lantai dua

2K 150 1
                                    

Aku duduk kembali di atas kasur di kamar baruku setelah membukakan pintu untuk Dokyeom. Ia juga kini terduduk di sampingku. Setelah sekitar dua tahun tidak bertemu setelah kelulusan SMA, kami berbincang banyak mengenai hal-hal selama dua tahun terakhir ini.

Sebenarnya aku ingin bertanya banyak mengenai gedung ini, tapi karena ia berceloteh mengenai hidupnya sendiri selama satu jam ini, aku mengurungkan niatku. Mendengarkannya yang bercerita bagaimana susahnya berpindah dari lantai bawah ke lantai atasnya.

Dapat kusimpulkan dari cerita Dokyeom bahwa jika ingin naik ke lantai yang lebih tinggi dan mendapat fasilitas lebih maka harus menjalankan misi dengan baik. Aku sempat bertanya tentang misi apa yang dimaksud Dokyeom dan kertas itu, tapi ia bilang "Kau akan tahu pada waktunya" yang membuatku semakin penasaran.

Dokyeom selesai dan kini giliranku, aku bercerita banyak padanya tentang apa yang terjadi pada keluargaku. Ia hanya menatapku dengan memelas dan sesekali memberikan sebuah elusan pada punggungku guna memberi simpati yang sebenarnya tidak kubutuhkan.

Selesai dengan ceritaku, ia mengajakku berkeliling di lantai satu ini dengan memberikan beberapa selaan candaan juga ucapan mengenai fasilitas yang lebih bagus di lantai atas. Padahal menurutku lantai ini sudah bagus, sangat malah, apalagi bisa tinggal dengan gratis.

Kamar tersedia dan digunakan sendiri, untuk kamar mandi masih menggunakan kamar mandi umum, ada ruang khusus untuk makan, ibadah, olahraga, dan lain-lain. Lantai satu ini sebenarnya lebih dari cukup bagiku.

Jam sudah menunjukkan pukul enam lebih empat puluh lima menit, setelah beberapa jam tadi menghabiskan waktu dengan Dokyeom, ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Mengingat lima belas menit lagi ada jadwal makan malam.

Aku berjalan kembali ke kamarku setelah mengantar Dokyeom sampai depan lift. Langkahku terhenti pada sebuah pintu bertuliskan staff only, pintu tersebut satu-satunya di lantai satu yang aku kira berwarna hitam, karena pintu lain yang sedari tadi kulihat pasti berwarna putih.

Entah mengapa aku begitu penasaran, aku penasaran tentang gedung ini. Aku penasaran siapa pemilik gedung ini, juga kenapa gedung ini tak ada di maps atau pusat pencarian di Internet. Tapi kuurungkan niatku untuk membukanya, aku kemudian melanjutkan perjalanannku menuju kamarku.

Setelah membenahi koperku beserta isinya, aku mendengar suara bel berbunyi dan setelahi itu suara seorang wanita di speaker yang memberitahukan bahwa waktunya untuk makan. Tak mau untuk tidak mendapat makan selama dua hari, aku bangkit dari dudukku dan keluar dari kamarku. Melihat beberapa orang yang keluar dari kamar mereka masing-masing dan memutuskan untuk mengikuti mereka.

Kami sampai di ruang khusus untuk makan yang Dokyeom tunjukkan tadi, di dalam ruangan ini sudah penuh dengan berbagai jenis makanan prasmanan. Sekitar tiga puluh orang mengantri untuk mendapatkan giliran.

Mendapat giliran, aku mengambil beberapa makanan yang menurutku pas untuk seleraku sendiri, tak lupa dengan segelas air putih. Kubawa makananku ke sebuah meja yang masih kosong di pojok ruangan dan memulai untuk memakan makananku.

"Bolehkah aku duduk di sini?"

Aku mendongak, mendapatkan seorang pria dengan rambut pirang, aku yakin itu bukan rambut aslinya, dan aku mengangguk untuk menanggapinya. Ia segera mendudukkan pantatnya itu ke kursi di depanku dengan menampilkan senyuman.

"Kau baru di sini?"

Tanyanya kemudian dan aku hanya memberikan anggukan lagi. Ia juga mengangguk mengerti dan mulai menyantap makanan yang ia bawa.

Disela-sela acara makan malam pertamaku di sini, seseorang yang duduk di depanku ini selalu mengajakku berbicara meskipun di mulutnya masih terdapat makanan. Membuat pipinya bertambah gembul saja.

Hëna e DiellitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang