Rupanya, takdir memang suka bermain-main dengan kehidupan. Datang semaunya dan pergi pun juga semaunya. Sebagai seorang anak, Dante itu tipe orang yang suka berharap dan selalu menginginkan kedamaian. Berbeda dengan Denta yang terkesan bodo amat dengan aktivitas di sekelilingnya. Dante sebenarnya juga ingin seperti itu. Dia ingin bodo amat dengan sekelilingnya, tapi dia tidak bisa. Ingin berusaha sama pun, Dante dan Denta itu bagaikan langit dan bumi. Keduanya benar-benar berbeda.
Ketika pertama kali pintu rumah dibuka oleh Denta, suasana di dalamnya tampak dingin sekali seperti sudah bertahun-tahun tak dihuni oleh penghuninya. Dante masih mematung di ambang pintu, enggan untuk masuk kedalamnya jika Denta tidak mendorong tubuhnya untuk segera memasuki rumah. Denta dengan kedua tangannya yang penuh barang-barang kakaknya langsung berlalu naik ke lantai dua menuju kamar. Meninggalkan Dante yang memilih duduk di sofa yang biasanya digunakan oleh keluarga lain untuk saling mengobrol hangat. Hmm ... Keluarga lain, bukan keluarganya dan Dante tercekik dengan kenyataan itu. Dia juga ingin mempunyai keluarga yang hangat dan harmonis.
Setelah lelah dengan imajinasinya sendiri, kini tatapan Dante beralih pada dinding rumahnya yang kosong tak ada tempelan apapun. Tak ada foto keluarga di sana. Kosong benar-benar kosong. Sebenarnya, dulu pernah ada, tapi entah kapan tepatnya tiba-tiba foto itu sudah hilang entah kemana. Dan ia tak tahu siapa yang menghilangkannya. Mungkin saja Denta karena benci melihat kedamaian palsu yang ter bingkai indah di dalam bingkai foto keluarganya. Hahaha, lebih baik begitu sih.
"Dan!" Denta yang sudah sampai di atas kembali melongkok melihat ke bawah.
"Kenapa?" sahut Dante sambil mendongakkan kepalanya
"Buruan naik! Kek orang gabut aja sendirian disitu," suruh Denta dan kemudian masuk ke kamar Dante untuk meletakkan semua barang yang dibawanya.
Iya juga, kemudian Dante berdiri dan merenggangkan otot-otot tubuhnya yang kaku karena terlalu lama berbaring di ranjang rumah sakit. Benar kata Denta, berada disini dan duduk sendirian hanya akan membuat perasaannya semakin campur aduk. Menyedihkan sekali hidupnya ini. Dengan berat hati pun, Dante melangkah lambat menuju tangga. Dan menaiki tangga dengan tubuh seperti tak ada tenaga. Buat apa sih punya rumah besar tapi penghuninya pernah ada waktu untuk berkumpul. Capek.
"Mamah sama Papah masih nggak ada kabar, Den?" Tak ingin menjawabnya pun Denta mendengus kesal.
"Den ...."
"...."
"Denta ...."
"Males gue jawabnya. Pertanyaan lain aja."
Dante mengangguk paham, sesampainya dihadapan Denta, ia menatap serius pada mata sang adik. Berusaha menyelami kedalam mata Denta yang sangat susah ditebak. Tapi hasilnya tetap sama, hanya kekosongan yang ada di sana.
"Gue mau tanya satu hal sama lo. Dan ini penting banget."
Denta mengangguk, baginya Dante bertanya itu sudah biasa. Dan selalu pertanyaan tak penting yang ditanyakan Dante. "Apa?"
"Lo pengen nggak sih akur sama gue?" Pertanyaan klasik. Dan Denta sudah berulang kali menjawabnya.
"Males," jawab Denta acuh dan Dante mengangguk lagi. Selalu percuma Dante menanyakan hal itu.
"Oke. Sekali lagi ya? Kali ini menurut pandangan lo aja. Bisa nggak sih gue itu hidup bahagia? Punya keluarga yang normal dan punya kehidupan yang baik-baik aja? Bisa nggak? Tolong jawab, gue berulang kali tanya itu sama diri gue sendiri, tapi jawabannya ... Diri gue nggak tau."
"Jangan jawab kalau gue harus introspeksi diri lagi. Jujur, gue nggak tau apa yang salah. Karena menurut gue, yang selama ini gue lakuin itu udah yang paling bener. Udah baik buat orang lain. Terus apa yang salah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nanteta«HIATUS»
Novela Juvenil(SEBELUM MEMBACA FOLLOW DULU, YA! JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT NYA. SO, ENJOY, GUYS!) Laksana Langit dan Bumi, cerita ini hanya mengisahkan tentang bagaimana dua hal berbeda yang harus menjadi sama. Menyatu karena kebahagian orang lain, lalu menderi...