Double up hari ini deh
.
Nicholas benci rumahnya.
Mau semegah dan semewah apapun juga nggak akan bikin dia betah. Kerjaannya dulu waktu di rumah paling seputar sekolah >> nongkrong >> pulang >> tidur >> repeat.
Bahkan Nicholas lebih suka nginep di rumah Jake dan ngobrol bertiga bareng Layla ketimbang harus serumah berdua sama papanya. Sayangnya Jake lagi kesel sama Nicholas. Sepanjang perjalanan dari rumah Eyang di Jateng sampai rumahnya di Jakarta ini nggak sedikit pun Jake mau ngobrol sama dia.
Malem ini Nicholas mau langsung tidur aja. Tapi sayangnya dia laper, mau nggak mau harus turun ke lantai bawah meski mager.
Drap... drap... drapp
"Hah? Yang dulu itu? Jadi lahh... Tapi kamu yakin mau ngerekrut Nicholas? Pffttt, bukannya gimana nih Hyuk, dia nggak bisa apa-apa. Takutnya kamu yang nyesel."
Percakapan papanya dengan seseorang lewat telpon sontak bikin Nicholas ngehentiin langkahnya. Dia merunduk di balik tangga, fokus ngupingin papanya di ruang tamu. Papanya ngobrol sama siapa?
"Astaga Sihyuk, kamu itu sukses tapi nggak realistis. Aku nggak percaya orang kayak kamu bisa punya agensi besar di Korea. Dan tololnya kamu mau dengan suka rela milih dia?" sang papa tertawa remeh. "Bentar dulu bentar... Apa tadi katamu? 10 milyar buat ngebiayain Nicholas?? Tiga tahun habis sebanyak itu? Emang trainee trainee-an itu ngapain aja sih? Semahal itu? Ya elah, buat Nicholas doang nggak usah mahal-mahal. Nggak pantes. Takutnya rugi di kamu. Anak kayak dia mah keenakan kalo dapet fasilitas mewah di Korea sana."
Nicholas masih belum ngeh kemana arah pembicaraan papanya dengan orang di seberang sana. Korea? 10 milyar? Trainee? Tiga tahun? Maksudnya apa sih?
Cowok itu merangkak ke belakang sofa agar bisa menyimak lebih jelas. Untung malam itu dia pake kaus krem yang senada sama warna sofa kulitnya.
"Nggak usah bicara bakat kalo ngomongin Nicholas, Hyuk... Kan aku udah bilang tadi, dia nggak bisa apa-apa. Paling yang lumayan cuma tampang. Sisanya kayak setan! Apa gini aja, kamu kalo emang niat kerja sama dengan perusahaanku ya aku sih ayo aja. Mau ngambil anak itu juga silahkan. Asal penawarannya diubah sedikit. Kamu bilang kamu investasi 10 milyarmu untuk biaya trainee Nicholas kan? Itu dipangkas aja. 1 milyar untuk dia selama tiga tahun itu, sisanya buat suntikan dana ke perusahaanku. Adil kan? Toh kalo dana di aku banyak juga feedback ke agensimu akan ikutan gede. Aku bisa loh memasarkan artis-artismu ke seluruh dunia lewat cabang perusahaanku."
Pria paruh baya itu melanjutkan, "Nggak usah ribet mikirin dia mau ato enggak pergi ke Korea. Nicholas itu bodoh. Nanti aku kibulin juga gampang lah. Lohh, bukannya aku meremehkan anak itu. Kan aku bicara fakta. Dia sama aja kayak ibunya, sama-sama rendahan. 1 milyar buat Nicholas selama tiga tahun pasti cukup. Trainee kan cuma nari-nari nggak jelas kan? Udah kubilang, buat dia nggak usah mahal-mahal. Kamu tuh kenapa sih yakin banget kalo bocah itu punya skill hah?? Ini aja aku ngeiyain kontrak dari kamu cuma karena aku eneg liat dia di rumah."
Kol, jangan nangis Kol. Nggak boleh baperan! Toh Papa bener. Kan lo emang bodoh. Haha.
Cowok itu ngipasin mukanya sendiri sambil ngatur nafasnya, memejamkan kelopak matanya sebentar lalu mengulas senyumnya. Orang bejat kayak dia nggak boleh baperan kan?
Senyum estetik, gitu kata Hanbin biasanya.
Nicholas merangkak lagi ke arah tangga. Nafsu makannya mendadak hilang. Dia memilih untuk kembali ke kamar. Nggak lagi-lagi deh ngupingin papanya. Makan ati.
KAMU SEDANG MEMBACA
susah sinyal; nichobin✓
Fanfictionnicholas tau dia bukan cowok baik-baik. tapi stereotip orang tentang dia begitu menyiksa sampai sosok hanbin yang bikin dia naksir membuat nicholas usaha setengah mati untuk melepas stereotip itu.