Misi dulu, jangan lupa pencet bintangnya ya kawan-kawan sekalian.
Happy reading 🤗•
•
•
•
•Tok ... Tok ... Tok ....
“Mas Dante! Sudah atau belum dandannya? Tuan dan nyonya sudah menunggu di ruang tamu,” panggil bibi pada Dante yang masih bersiap-siap di dalam kamar.
“Iya, Bi! Sebentar lagi saya keluar,” sahut Dante keras supaya si bibi yang sudah tua dapat mendengar suaranya dengan baik. Bukannya mengejek. Nyatanya si bibi sudah berumur, dan indera pendengarannya sedikit kurang berfungsi.
Di kamarnya, Dante mematut sebentar pada kaca besar lemarinya. Masih sibuk membenarkan dasi yang terpaksa ia kenakan. Mulutnya mengerucut karena sebal tak bisa memakai dasi itu dengan baik. Menyerah, ia membiarkan saja dasi itu menggantung. Yang penting ia memakainya kan?
Malam ini, dengan setelan pakaian formal yang terlihat sangat cocok dengan tubuhnya, Dante berjalan keluar dari kamarnya menuju posisi orang tuanya yang sedang menunggu di ruang tamu. Tak ada sapaan keluar dari mulutnya. Ia masih canggung dengan ayahnya. Begitu pun dengan mamahnya yang jarang sekali pulang ke rumah.
Tak berselang lama, terlihat Denta yang sama-sama memakai pakaian formal turun dari tangga dengan terburu-buru.
“Jangan lari-lari, Denta,” tegur sang mamah karena gatal melihat polah anaknya.
“Lama banget sih kalian. Mama yang perempuan aja dandannya lebih cepat. Jadi cowok jangan lelet dong!” Sang mama mengomeli kedua anaknya. Ia melihat jam tangan mahal yang terpasang di tangan kirinya. Melengos acuh setelahnya karena waktu yang semakin berjalan cepat.
“Ayo Pah kita berangkat. Udah terlambat kita,” ajaknya kemudian mendahului keluar dari rumah. Disusul sang papa, Denta dan kemudian Dante.
Brakk ....
Pintu mobil itupun tertutup, mobil yang membawa keluarga harmonis itu mulai berjalan menyusuri jalanan malam hari yang ditemani sedikit gerimis. Tercipta keadaan canggung karena tak ada yang memulai percakapan. Mamah yang sibuk dengan ponselnya, papah yang fokus menyetir, dan sepasang anak kembar yang tengah sibuk dengan pikiran masing-masing.
Dante merutuk dalam hati, malam yang gelap, keadaan yang suram, dan posisi canggung. Semua itu adalah hal yang sangat dirinya benci. Dante memainkan jari tangannya gugup, gugup dengan pertemuan makan malam hari ini. Ia tak siap jika kembali dibanding-bandingkan. Tak akan pernah siap.
Hingga akhirnya, Denta yang tahu kegugupan sang kakak menghela nafas. Ingin memberi Dante kata-kata penenang tapi, nantinya keadaan hanya semakin canggung. Denta menyerah sebelum bertindak.
"Dante, lo agak miringan dikit ke arah gue bisa?" Akhirnya Denta mengalah, berusaha membawa obrolan yang mungkin terlihat aneh untuk Dante.
Dante memandang kembarannya terkejut. Sedikit ragu untuk melakukan perintah itu. Karena tak ingin membuat Denta marah, tanpa berbicara ia memiringkan tubuhnya sedikit ke arah Denta. Patuh dengan perintah yang Denta berikan. Tingkah laku Dante tanpa ia sadari mengundang senyum tipis dari Denta.
Dante terdiam saja saat jari-jari tangan Denta bermain di dasinya. Rupanya mau membenarkan bentuk dasi miliknya yang tak rapi sama sekali. Senyumnya yang hampir terbit kembali tenggelam saat mengingat bahwa, Denta lebih sempurna berkali-kali lipat dibandingkan dengan dirinya yang menjadi bayangan saja tak mampu, apalagi menjadi nyata. Perkataan papahnya selalu saja terngiang-ngiang dipikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nanteta«HIATUS»
Teen Fiction(SEBELUM MEMBACA FOLLOW DULU, YA! JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT NYA. SO, ENJOY, GUYS!) Laksana Langit dan Bumi, cerita ini hanya mengisahkan tentang bagaimana dua hal berbeda yang harus menjadi sama. Menyatu karena kebahagian orang lain, lalu menderi...