lantai enam

1.2K 119 4
                                    

Aku terbangun dengan sebuah tangan yang melingkar di pinggangku. Aku menoleh dan mendapati pria yang tadi memberiku kenikmatan entah berapa kali itu masih tertidur dengan pulasnya. Secara perlahan, aku menyingkirkan tangannya. Aku bergeser sedikit ke arah nakas di samping tempat tidur ini.

Kuraih cincin emas tersebut dan memang benar ini cincinnya. Aku memperhatikan cincin tersebut dan di sisi dalamnya terdapat bentuk huruf yang terpatri di sana. 'W'. Entah itu berarti apa. Atau inisial nama yang memberiku misi? Atau pria ini? Aku menoleh ke arah pria yang masih tidur.

Itu yang hanya dapat kupikirkan. Aku kemudian bangkit dan turun dari tempat tidur tersebut, tubuhku begitu lengket dan bau sperma kami. Aku meraih bajuku dan celanaku.

"Mau ke mana kau?"

Mendengar suara itu, aku menelan ludahku kasar. Ia tak tahu kan kalau aku mengambil cincinnya? Aku kemudian menoleh dan mencoba menampilkan senyumku. Tanganku kukepal erat sembari memegangi bajuku.

"Pulang, hari sudah malam."

Jawabku sebisa mungkin. Ia kemudian bangkit dan menuruni tempat tidur tersebut dan mendekat ke arahku.

"Mandilah terlebih dahulu kau bau sperma."

Ucapnya lalu memberikan sebuah kecupan di bibirku. Apa ini? Kenapa pipiku terasa panas? Ia kemudian menunjuk sebuah pintu di kamar tersebut, aku mengangguk dan memasukinya. Kemudian membersihkan diriku dan memakai kembali pakaianku. Kutatap cincin yang tadi aku ambil, memasukkannya ke dalam sepatu yang sudah aku gunakan lagi sebelum keluar kamar mandi.

Aku keluar dan mendapatinya, masih dengan tubuh telanjangnya. Ia kemudian berjalan ke arahku dengan membawa kanvas yang tadi pagi menjelang siang ia lukis. Menampilkan bagaimana tubuh telanjangku yang terpampang di sana. Indah sebenarnya, tapi ini memalukan karena itu tubuhku sendiri.

"Bagaimana menurutmu?"

Tanyanya dengan menampilkan senyuman.

"Bagus."

Jawabku singkat, ia kemudian meletakkan lukisan tersebut di sederetan lukisan lain yang ada di kamar ini. Ia kembali mendekat ke arahku dan melingkarkan kedua lengannya di leherku.

"Cium aku dulu sebelum kau pergi."

Ucapnya, aku hanya tersenyum simpul lalu meraih pinggang telanjangnya dan mendekatkan tubuh kami. Secara perlahan aku mulai kembali menikmati bibirnya dalam. Ciuman ini berlangsung cukup lama hingga terlepas dan memperlihatkan benang saliva di antara mulut kami.

Aku kemudian pamit dan melepas tanganku yang melingkar di pinganggnya dan keluar dari kamar tadi. Aku berasa begitu lega ketika ia tak mempertanyakan masalah cincin. Aku menuruni tangga dengan tergesa, takut ia akan sadar bahwa sebuah benda hilang dari kamarnya.

Sampai di pintu keluar, pria yang pagi tadi menyapaku kembali menyapaku dan mengantarku sampai ke gerbang. Aku membalik tubuhku dan membungkuk mengucapkan terima kasih setelah ia memberikan sebuah amplop putih. Aku bisa merasakan bahwa isinya adalah uang yang jumlahnya begitu banyak, karena ini begitu tebal.

"Tuan akan memanggil anda lagi jika Tuan menyukainya."

Ucapnya dan hanya kuberi sebuah senyuman sebelum akhirnya aku berbalik dan meninggalkan rumah tersebut. Aku berjalan ke arah halte bis yang aku turuni tadi pagi. Duduk di sana dan menunggu bis untuk kembali ke gedung. Tak berapa lama, bis datang dan aku menaikinya.

Mengingat ucapan pria yang bekerja di sana tadi, aku rasa dia yang akan mendatangiku jika sadar bahwa cincinnya hilang. Tapi, pria semalam bilang bahwa cincin itu adalah miliknya. Apakah itu berarti huruf yang tertera di sisi dalam cincin itu adalah inisial namanya? Aku benar-benar penasaran akan siapa orang yang memberiku mata ini. Meskipun sekarang hidupku berubah, sangat berubah, dan semuanya terjadi begitu saja, aku masih tetap ingin mengetahuinya. Bagaimana ia bisa masuk ke kamarku dan bahkan mengetahui gerakanku meskipun ia buta.

Hëna e DiellitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang