lantai sembilan belas

881 100 2
                                    

Aku memasuki kamarku dan mendapati Wonwoo yang masih tertidur. Ia belum sadarkan diri sampai sekarang sejak pagi tadi aku membuatnya pingsan. Aku berjalan ke arahnya dan terduduk di sisi ranjang tersebut. Kuraih tangan kanannya dan kugenggam erat sembari kuelus punggung tangan tersebut.

Ia sedikit menggeliat dan berakhir membuka kedua matanya. Ia menepis tanganku dan bangkit dari tidurnya, menatapku dengan sebuah sorot mata takut dan rasa bersalah. Ia berusaha untuk turun dari tempat tidur tersebut tapi aku menahannya.

Aku memegangi kedua lengan atasnya dan melihatnya yang kini menunduk. Ia masih terdiam dan tidak mengatakan satu kata pun. Ia memang sedikit shock tentang kejadian hari ini di sungai itu. Semuanya datang begitu saja ke kehidupannya yang sebenarnya adalah miliknya sendiri.

Aku juga merasa bersalah di sini, aku merasa terlalu memaksakan kehendakku untuk bersamanya. Aku terlalu memaksa mengingatkannya pada kehidupan masa lalu kita yang sama sekali ia tidak tahu. Ia bukanlah orang yang sama dengannya dulu, ia lahir dari keluarga berbeda dan waktu yang berbeda pula. Ia secara kebetulan mirip dengannya dan mendapat kekuatan yang sama dengannya. Hanya itu.

"Maafkan aku karena terlalu memaksa. Izinkan aku untuk menghapus semua ingatan itu."

Ucapku lalu meraih dahinya namun ia kembali menepis tanganku. Ia kemudian menggeleng untuk menanggapiku.

"Ini adalah ingatan milikku, kau tidak berhak menghapusnya."

Akhirnya ia mengeluarkan suaranya. Aku hanya tersenyum simpul menanggapinya dan kemudian bangkit dari dudukku. Tujuanku membuat gedung ini adalah agar ia bisa tinggal di sini, bukan ia kembali padaku.

"Kau boleh kembali, dan itu adalah pilihanmu untuk mengingatnya."

"Daegam-nim."

Aku tersenyum ketika ia memanggilku seperti itu, tahu bahwa perasaan yang ia miliki adalah sebuah rasa bersalah dari kehidupan masa lalunya, bukan sebuah perasaan yang bisa menyatakan bahwa ia juga mencintaiku. Ia orang yang berbeda.

"Kau boleh kembali ke kamarmu."

Ucapku sebelum akhirnya aku keluar dari kamar tersebut. Aku tak menoleh dan melihat sedikit pun bagaimana reaksinya mengenai hal yang aku sampaikan. Entah hatinya akan merasakan sakit atau tidak, aku tak memikirkannya.

Kujentikkan jariku setelah sampai di ruang tamu dan kini aku sudah berpindah di sebuah jurang tempat di mana ia mendapat kekuatannya. Aku terduduk di pinggiran jurang tersebut, mengingat masa laluku tentang berkali-kali aku terjun dari jurang ini agar bisa mati dan menyusulnya.

Kutatap langit sore hari ini, tak begitu cerah, matahari tertutup oleh kumpulan awan putih. Kubuat janji padamu Jeon Wonwoo, bahwa aku akan selalu menjagamu dan tak berharap kau membalas perasaanku. Aku hanya ingin kau hidup dengan bahagia di kehidupan keduamu ini. Jadilah Jeon Wonwoo yang sekarang, bukan Jeon Wonwoo yang dulu.

*

Aku kembali ke gedung setelah hari sudah mulai meredup, memasuki kamarku lalu membersihkan diri. Aku memikirkan tentang hal di mana aku memberitahukan dia bahwa dia boleh menemuiku ketika ia sampai di lantai dua puluh sembilan, tapi semuanya tidak sesuai rencana. Ia terlebih dahulu mengetahui semuanya sejak kejadian pagi tadi.

Selesai membersihkan diri dan mengganti baju, aku keluar kamar untuk pergi ke dapur, mengambil segelas air lalu menegaknya habis. Aku melihat ke arah jam dinding yang ada di ruang tamu, menunjukkan pukul tujuh malam lebih. Aku kemudian masuk ke ruang kerjaku, ku buka komputer dan mulai mengetikkan sesuatu. Ini akan menjadi cerita terakhir dari Hëna e Diellit. Tentang ia yang kembali.

Dua jam aku tetap dalam posisi seperti itu, sedangkan tanganku sibuk mengetikkan susunan kalimat yang ada di otakku. Aku terhenti karena suara bel di pintu masuk. Aku kemudian bangkit dan menuju ke pintu masuk dan membukanya. Menampilkan Wonwoo yang berdiri di depan pintu tersebut dengan beberapa buku yang aku tahu jelas itu buku apa.

"Aku datang untuk meminta tanda tangan."

Ucapnya, aku tersenyum mendengarnya dan menyuruhnya untuk masuk. Kuambilkan ia segelas air dan kusodorkan padanya yang kini sudah terduduk di sofa ruang tamu. Aku kemudian mengambil pena dan mulai menandatangani satu persatu buku yang ia bawa. Ini adalah tanda tangan pertamaku pada mereka yang membaca bukuku.

"Aku sudah memikirkannya."

Aku terhenti untuk menandatangani buku ketiga, aku menoleh dan menatapnya yang duduk di seberangku.

"Mari kita mulai dari awal. Aku adalah Jeon Wonwoo masa kini dan kau adalah Kim Mingyu masa kini. Jangan terikat dengan masa lalu."

Mendengar hal tersebut, aku hanya tersenyum dan melanjutkan menandatangani buku ketiga dan keempat. Lalu mendekatkannya pada Wonwoo. Aku menutup pena tersebut lalu terduduk dengan tegap dan menatap Wonwoo yang kini juga menatapku.

"Mungkin itu mudah bagimu, tapi tidak denganku Jeon Wonwoo. Kau membaca buku ini dan seharusnya kau tahu bahwa aku tidak pernah mati."

Ia terdiam, memang untuk menjadi Kim Mingyu masa kini itu tidak mudah. Aku tidak bisa dengan mudahnya melupakan ingatanku selama enam ratus tahun lebih ini. Aku tidak bisa melupakan segalanya begitu saja, termasuk ingatan bagaimana aku bertahan untuk menunggunya.

"Itulah sebabnya kita harus memulainya bersama."

"Ehm, kau bilang untuk tidak terikat dengan masa lalu, tapi semua ini, yang ada pada diriku sekarang ini berjalan karena adanya masa lalu. Aku tidak pernah lupa bagaimana masa laluku dulu."

"Tapi, Mingyu.."

"Wonwoo, aku tidak berharap kau membalas perasaanku. Kau berlaku seperti ini hanya karena kau merasa kasihan juga bersalah terhadapku. Itu bukanlah perasaan mencintai. Kau adalah orang yang berbeda dengannya."

"Apa yang berbeda?"

"Segalanya, kau hanya secara kebetulan mirip dengannya dan mendapatkan kekuatan yang sama sepertinya."

"Tapi perasaanku tidak berbeda dengannya!"

Ia meninggikan suaranya dan berdiri dari duduknya. Aku juga berdiri, aku tahu emosinya tidak stabil sekarang dan ia ternyata mudah sekali marah.

"Kenapa aku menangis ketika pertama kali kita bertemu di lift itu? Kenapa aku selalu memikirkan untuk bertemu denganmu setelah kau datang di malam itu? Kenapa aku merasakan kesakitan ketika melihatmu seperti tadi pagi? Kenapa aku marah ketika kau bahkan tidak mau mengakuiku dan hanya menganggap bahwa ini bukanlah apa-apa."

Ia mulai menangis, lagi. 

"Wonwoo, tenanglah, kau.."

"Aku tidak bisa tenang Mingyu! Sore tadi kau meninggalkanku dan aku sangat takut kau benar-benar akan meninggalkanku. Aku sangat merasa bersalah karena telah meninggalkanmu dan karena wangseja menyentuhku. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri karena mengkhianatimu."

Aku berjalan ke arahnya yang semakin meteskan banyak air mata. Aku meraih tubuhnya dan mencoba membuatnya duduk kembali. Nafasnya memburu dan ia berusaha untuk menghapus air matanya sendiri. Aku kemudian terduduk di sampingnya dan menghadapnya.

"Aku tahu kau tidak percaya, tapi perasaan itu juga kembali bersama ingatan itu, Mingyu. Perasaan itu ada begitu saja dan aku tidak tahu harus bagaimana jika kau benar-benar tak mengakuinya."

Ia menunduk begitu dalam, kuraih tubuh itu dan kuelus punggung lebarnya.

"Aku mencintaimu, Mingyu. Saya mencintaimu, daegam-nim. Perasaan itu masih sama."

~Mingyu's POV end~
.
.
.
.
.
tbc

Hëna e DiellitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang