Hembusan angin malam menampar tubuh tegap pria yang kini berdiri dengan jiwa yang berkelana. Hawa sehabis hujan sedikit mampu mendinginkan otaknya yang sedang mengepul karena masalah terus datang beruntun. Menimpa hidupnya yang tak pernah dihinggapi ketenangan itu. Entah takdir hidupnya memang begitu atau memang belum saatnya bahagia saja.
Fadlan memperhatikan lalu lalang kendaraan yang keluar masuk parkiran dari lantai enam tempatnya menenangkan pikiran sekarang. Penampilannya kacau, wajahnya kusut sama dengan isi kepalanya yang bagai benang ruwet. Sudah hampir dua jam dia berdiri sendirian di sana. Lalu lalang manusia yang lewat di sana pun hanya sekedar melihat dengan tatapan beragam.
"Mas Fadlan?" Fadlan dengan tampilan kusutnya menoleh. Menghela nafas setelah melihat sosok perempuan memanggilnya.
"Tumben kesini, ada masalah kah?" tanya perempuan itu lembut. Kaki panjangnya melangkah mendekati posisi dimana Fadlan berdiri termenung. Bahkan kehadirannya tak merubah banyak hal. Fadlan benar-benar menganggapnya seperti tidak ada. Tatapan lelaki itu kosong, sarat dengan beban berat yang tengah dipikulnya.
"Pulang aja gih, Mas. Kalau kesini nggak mau cerita mending pergi aja. Aku sibuk. Kebetulan aku lagi ada jadwal sama anak koas." Tetap tak sambutan suara dari bapak dua anak itu.
"Mas—"
"—aku bingung, Mil. Akhir-akhir ini aku nggak bisa ngendaliin emosi. Tempramen aku makin parah." Mila—perempuan itu menarik tangan Fadlan untuk duduk di kursi yang berada dibelakang mereka berdiri.
"Oke, Mas cerita pelan-pelan. Aku bakal dengerin."
Lorong tempat mereka berbicara terdengar hening. Kegiatan di sekitar mereka yang tadinya ramai, kini hanya selang-seling. Mungkin karena hawa dingin di lorong ini sangat terasa. Orang-orang lebih memilih mendekam di ruangan masing-masing.
Mila yang merasakan udara di sekitarnya semakin dingin memilih menggosok-gosok kedua telapak tangannya berusaha menciptakan kehangatan. Jika bukan rasa iba nya pada Fadlan, dirinya lebih baik mendekam di ruangannya sambil menyalakan penghangat ruangan. Tapi untuk kali ini, Mila berusaha mengerti. Sebagai adik yang baik, ia harus berusaha memahami apa mau kakaknya itu.
"Mas, ayo masuk ke dalam aja. Disini dingin, nih liat tangan aku jadi keriput." Mila memperlihatkan telapak tangannya yang mengkerut. Dan itupun sama sekali tak diindahkan oleh Fadlan. Mila sih sudah tidak kaget lagi. Sebab, sifat Fadlan memang seperti itu. Sebagai saudara saja, Mila belum pernah melihat sisi lembut dari Fadlan. Kakaknya itu selalu terlihat ketus dan tak acuh.
Tak lama kemudian, rintik hujan yang jatuh terlihat dari kaca besar yang menghadap ke luar. Deras sekali, pantas saja udara menjadi dingin tidak seperti biasanya.
Sambil menerawang melihat hujan, Fadlan membuka mulutnya, memulai ceritanya. "Rumah tangga aku udah diujung tanduk, Mil. Rinda udah mulai nggak betah sama aku, dia udah berani main sama laki-laki lain," jeda sejenak. Fadlan menghembuskan nafas lelah, "Aku harus gimana?" Fadlan mengusap wajahnya frustasi. Rinda sama sekali tidak menghubunginya, dan sepertinya Rinda sudah tidak peduli kepadanya.
Penuturan Fadlan membuat Mila terkejut. Dirinya tak habis pikir saja, Rinda yang setahunya berkepribadian baik bisa bertingkah seperti itu. Pasti ada pemicunya, dan ia yakin jika Fadlan yang memulai. "Mas! Jangan kayak gitu lah. Kamu sebagai kepala keluarga harus bisa memimpin keluarga kamu sendiri. Pikirin Dante sama Denta dong. Mereka yang bakal jadi korbannya nanti." Mila menatap Fadlan sangsi, "hmm ... Aku nggak yakin Mas peduli dan ingat sama anak-anak Mas."
Seperti baru tersadarkan, Fadlan menatap kosong pada lantai dingin yang dipijaknya. Karena sibuk memikirkan diri sendiri, dia sampai lupa untuk melihat keadaan kedua putranya yang sama-sama tak sehat dan dirinya lah penyebabnya. Mila benar, ia hampir melupakan Dante dan Denta. Kenapa semuanya menjadi semakin rumit seperti ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Nanteta«HIATUS»
Teen Fiction(SEBELUM MEMBACA FOLLOW DULU, YA! JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT NYA. SO, ENJOY, GUYS!) Laksana Langit dan Bumi, cerita ini hanya mengisahkan tentang bagaimana dua hal berbeda yang harus menjadi sama. Menyatu karena kebahagian orang lain, lalu menderi...