Dengan cepatnya, malam yang panjang kini terlewati. Pagi dengan sinarnya membawa kehangatan dan membuat tidur kedua pemuda yang masih terlelap itu terbangun. Nino mengucek kedua matanya yang masih lengket, kemudian menyingkirkan kaki Denta yang dengan seenaknya nangkring diperutnya. Enak saja menjadikannya guling disaat kedua gulingnya dikuasai sendiri oleh Denta. Memang tak tau diri ya gitu.
Masih pukul setengah enam rupanya, Nino berdecak malas, hari ini Jum'at dan sekolah masuk. Ingin bolos saja rasanya. Pemuda pemilik kulit seputih susu itu mendesis saat ponsel di dekatnya menyala. Ada panggilan masuk dari orang yang tak asing lagi untuknya. Orang ini mengubungi disaat yang tepat sekali. Jika dirinya tidak segera bangun tadi, mungkin ia tak tau jika ada yang menelepon. Sebab, ponselnya dia setel dengan mode hening.
Nino melirik pada Denta yang masih pulas. Tangannya menabok dengan keras pantat Denta, namun hanya geraman yang menjawab. Nino berdecak, "Nyet, pawang lo nelepon, nih. Bangun atau gue siram."
Denta menutupi wajahnya dengan bantal, tanda tak mau diganggu.
"Heh!—"
"—Lo yang jawab bisa, kan?! Atau lo matiin aja. Palingan nggak ada yang penting." Denta keras kepala, Nino pun tak kalah kerasnya juga. Dia turun, kemudian menarik kedua kaki Denta hingga membuat si pemilik gigi kelinci jatuh menghantam lantai dingin dengan gaya yang estetik.
"Anjing! Gue baru keluar dari rumah sakit, Cuk!" Kata-kata indah pun keluar dari bibir suci Denta dan hanya di respon dengan kekehan menyebalkan Nino.
"Mana?! Siniin cepet! Ganggu aja si bangke." Nino menyerahkan ponselnya pada Denta, dan tanpa hati Denta merampas ponsel berlogo apel itu dengan kasar.
"Awas aja hp gue sampe rusak atau kegores dikit, lo harus gantiin yang baru."
"Heleh ... Berlagak miskin lo!"
"Dasar nggak tau dir—"
"—ngapain, Sat? Ganggu orang tidur aja lo." Denta menjulurkan lidahnya mengejek. Pasalnya, Nino itu terlalu bawel. Mirip sekali dengan Dante. Dan itu sangat menyebalkan.
"Papah sama Mamah ngasih kabar ke lo nggak?" Denta menggaruk kepalanya malas. Dia heran saja pada sang kembaran. Dari kemarin terus saja menanyakan hal yang mustahil untuk terjadi. Hati Dante itu terbuat dari apa sih? Sudah dilukai masih saja bersikap bodoh.
Tak menjawab, Denta malah memperhatikan setiap gerakan Nino yang berjalan mondar-mandir membuat pusing.
"Dek ...," panggil Dante sebab Denta tak memberikan respon apapun.
"Jangan panggil gue gitu! Jijik banget dengernya." Denta menyahut ketus. "Lagian, ya, lo itu nggak usah mikirin hal yang nggak mungkin terjadi. Dikasih nafas aja masih syukur, kok malah minta yang lain lagi."
"DEN! TELEPONNYA SAMBIL DI CES AJA. HP NYA MAU GUE BAWA SEKOLAH. SI DOI BOROS BANGET, MANA POWER BANK GUE LUPA GUE ISI LAGI." Dari kamar mandi Nino berteriak bagai di hutan. Denta mendumel, ngomong pelan saja dia denger kok. Kemudian Denta dengan tak ikhlas nya berdiri untuk melaksanakan perintah si Bos Nino.
"Gue matiin, nanti gue jenguk. Minta dibawain apa?" Bukannya ia tak mau berlama-lama berbicara dengan Dante, hanya saja, Denta takut kesetrum jika terus bermain hp ketika di ces.
"Hmm ... Tumben baik? Hahaha, nggak deng. Alhamdulillah lo bisa sadar. Dan soal mau dibawain apa, nggak usah deh. Gue lagi nggak pengen apa-apa. Eh, tunggu. Lo nggak sekolah?"
"Bacot!"
Tutt ....
Denta memutus sambungan sepihak. Semakin lama dirinya mendengarkan bacotan Dante, semakin besar pula kemungkinan dirinya untuk kesetrum. Amit-amit dah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nanteta«HIATUS»
Roman pour Adolescents(SEBELUM MEMBACA FOLLOW DULU, YA! JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT NYA. SO, ENJOY, GUYS!) Laksana Langit dan Bumi, cerita ini hanya mengisahkan tentang bagaimana dua hal berbeda yang harus menjadi sama. Menyatu karena kebahagian orang lain, lalu menderi...