lantai sembilan

1.1K 107 0
                                    

~old time~

Aku berlari terhuyung ketika berusaha menghindari kejaran anak buah ayahku sendiri. Mereka tak segan-segan mengarahkan anak panah ke tubuhku yang sejak tadi berusaha untuk menghindar. Aku tak mengerti dengan sifat ayah, kenapa ia bersikeras menjodohku padahal aku sudah berulang kali menolaknya. Ia tetap saja keras kepala sampai aku memutuskan untuk pergi dari rumah dan kini aku malah dikejar-kejar seperti anjing liar.

Kususuri hutan yang penuh dengan pohon entah apa ini dengan semak belukar yang mengenai kakiku dan memperlambat gerakanku. Di belakangku ada sekitar tujuh orang yang masih setia mengarahkan anak panahnya padaku.

Tubuhku sudah kelelahan, tidak tahu sudah berapa lama aku berlari untuk menghindar. Luka anak panah di kaki juga lenganku juga semakin sakit, menambah beban kecepatan pada kakiku untuk berlari. Dan begitu sialnya aku tak memperhatikan ranting pohon yang ada di depanku, tentu saja aku terjatuh begitu saja. Merasakan sakit luar biasa pada betisku yang masih tertancap anak panah itu.

Kutolehkan kepalaku dan melihat anak buah ayah yang sudah dekat. Aku menoleh ke kanan kiri dan tak melihat siapa pun. Raja yang terhormat, kau sungguh akan menjodohkan putramu ini dengan laki-laki itu? Sialan!

*

Setelah sampai di rumah, aku dikurung begitu saja oleh anak buah ayahku di dalam kamar. Lukaku sedang di obati oleh tabib yang di panggil ayah. Aku hanya terdiam menunggu tabib mengobati luka di kakiku.

"Daegam-nim."

Aku menoleh ketika tabib itu memanggilku. Aku kenal betul siapa dia. Dia adalah orang yang selalu mengobatiku ketika aku terluka.

"Saya rasa, Daegam-nim lebih baik menuruti perkataan Pyeha, agar Daegam-nim tidak terluka seperti ini."

"Tabib Yoon, tugasmu hanya menyembuhkan lukaku, bukan menasihatiku."

Jawabku, ia memang lebih tua dariku tapi karena pangkat ini, aku memanggilnya dengan sebutan seperti itu, meskipun aku tahu dia adalah saudara jauhku.

Setelah beberapa lama menunggu, tabib Yoon akhirnya keluar, aku kemudian bangkit dan meraih Jeogariku dan memakainya. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, menampakkan seorang laki-laki yang begitu aku benci.

Ia memberi hormat sebelum akhirnya terduduk bersimpuh di depanku. Kualihkan pandanganku karena aku tak ingin melihat wajahnya yang dingin itu.

"Apakah Daegam-nim baik-baik saja?"

Tanyanya, aku menoleh dan melihat ada raut wajah khawatir yang ia tampilkan. Sebenarnya aku masih tidak mengerti kenapa Pyeha menjodohkanku dengannya. Apalagi dia seorang laki-laki, dan semua saudara laki-lakiku dijodohkan dengan seorang perempuan. Kenapa hanya aku?

"Apa aku terlihat baik-baik saja?"

Ucapku masih sama ketusnya seperi biasa. Sudah sekitar tiga bulan aku mengenalnya dan perasaanku terhadapnya masih sama. Benci.

"Izinkan saya menyembuhkan luka anda Daegam-nim."

Ucapnya sembari mendekat dan mencoba meraih kakiku. Di mana kesopanannya? Aku langsung menepis begitu saja tangannya, entah terlalu kuat atau tidak, tapi ia tersungkur ke lantai kamarku.

"Kau pikir siapa kau bisa menyentuhku?!"

Aku menatapnya tajam, ia membenarkan posisi duduknya dan menunduk.

"Maafkan saya. Saya hanya mencoba untuk menyembuhkan luka anda."

"Kau bukan tabib, dan tabib Yoon sudah mengobatinya. Sekarang keluar!"

Hëna e DiellitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang