Chapter [5]

784 84 6
                                    


Tap you're star now!!!

|||

Happy reading, guys😘

Hawa dingin yang berembus membuat alam bawah sadar cowok yang sedang memejamkan mata itu tertarik. Kedua bola matanya bergerak-gerak bingung. Karena yang pertama kali ia lihat adalah atap kamarnya. Cowok itu terduduk spontan. Seketika pandangannya berputar, barang-barang di sekelilingnya bergoyang. Tangannya refleks memijat dahinya, panas. Dirinya demam.

Dante bangkit, ia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Berjalan tertatih menuju pintu balkon yang terbuka lebar. Hawa dingin itu berasal dari sana rupanya. Pikirannya masih mengawang-awang, sebab seingatnya tadi ia masih tertidur di dalam taksi. Apakah sekebo itu ia sampai tak bangun ketika Pak Taksi memanggilnya. Tanda tanyanya, siapa yang membawanya ke kamar?

"Denta ...?" ucapnya pelan dan ragu saat melihat ada seseorang di balkon kamarnya.

Seseorang itu berbalik ketika mendengar suara lirih Dante. Dia menunjukkan senyum yang menampakkan gigi kelincinya. Dante membeku, jarang sekali sang adik tersenyum seperti itu.

"Halo, kebo. Udah bangun rupanya. Gimana, nyenyak tidurnya?" sapa sang adik dengan senyum yang sudah luntur. Dante berdecak. Walau dirinya banyak makan dan suka tidur, dia sangat tak suka dipanggil kebo. Jelas-jelas dia tampan, sangat tak cocok disamakan dengan hewan jorok bernama kerbau itu.

"Lo yang udah gendong gue ke kamar?" tanyanya. Dia mendekati sang adik yang berdiri di pembatas balkon.

"Idih, percaya diri banget. Bukan gue tapi pak satpam. Lagian Lo tidur kek kebo. Dibangunin nggak bangun-bangun. Gue kira lo mati, pucet kek orang mati, sih." Denta menjawab ketus. Diliriknya sang kakak yang masih menampakkan wajah pucat. Ia menghela nafas.

Jujur saja, siang tadi saat pak satpam memanggilnya panik dengan tubuh sang kakak yang berada di gendongannya membuatnya sangat-sangat khawatir. Tubuh kakaknya siang tadi sangat pucat dan suhu tubuhnya tinggi. Dirinya tadi pun kelabakan menelepon dokter pribadi keluarganya ke rumah.

Tapi syukurlah, kini kakaknya terlihat lebih baik. Walau pucat nya masih bertengger di wajah tampan itu.

Dante terkekeh, "emang gue tadi kenapa, sih? Perasaan gue baik-baik aja."

"Nggak usah berlagak sok sehat, sok nggak papa. Kalau sakit itu bilang. Nyusahin orang aja bisanya." Ketus nada Denta berujar.

Tawa Dante selanjutnya yang mengisi keributan kecil di antara keduanya. Tawanya yang renyah ikut berbaur bersama air hujan yang perlahan tapi pasti jatuh ke bumi. Tawa Dante berakhir terganti dengan senyum tipis yang tertoreh di wajahnya yang teduh.

Tangannya menengadah ke depan. Mewadahi air hujan yang turun semakin deras. Denta turut melakukan hal yang sama. Menengadahkan tangan menikmati setiap tetes yang jatuh ke telapak tangannya. Dingin, dan dirinya tak suka. Tapi ia ingin sore ini bertahan dan menikmati hujan yang dingin ini. Ia hanya ingin memastikan sang kakak tetap baik-baik saja.

"Masuk, Dan. Dingin," suruh Denta saat melihat tubuh Dante yang menggigil kedinginan.

"Nggak. Gue mau di sini. Gue mau kencan sama hujan, lo aja yang pergi," tolak Dante yang masih bertahan di tempatnya.

Nanteta«HIATUS»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang