lantai empat belas

906 102 4
                                    

"Aku tidak berhak bercerita padanya, jika ia ingat, ia akan ingat. Jika tidak, aku tidak apa."

Aku keluar dari ruangan dokter Yoon dan juga rumah sakit tersebut. Langsung menuju tempat parkir di depan gedung tersebut. Aku mendongak dan 'melihat' ke arah lantai sembilan belas di mana kamarnya berada. Kuarahkan tanganku, berniat untuk memberikan pelindung pada gedung ini. Karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi selama satu minggu kedepan.

Selesai dengan pekerjaanku, aku memasuki mobilku dan sopirku mulai melajukannya menuju bandara. Menunggu selama beberapa menit lalu check in dan pesawat tersebut mulai lepas landas. Sebenarnya, aku bisa saja menjentikkan jari dan langsung sampai di tempat tujuanku. Tapi, aku ingin menjadi manusia normal biasa, manusia yang bisa menikmati seluruh fasilitas yang ada.

Sekitar dua belas jam aku menghabiskan waktu perjalanan menuju London. Dan sesampainya di sana, aku mencari taksi dan menuju ke sebuah rumah yang sudah lama tak aku kunjungi. Rumah di mana terdapat seseorang yang masih berhubungan darah denganku.

Setelah turun dari taksi, aku memasuki rumah khas Eropa tersebut dan mendapatkan orang yang aku panggil kakek itu sedang membaca buku.

"Jeonha."

Aku memanggilnya meskipun tak memberi hormat seperti dulu. Ia kemudian menoleh dan tersenyum padaku. Menutup bukunya lalu melepas kacamata bacanya, ia berdiri dan menghampiriku lalu memelukku erat. Tidak dapat dipungkiri bahwa sudah lebih dari enam bulan kami tidak bertemu.

"Sudah kakek bilang, jangan memanggilku seperti itu. Aku sudah bukan lagi seorang purnaraja."

Ucapnya sambil memukul lenganku. Sebenarnya aku tahu ia menyukai panggilan tersebut, ia hanya malu. Ia kemudian menyuruhku duduk dan menyuruh pekerjanya untuk membuatkan minum untukku. Setelah minum tersebut datang, kami mulai berbincang dan aku menyampaikan tujuanku datang mengunjunginya.

"Ia sudah kembali, Jeon Wonwoo."

Ia yang mendengar pernyataanku merasa terkejut.

"Begitu cepat? Kakek kira ia akan kembali ketika kau berumur seribu tahun."

Aku tidak mengerti dengan perubahan sikapnya selama enam ratus tahun ini. Aku kira ia akan meninggal pada waktunya tapi malah sepertiku dan hidup sampai sekarang. Oh, mungkin kakek melakukan kesalahan yang begitu besar yang tak kutahu apa itu.

"Lalu bagaimana, apakah ia ingat denganmu?"

"Kami belum bertemu, aku hanya menemuinya dan tak memperbolehkannya melihatku."

"Bodoh sekali cucuku ini."

Ia kemudian bangkit dan terduduk di sampingku. Lalu melepas kacamata yang aku pakai dan menampilkan kedua mata butaku.

"Bagaimana cara kau menukar kedua mata itu?"

"Aku memancingnya memasuki ruangan itu. Dan ia menjadi buta, lalu aku menyuruh tabib Yoon untuk melakukan operasi."

"Kakek rasa, prosesnya akan begitu panjang."

Ia bangkit dari duduknya setelah melempar kacamataku ke pangkuanku. Ia berjalan ke sebuah rak buku yang ada di sana dan mengambil salah satu manuskrip kuno yang aku tahu jelas tentang apa itu.

"Ayo kembali ke Korea."

Lanjutnya dan membuatku terkejut.

"Kembali? Aku kira kakek akan melakukannya di sini."

"Tidak Mingyu, kita harus melakukannya di sungai itu."

"Besok saja, aku lelah."

Ucapku lalu bangkit dari dudukku. Aku berjalan meninggalkannya untuk naik ke lantai dua di mana kamar yang biasanya aku gunakan jika aku sedang berkunjung ke sini.

Hëna e DiellitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang