, sendiri dalam karpet itu dengan cahaya redup. Dia tersenyum, memahami bintang itu. Bintang itulah gambaran kehidupannya.

Sendiri. Tanpa teman. Tanpa ada yang mau menemani. Terbuang. Terlupakan.

Dia melangkahkan kaki lagi. Kakinya telanjang, menyentuh rumput dan memberi sensasi dingin. Dia seharusnya memakai sandal tadi, tapi karena sudah terbiasa berkaki telanjang, dia tak memedulikannya. Dia menyimpan lebih banyak kedinginan di dalam hatinya.

Dia berhenti di sebuah jendela lengkung besar dengan kusen menjorok ke dalam. Memberi cukup ruang untuk bersandar dan membaca buku. Tirai di jendela itu tersingakap, membiarkan cahaya bulan menyiram ruangan.

Berhati-hati dia melongokkan kepala. Hanya dengan berbekal cahaya bulan dan lilin-lilin, dia dapat melihat dua orang yang berada di ruangan –– atau lebih tepatnya kamar –– di dalam sana.

Kamar itu dua kali lebih besar dari kamarnya. Juga lebih mewah dengan hiasan-hiasan yang berlapis emas dan perak. Boneka-boneka tertata rapi di salah satu sisi ruangan, mulai dari berukuran besar sampai ukuran kecil. Dia sendiri tak terlalu menyukai boneka.

Dua orang yang tengah ada di ranjanglah menjadi pusat perhatiannya. Ranjang itu lumayan besar, mungkin mampu membuat empat orang dewasa sekaligus. Disana, terdapat seorang putri yang usianya setahun lebih muda darinya dan seorang pria dewasa.

Dia meringis dalam hati dan memegang dadanya. Seolah ada pisau yang menghujam disana dengan sangat kuat, merobek setiap inci jantungnya. Dia tahu tak seharusnya melihat ini, ini hanya membuatnya sakit hati.

Tetapi, dia ingin melihat ayahnya.

Lihatlah!

Ayahnya saat ini tengah bersandar pada punggung kasur, sebuah buku dongeng tergenggam di tangannya. Dia hanya melihat sekilas sampul depan karena minimnya cahaya. Ayahnya dengan santai dan sesekali tersenyum membacakan dongeng tersebut. Ekpresi lembut.

Sementara di samping Ayahnya, terbaring sang adik. Rambut hitam sang adik tergerai sampai ke punggung, tampak berkilau karena dirawat dengan baik. Dan rambut gadis kecil bermata hijau ini tak seberkilau itu.

Posisi adiknya membelakangi dia. Dia melihat naik-turun dada adiknya. Lalu ayahnya mengelus rambut sang adik dengan penuh kasih sayang sembari terus membaca kisah dongeng di buku.

Dia mencengkeram piyama dengan erat, membuat pakaian itu basah karena keringat dingin. Dia menggigit bibir kuat, tapi tak sampai terluka. Ngilu di dada terus terasa, seolah mengiris setiap organ. Dia menggigil sampai ke tulang, tapi bukan karena dingin.

Ketika dia mendongak, dia mendapati sang ayah mencium kening adiknya. Buku dongeng sudah tertutup di pangkuan, berarti adiknya telah tidur.

Cukup!

Dia membalikkan badan lantas bersandar pada dinding. Dia menghembuskan napas seolah habis lari maraton. Dia seharusnya tak ada disini! Hatinya mengingatkan.

Dia kembali mendongak. Bintang itu masih sendiri dalam tempatnya, perlahan tertutup karena datangnya awan. Seolah tak membiarkan bintang itu bersinar walau redup sebentar saja.

Hilang. Bintang itu tertelan oleh awan, tak nampak lagi rupanya.

"Ayah, kapan kau melihatku?"

–––––––––––

The Destiny of the King's Daughter [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang