lantai sepuluh

1K 107 1
                                    

Aku menerjapkan kedua mataku setelah entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Aku ingat jelas apa yang terjadi padaku dan kini aku terbaring di kamarku. Aku menoleh dan mendapati dia yang sedang menatapku dengan tersenyum. Aku tidak mengerti kenapa ia selalu tersenyum seperti itu.

"Daegam-nim, anda baik-baik saja?"

Tanyanya, aku bangkit dan terduduk, lalu mengangguk untuk menanggapinya. Aku kemudian merapikan pakaian yang aku gunakan.

"Daegam-nim."

Panggilnya dan aku menoleh.

"Saya rasa, kekuatan matahari itu mulai masuk ke tubuh Daegam-nim. Dan jika suatu hari terjadi sesuatu, saya harap anda bisa menerima bantuan saya."

Aku mengernyitkan dahi bingung, tidak mengerti dengan apa yang ia bicarakan. Kutak menanggapi hal tersebut, aku langsung berdiri dan berniat keluar dari kamar.

Ia mengikutiku sadari belakang dan setelah membuka pintu, ternyata hari sudah mulai malam. Naesi-ku bertanya kemana aku akan pergi dan aku meminta mereka untuk tidak ikut denganku.

Aku kemudian menarik tangannya dan membawanya pergi ke danau tadi. Ia tak bertanya mengenai apapun sampai kami sampai di pinggir danau tersebut.

"Aku ingin melihat kekuatanmu, coba tunjukkan."

Pintaku, ia menatapku dengan bingung, bahkan sampai kusuruh dua kali, ia tetap menggelengkan kepalanya tidak mau.

"Kau menolak perintahku? Baiklah."

Aku mengerjainya, berjalan ke pinggir danau dan berniat menceburkan diri, tapi ia menahan tanganku dan mengangguk akan melakukannya.

Ia kemudian memejam matanya sembari mengarahkan telapak tangannya ke atas dan tak berapa lama, sebuah cahaya yang begitu terang. Ini benar-benar bukan sebuah mimpi, aku melihat sendiri bahwa cahaya keluar dari telapak tangannya. Aku masih memperhatikannya sampai cahaya itu mulai meredup dan ia menghentikannya.

"Maaf Daegam-nim, saya tidak bisa menunjukkannya terlalu lama."

Ucapnya dan aku mengangguk. Dan di hari ini aku sadar bahwa aku tak akan bisa terpisah dengannya jika aku benar-benar orang yang akan menerima kekuatan itu.

Setelah malam ini, waktu berjalan seperti biasanya. Waktu berlalu dengan cepat. Dan ketika siang hari, aku di paksa untuk tidak keluar dari kamarku, karena takut jika terjadi sesuatu padaku.

Selain itu selama beberapa hari ini aku tak melihatnya, ia tak datang mengunjungi kamarku seperti biasanya. Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang terjadi padanya setelah malam itu. Pasalnya sekembalinya kami dari danau itu, ia terlihat begitu pucat.

Malam ini, aku memutuskan untuk keluar dan mengunjunginya, dan ketika masuk ke kamarnya, aku melihatnya sedang terbaring tak berdaya. Ia tak sadarkan diri. Aku bertanya pada naesi-nya dan mejawab bahwa ia sudah seperti itu sejak sekembalinya ia dari danau.

Aku terduduk di samping ia berbaring, memperhatikan wajahnya yang begitu pucat. Ia masih orang yang sama tapi kali ini berbeda. Ia terlihat begitu dingin dengan wajahnya itu ketika tidak tersenyum.

Aku kemudian meraih dahinya dan memegangnya. Bukan panas layaknya seseorang yang sakit, tapi tubuhnya begitu dingin layaknya seorang mayat. Padahal ia masih bernapas. Aku begitu bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Bagaimana ia akan menjagaku jika dirinya saja terbaring lemah seperti ini.

Apa dia seperti ini karena beberapa hari lalu ia mengeluarkan begitu banyak kekuatannya atas perintahku? Tidak mungkin kan? Jika ia mendapatkan kekuatan itu sejak lahir, harusnya ia sudah terbiasa dengan itu.

Aku kemudian meraih tangannya yang ia gunakan untuk mengeluarkan cahaya itu. Aku melihat ada tanda bulan sabit di telapak tangan itu. Perlahan aku meraih tanda itu dan menutupnya dengan telapak tanganku.

Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, entah cahaya siapa yang keluar dari telapak tangan kami. Cahaya itu berwarna seperti api dan perlahan aku bisa merasakan tubuhku yang entah mengapa merasa lemas.

Aku melihat wajahnya yang perlahan berubah menjadi tidak pucat lagi. Aku meraih dahinya dengan tangan satuku dan merasakan suhu tubuhnya yang kembali normal. Aku kembali fokus pada tanganku, cahayanya mulai meredup seiring tangannya yang bergerak.

Aku menoleh kembali ke arah wajahnya dan ia perlahan membuka matanya. Tapi kini aku merasakan pening di kepalaku dan tubuhku melemas. Aku akan terhuyung jatuh jika ia tak segera bangun dan meraih tubuhku ke dalam pelukannya.

"Daegam-nim, kekuatan anda belum cukup."

Ucapnya di sisi telingaku. Aku menghiraukannya dan masih merasakan pusing di kepalaku. Tubuhku merasakan pelukannya yang semakin erat setelah tangan kami yang bertaut tadi terlepas. Ia mengelus punggungku dan menepuk-nepuknya pelan.

Perlahan, seiring berjalannya waktu, rasa pusing di kepalaku mulai menghilang dan tubuhku kembali seperti sedia kala. Tapi entah mengapa aku masih berada di pelukannya sampai ia yang melepasnya sendiri.

"Daegam-nim, kenapa kau melakukannya?"

Tanyanya sembari menatap wajahku dengan tangannya yang memegang kedua lenganku. Aku menggeleng untuk menjawabnya. Karena aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhku sendiri. Aku tidak tahu kenapa aku melakukannya, aku hanya mengikuti instingku.

Aku lalu mulai merasakan kantuk yang luar biasa, entah karena apa. Aku kemudian beranjak berdiri dan memberitahunya bahwa aku akan kembali ke kamarku. Ia membungkuk dan mengucapkan terima kasih. Aku keluar dari kamarnya dan berjalan menuju kamarku. Dan sampai di kamar, aku langsung tertidur begitu saja di atas kasurku.

***

Tiga hari selanjutnya, acara pernikahan kami di adakan. Seperti layaknya pernikahan kerajaan seperti biasanya, kami melakukan berbagai ritual selama beberapa hari. Hingga akhirnya ia resmi menikah denganku.

Karena tahu tujuan dari pernikahan ini, aku menghiraukan perkataan semua orang ketika membahas aku yang menikah dengan seorang laki-laki. Bahkan Pyeha sendiri yang menyuruh dan mengatur semuanya.

Kami hanya terikat oleh pernikahan dan aku tahu jelas bahwa ia menyukaiku. perasaanku tetap sama seperti dulu, aku tak menyukainya dan masih bersikap dingin padanya. Meskipun sekarang aku juga tersadar bahwa sikap dinginku seperti berubah, entah berubah di mananya. Aku terkadang merasa bahwa aku harus khawatir padanya jika beberapa hari tidak bertemu. Aku harus tahu tentang keadaanya dan berakhir aku yang menemuinya.

Kini aku berjalan tergesa menuju ke arahnya yang sedang duduk membaca buku seperti biasanya. Entah kenapa aku yang khawatir ketika mendengar rumor tentang dirinya. Seluruh istana membahas mengenai kekuatan yang ia miliki, merumorkan bahwa kekuatan tersebut adalah sebuah kutukan.

"Daegam-nim, kenapa anda di sini?"

Itulah pertanyaan pertamanya ketika aku memanggilnya. Aku tidak mengerti, entah dia yang belum mendengarnya atau dia yang memang bersikap acuh.

"Kekuatan itu sebuah kutukan?"

Tanyaku langsung, ia berdiri dari duduknya dan menutup buku yang ia baca.

"Tidak daegam-nim, itu bukanlah sebuah kutukan."

"Lalu kenapa kau diam saja, seluruh istana membahas hal itu."

"Saya tidak peduli daegam-nim, saya datang ke istana dan menikah dengan anda agar saya bisa menjaga anda, bukan untuk menanggapi mereka."

Aku tidak habis pikir dengan apa yang ia pikirkan. Kenapa ia tidak peduli dengan dirinya sendiri dan selalu memikirkanku. Bahkan sampai sekarang pun aku tidak bisa merasakan kekuatan itu, apa aku perlu di jaga?

"Tidak semua hal di dunia ini itu dapat dijaga olehmu. Termasuk aku."

Aku berlalu pergi meninggalkannya dan menghiraukan panggilannya. Ia masih saja mengikutiku bahkan sampai di depan kamarku. Aku sudah menutup pintunya dan ia masih saja berusaha masuk.

"Kenapa Daegam-nim khawatir dengan saya?"
.
.
.
.
.
tbc

Hëna e DiellitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang