2

6.8K 478 20
                                    

Maaf banyak typo:(
.
.
.

Seperti perkataan nya. Kini Jisung sedang terduduk di meja kerja. Tak lupa setumpuk tugas menunggu nya. Sekolah nya bahkan ia abaikan, ia hanya ikut ujian saja. Untung anak pemilik sekolahnya, kalau bukan mungkin Jisung akan di d.o secara tidak terhormat.

Jisung memandang figura mungil di depannya.

"Papa tahu. Jiji sudah mengerahkan berbagai detektif dari belahan dunia. Namun mereka bilang, bahwa Chenle mungkin sudah mati."

Ia tersenyum kecut. Tak lupa air mata kembali turun dengan lancangnya. Semua baginya kini hanya penderitaan tanpa ujung yang bahagia, bahwa semua nampak abu abu.

"Tuan muda, waktunya makan."

"Nanti saja bi, saya masih banyak pekerjaan."

"Tapi ini perintah dari Tuan."

Jisung menghela nafas panjang. Ia tak bisa menolak perintah daddy nya.

" Baiklah. Aku akan turun 10 menit lagi "

Mark menunggu putra semata wayang nya untuk makan bersama. Ia berjanji akan terlepas dari belenggu masa lalu yang menyakitkan, tapi tidak sedikit pun ada niatan menggantikan Haechan dengan orang lain.

"Anak daddy, kenapa lesu?"

Mark melihat wajah lesu Jisung yang baru keluar dari ruang kerjanya.

"Tidak dad, hanya pekerjaan ku menumpuk."

"Daddy sudah bilang, kalau kamu gamau, gausah di paksa. Daddy gapapa kok. "

Jisung melihat senyum teduh daddynya sedikit ada kelegaan. Ia berharap semua masalah ini akan usai.

"Nenek kemana, dad?"

"Nenek kamu keluar sama Irene. Akhir akhir ini mereka dekat, daddy harap Irene bisa menghibur nenek."

Jisung hanya mengangguk kecil.

.
.
.

"Tante , mau yang mana?"

"Aduh Ren, tante ngga suka warna kayak gitu. Kata Haechan terlalu lebay. "

Irene hanya tersenyum kecil. Sejujurnya ia lelah hanya nama Haechan yang di dengar dari mulut keluarga Lee. Jelas jelas ia ingin menggantikan tempat Haechan, namun nampaknya tidak ada yang menginginkan nya.

.
.
.

Pemuda mungil itu sedang berjuang dengan alat alat penunjang kehidupan nya. Menurut dokter pemuda itu akan mengalami sedikit amnesia.

"Lepaskann!!"

"Tidak akan!"

"Tuan Hyunjin yang terhormat! Dimana pikiran mu?!"

Hyunjin hanya membuang mukanya malas. Ia malas untuk berdebat, dan ia ingin di sambut ramah bukan dengan teriakan.

"Sampai kapan pun, aku tidak akan melepaskan nya! Ingat kata kata ku!!"

Hyunjin keluar dari kamar itu, lalu menuju dapur dan mengambil minuman dingin.

"Sampai kapan kau seperti ini?"

Hyunjin menengok ke sumber suara.

"Entah Lam, aku juga tidak tahu. "

"Ku harap ini yang terbaik."

"Aku yakin, ini yang terbaik."

Hyunjin tersenyum manis ke arah Lami. Sedang Lami hanya bisa meratapi nasibnya, karena harus mencintai seseorang yang tak sekalipun meliriknya.

Hyunjin membuka buku album miliknya. Buku itu berisi foto foto pujaan hatinya.

"Sama. Tetap cantik, dan menawan."

Ting.

Yuta

Aku ingin bicara.

Kapan?

Hari ini.

Di cafe biasa.

Hubungan Hyunjin dan teman teman Mark memang cukup baik. Apalagi setelah insiden Yeri, hubungan mereka semakin lebih dari sekedar teman.

Hyunjin menancapkan gas nya lalu melaju mengarah ke salah satu cafe. Ia langsung memesan meja, dan dua coffee seperti biasa. Tak lama Yuta pun datang.

"Sudah lama, Bro?"

"Santai aja, kayak sama siapa."

"Gue mau serius. Soal kematian Haechan."

Uhuk.. Uhuk..

"Hati hati, Hyun. Entar malah lo nyusul Haechan."

Hyunjin menoyor kepala Yuta, yang seenak jidat berucap.

"Mau gue mati, gitu?"

"Duh bukan gitu, Hyun."

"Kembali ke topik."

"Lo tahu kan, cuma kita yang sering di andelin Mark. Dan gue masih bingung, siapa yang mencelakai Haechan, bukan kah Haechan tidak memiliki musuh?"

Hyunjin tampak menimang nimang.

"Tapi Mark, ia banyak musuh."

"Tapi siapa yang bisa, bebas begitu saja dari pengamanan masion Lee. Masion Mark itu pengamanan nya sangat bangus, hampir mustahil untuk di tembus."

"Mungkin orang dalam."

"Gue juga mikir sama."

Hyunjin dan Yuta terhanyut dengan pikiran masing-masing. Mereka tahu bahwa menembus keamanan masion Lee sangat sangat mustahil.

Di sisi lain Mark kini sedang berdiam diri di kursi kebesaran nya. Menatap langit langit yang tinggi. Pikiran nya melambung seakan menembus lapisan demi lapisan awan.

Kehidupan yang ia damba telah hancur seketika, semua canda, tawa, gurau ,dan semua kesenangan sudah di bawa lenyap oleh anak dan istrinya. Tertawa getir yang hanya mampu ia rasakan. Menertawakan takdir, yang selesai mempermainkan nya.

"Dad."

"Jiji. Masuklah."

Jisung memasuki ruang kerja daddy nya. Ruang kerja yang nampak suram, dan mencekam.

"Dad. Jiji ijin untuk ke China."

"Apa yang kau lakukan disana?"

"Bisnis kita, dapat masalah. Dan Jiji ingin turun tangan beberapa bulan untuk tinggal di China."

"Persiapkan keberangkatan mu, daddy percaya kau bisa. Kalau ada kesulitan jangan sungkan hubungi daddy."

"Baiklah, daddy. "

.
.
.

TBC

Posesif Daddy (2) || MarkChan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang