Jilid 23/55

479 4 0
                                    

"Begitukah? Aku pun setuju saja asalkan Hong Bwee tidak diganggu, aku kasihan kepadanya."

"Ha-ha-ha, aku tahu, Ceng Liong. Sekecil ini engkau sudah mulai jatuh hati terhadap gadis cantik, ha-ha-ha!"

Wajah Ceng Liong menjadi merah. Kalau bukan gurunya yang bicara seperti itu, tentu sudah diserangnya. "Jangan berkata begitu, Mo-ong. Aku kasihan kepadanya karena ia amat baik kepadaku."

"Aku tahu, dan aku pun yakin engkau akan dapat melihat kehidupan seperti aku ini. Jatuh cinta kepada seorang wanita merupakan suatu penyakit, suatu tanda kelemahan yang akan mendatangkan banyak derita batin. Nah, sekarang kita harus bekerja. Kita kembali ke istana dan kita menghadap Wan-taihiap. Engkau laporkan bahwa sang puteri telah diculik oleh enam orang bertopeng, dan ketika engkau lari pulang, engkau bertemu denganku di tengah jalan karena aku sedang berbelanja obat, mengerti?"

Ceng Liong mengangguk.

"Untuk membuktikan bahwa engkau telah melakukan perlawanan mati-matian untuk membela sang puteri, engkau harus menderita luka. Bersiaplah menerima beberapa pukulanku, Ceng Liong!" Secepat kilat tangan kakek itu bergerak. Ceng Liong menerima pukulan itu.
"Plakk! Plakkk!"

Ceng Liong terpelanting, tapi hanya merasakan panas pada pundak dan pipinya. Ketika dia meraba, pipinya membengkak dan kulit pundak di bawah baju itu pun nampak merah kehitaman. Kiranya Raja Iblis itu hanya mempergunakan tenaga luar saja yang cukup keras. Menunjukkan bukti perlawanan yang cukup meyakinkan bagi Ceng Liong. Dan kakek itu pun diam-diam gembira sekali melihat sikap Ceng Liong yang tenang saja menerima pukulan itu, tanda bahwa muridnya memang cerdik dan tidak hanyut oleh perasaan.

"Mari kita pergi!" ajaknya dan mereka pun mempergunakan lari cepat meninggalkan hutan itu menuju ke Kota Raja Bhutan.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi ketika menerima laporan guru dan murid itu.

"Kami datang membawa kabar buruk, taihiap," demikian Phang-sinshe mulai dengan pelaporannya. "Ketika saya keluar membeli obat, saya bertemu dengan murid saya yang tubuhnya bengkak-bengkak bekas pukulan dan dia menceritakan bahwa puteri paduka, nona Wan Hong Bwee telah diculik orang...." Kakek itu memandang ke arah keranjang berisi bahan-bahan obat yang diletakkannya di atas meja, bahan-bahan obat yang sengaja dibelinya sebelum dia dan muridnya menghadap keluarga Wan.

"Apa yang telah terjadi dengan anakku? Bagaimana ia sampai diculik orang?" Wan Tek Hoat bertanya, suaranya mengandung rasa penasaran dan juga keheranan.

Selama dia berada di Bhutan, dia tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun, kecuali tentu saja para penjahat yang dibersihkannya dari kerajaan itu. Sementara itu, Syanti Dewi tidak mengeluarkan kata-kata, hanya memandang kepada Ceng Liong dengan muka pucat. Ia melihat betapa pipi kanan anak itu bengkak-bengkak dan pada saat itu, Phang-sinshe juga menyingkap baju Ceng Liong agar kulit pundak yang matang biru itu nampak.

"Ceng Liong, kau ceritakanlah." Kakek itu menyuruh muridnya.

Ceng Liong menelan ludah sebelum mulai bicara. Untung bahwa dia tidak disuruh membohong, biar pun ada beberapa bagian yang harus dirahasiakannya.

"Kami berdua sedang bermain-main dan berburu di hutan ketika muncul enam orang bertopeng yang memaksa nona Hong Bwee untuk ikut dengan mereka. Kami berdua mengadakan perlawanan, akan tetapi saya.... saya tidak berhasil melindungi nona Hong Bwee. Ia dilarikan dan saya dipukul roboh.... harap taihiap sudi memaafkan saya...." Suara Ceng Liong terdengar sedih karena memang hatinya sangat gelisah dan sedih memikirkan nasib Hong Bwee yang tentu amat ketakutan sekarang ini.

"Apa engkkau tidak mengenal seorang di antara mereka? Suaranya? Perawakannya?" tanya Wan Tek Hoat sambil memandang tajam.

"Tidak, taihiap. Mereka semuanya memakai topeng yang menyembunyikan muka dari hidung ke bawah. Akan tetapi mereka itu rata-rata bertubuh tinggi besar dan suaranya, karena mereka berbicara dalam bahasa Bhutan, seperti terdengar tidak sama dengan orang-orang di sini, agak asing bagi pendengaran saya yang belum faham benar dalam Bahasa Bhutan."

Tek Hoat lalu minta penjelasan tentang tempat di mana puterinya diculik orang. Setelah menerima penjelasan dari Ceng Liong, dia sendiri bersama isterinya lalu berangkat ke tempat itu untuk mencari jejak para penculik. Sementara itu, Ceng Liong dan Phang-sinshe dengan sikap setia lalu ikut bersama mereka, terutama Ceng Liong yang harus menjadi penunjuk jalan.

Mereka tiba di dalam hutan setelah hari menjelang sore. Tentu saja mereka tidak dapat menemukan apa-apa karena sukarlah mencari jejak tapak kaki di tanah yang tertutup daun-daun kering dan rumput-rumput hijau itu. Tek Hoat dan isterinya mencari-cari dan memanggil-manggil nama anak mereka tanpa hasil. Ceng Liong dan gurunya pura-pura ikut mencari. Setelah hari mulai gelap, Phang-sinshe mohon diri, bahkan membujuk suami-isteri itu untuk pulang dan mengerahkan pasukan untuk melakukan pencarian.

"Isteriku, engkau pulanglah dan laporkan hal ini kepada panglima, minta supaya dia mengerahkan pasukan-pasukan pilihan untuk bantu mencari, malam ini juga. Aku sendiri akan terus mencoba mencari jejak mereka di hutan ini."

Syanti Dewi mengangguk dan dengan muka pucat dan menahan tangis saking gelisah hatinya, wanita ini meloncat dan berlari lebih dulu. Melihat gerakan ini, diam-diam Phang-sinshe terkejut bukan main. Nyonya itu dapat berlari cepat secara hebat sekali sehingga dia sendiri pun agaknya tidak akan mampu menandingi kecepatan nyonya itu.

Juga Ceng Liong terbelalak memandang tubuh yang sebentar saja sudah jauh sekali itu. Guru dan murid ini tentu saja tidak tahu bahwa Syanti Dewi telah mewarisi ilmu ginkang dari Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, murid dari seorang pendeta wanita sakti yang telah menguasai ilmu ginkang luar biasa, yaitu Kim Sim Nikouw.

Phang-sinshe dan muridnya lalu kembali ke kota raja. Di tengah perjalanan, Ceng Liong yang sudah diam-diam merencanakan siasatnya itu, berkata, "Mo-ong, rencanamu itu memang baik sekali. Kalau Negara Bhutan sendiri kacau-balau karena kehilangan nona Hong Bwee, tentu Wan-taihiap tidak sempat mencampuri urusan Nepal menyerbu Tibet. Akan tetapi, jangan main-main terhadap Wan-taihiap dan isterinya. Kalau sampai puteri mereka itu terganggu sedikit saja, mereka akan mengamuk dan kalau ketahuan bahwa kita mencampuri urusan penculikan itu, tentu kita akan dimusuhi mereka mati-matian."

"Ha-ha-ha, jangan takut, muridku. Belum tentu aku kalah oleh mereka, dan juga, siapa pula yang akan mengganggu nona Hong Bwee? Ia diculik hanya untuk mengalihkan perhatian dan juga sebagai sandera agar Bhutan, terutama sekali Wan-taihiap, tidak mencampuri penyerbuan Nepal ke Tibet."

"Rencanamu memang bagus, akan tetapi apakah orang-orang Nepal itu boleh engkau percaya? Ingat, Mo-ong, aku telah banyak mendengar tentang kebiadaban orang-orang Nepal terhadap wanita taklukan. Dan nona Hong Bwee amat cantik jelita. Kalau sampai dia terganggu, kita pun harus bertanggung jawab."

Kakek itu mengerutkan alisnya. Bagaimana pun juga, ucapan muridnya ini menimbulkan keraguan di dalam hatinya. Kalau yang dikhawatirkan muridnya itu terjadi, pasti kelak akan menimbulkan kesulitan.

"Wah, kalau begitu bagaimana baiknya?" tanyanya ragu-ragu.

"Mo-ong, serahkan saja nona itu kepadaku untuk menjaganya. Pertama, kalau aku yang menjaga, ia tidak akan ketakutan, dan kelak akan melaporkan kepada ayah bundanya bahwa ketika ditawan, ia diperlakukan dengan baik. Ke dua, di bawah pengawasanku, ia tidak akan mengamuk dan engkau tentu lebih percaya kepadaku dari pada kepada orang-orang kasar itu. Ketahuilah bahwa usulku ini bukan hanya terdorong oleh rasa kasihan kepada nona Hong Bwee, tetapi juga untuk melancarkan jalannya siasatmu."

Kakek itu mengangguk-angguk. "Baik, baik.... bagus sekali pendapatmu itu. Mari kita langsung ke sana!"

Ceng Liong tidak merasa heran ketika dia diajak memasuki kota raja oleh gurunya, kemudian masuk ke sebuah gedung besar tempat tinggal seorang perwira tinggi! Dia memang sudah dapat menduga sebelumnya bahwa tentu ada 'orang-orang dalam' yang ikut memegang peranan dalam persekutuan busuk itu.

Perwira Brahmani, mata-mata Nepal yang berhasil menyelundup menjadi perwira tinggi di Kerajaan Bhutan itu, menyambut kedatangan mereka dengan wajah gembira. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat Ceng Liong.

"Anak ini.... dia...."

Hek-i Mo-ong menggerakkan tangannya ke atas. "Cocok sekali dengan rencana kita, Brahmani." Sekarang setelah mereka menjadi sekutu, Hek-i Mo-ong menyebut nama perwira tinggi yang menjadi mata-mata Nepal itu begitu saja. Bahkan sikapnya juga sebagai seorang atasan. "Dengan begitu Wan Tek Hoat tidak akan mencurigai kami. Nah, sekarang di mana nona kecil itu? Sudah dapat diamankan di tempat rahasia?"

Mereka dipersilakan masuk dan duduk di ruangan dalam. "Jangan khawatir. Anak itu telah berada di dalam kamar rahasia di bawah tanah, di rumah ini. Siapa pun tidak akan mencari ke sini. Siapa yang akan menduga dan menuduh aku menjadi penculik puteri Pangeran Wan?" Brahmani tertawa puas ketika Hek-i Mo-ong mengangguk dan memuji kecerdikannya.

"Ketahuilah, Brahmani. Muridku ini memang sengaja mengambil sikap melindungi anak itu. Hal ini amat penting untuk menghindarkan kecurigaan kepada kami. Dan sekarang, aku berpendapat bahwa sebaiknya kalau muridku yang melakukan penjagaan terhadap puteri Wan Tek Hoat itu, atau setidaknya, muridku inilah yang dibolehkan menjenguknya sewaktu-waktu."

Brahmani mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, sinshe, anak itu sudah dijaga siang malam oleh selosin anak buahku yang cukup lihai. Ia tidak mungkin dapat lolos dari tempat tahanannya, dan tidak ada seorang pun dari luar tahu bahwa di rumah ini terdapat kamar rahasia bawah tanah, apalagi mengetahui bahwa puteri itu berada di sini. Penjagaan sudah cukup kuat!"

"Bukan kekuatan itu yang kumaksudkan, akan tetapi dari segi keamanan. Kalau muridku yang ikut mengamati, anak perempuan itu tidak akan ketakutan dan memberontak. Bayangkan kalau sampai anak itu mogok makan dan rewel terus sampai jatuh sakit, bukankah hal itu berbahaya sekali? Kalau sampai ia mati, tentu akibatnya amat besar, mengingat akan kesaktian dan kekuasaan Wan Tek Hoat. Muridku dapat menghiburnya dan menenteramkan hatinya."

Brahmani mengangguk-angguk walau pun dia masih memandang kepada Ceng Liong dengan sinar mata ragu-ragu dan curiga. Dia teringat betapa pemuda cilik ini tadi merobohkan seorang anak buahnya dan membuat anak buahnya nyaris tewas oleh tendangan yang amat keras itu.

Mereka bertiga lalu menjenguk keadaan Hong Bwee. Ternyata di dalam ruangan tidur perwira itu, terdapat sebuah lubang di balik almari, lubang yang merupakan terowongan bawah tanah dan berhenti pada sebuah kamar di bawah tanah. Tempat itu cukup luas dan hawanya masuk dari lubang-lubang angin yang dipasang secara bersembunyi, juga memperoleh penerangan dari lampu yang bernyala siang malam. Biar pun demikian, tentu saja orang yang disekap di dalamnya akan menderita karena tak dapat melihat keluar dan tidak terkena sinar matahari.

Di dalam ruangan itu terdapat sebuah dipan kecil, sebuah meja, sebuah kursi. Dua buah lampu tergantung di dinding dan ada lukisan-lukisan cukup indah ditempel di atas dinding. Cukup menyenangkan dan bersih.

Hong Bwee sedang duduk dengan wajah muram di atas dipan ketika tiga orang itu masuk. Pintu besi yang atasnya terdapat ruji yang kokoh kuat itu terbuka dan masuklah Brahmani, Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong. Begitu melihat anak laki-laki itu, Hong Bwee meloncat turun dan memandang dengan mata terbelalak, dan wajahnya menjadi cerah dan gembira ketika ia mengenal Phang-sinshe.

"Phang-sinshe....! Ceng Liong....!" Anak itu lari ke depan dan merangkul Ceng Liong sambil menangis saking lega dan girang hatinya, terbebas secara mendadak dari rasa khawatir, takut, dan marah semenjak ia ditawan.

Ceng Liong memeluk anak perempuan itu dan menepuk-nepuk pundaknya. Dia coba menghibur, akan tetapi dia membiarkan Hong Bwee melepaskan semua kegelisahannya melalui air mata. Sementara itu, Hek-i Mo-ong dan Brahmani saling pandang, kemudian diam-diam meninggalkan kamar dan memesan kepada para penjaga agar Ceng Liong diperbolehkan keluar masuk kamar tahanan itu.

Ketika Hong Bwee sudah puas menangis, mengangkat mukanya dari dada Ceng Liong dan memandang, gadis cilik ini terkejut karena Phang-sinshe sudah tidak berada di situ lagi dan pintu kamar tahanan itu sudah tertutup lagi.

"Ceng Liong....!" teriaknya kaget. "Apakah engkau ditawan juga? Dan gurumu?"

"Tenanglah, nona.... ehhh, Hong Bwee, tenanglah. Memang engkau dijadikan tawanan atau sandera, akan tetapi aku menjamin bahwa engkau tak akan diganggu. Sedangkan aku.... aku dan guruku tidak ditawan. Eh, terus terang saja, aku malah ditugaskan untuk menjagamu...."

"Ihhh....? Berarti engkau dan gurumu telah berkhianat dan memusuhi keluargaku?" Gadis cilik itu marah sekali dan mengepal kedua tinju tangannya.

"Tenanglah dan dengarkan ucapanku baik-baik. Mari kita duduk di sana." Ceng Liong mengajak anak perempuan itu duduk di atas dipan. Mereka duduk bersanding sambil memandang ke arah daun pintu karena takut kalau-kalau ada yang mengintai atau mendengarkan. Dia berbisik-bisik.

"Kini ada persekutuan rahasia di Bhutan yang menentang kebijaksanaan sri baginda. Mereka itu bersekutu dengan Nepal dan mereka tidak ingin melihat Bhutan campur tangan kalau Nepal menyerbu ke Tibet. Akan tetapi mereka takut kepada ayahmu, maka mereka menawanmu di sini untuk melumpuhkan ayahmu. Jadi, engkau hanya ditawan dan tidak akan diganggu. Aku tanggung jawab akan hal itu."

Dua mata yang indah itu masih terbelalak dan mukanya merah karena kemarahan. "Akan tetapi engkau.... dan gurumu ikut dalam persekutuan busuk itu! Padahal ayahku telah menerima kalian sebagai tamu terhormat! Beginikah cara kalian membalas budi orang?"

"Ssstt, jangan keras-keras bicara, Hong Bwee. Dengarlah, engkau bukan anak kecil lagi dan aku tahu engkau tidak bodoh. Harus pandai bersiasat. Menggunakan kekerasan saja kita berdua mampu berbuat apakah? Akan tetapi engkau yakinlah bahwa selama ada aku di sini, engkau tidak akan diganggu. Aku harus pura-pura mentaati mereka, akan tetapi aku akan mencari jalan agar engkau dapat bebas dengan aman. Tapi engkau harus menurut semua pesanku. Bagaimana, percayakah engkau kepadaku?"

Mereka saling berhadapan muka. Melihat betapa pipi anak laki-laki itu masih bengkak, Hong Bwee teringat betapa Ceng Liong telah mencoba untuk melindunginya ketika enam orang bertopeng itu muncul. Maka ia pun mengangguk.

"Habis, kita harus berbuat apa? Dan di mana aku sekarang? Aku dibawa ke sini dengan kedua mata ditutup sapu tangan hitam."

"Engkau berada dalam sebuah kamar bawah tanah dari gedung tempat tinggal perwira Brahmani."

"Ahhh, dia mengenal baik orang tuaku!"

"Tentu saja karena dia mata-mata Nepal yang diselundupkan di sini. Engkau tenang-tenang saja dan jaga kesehatanmu baik-baik. Makan dan minumlah agar engkau tidak jatuh sakit. Aku akan mencari jalan bagaimana baiknya untuk menolongmu. Percayalah bahwa biar pun aku murid Phang-sinshe, akan tetapi aku tidak sudi bersekongkol dan melakukan kejahatan. Akan tetapi, untuk menentang dengan kekerasan tentu saja aku tidak berani."

"Ceng Liong, tolong engkau beritahukan ayah, tentu mereka akan dihajar dan aku akan dibebaskan."

"Hemm, tidak semudah itu, Hong Bwee. Kita berhadapan dengan orang-orang yang sudah nekat dan mereka itu akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuan mereka. Engkau dijadikan sandera, maka kalau ayahmu datang menyerbu, mungkin sekali keselamatanmu terancam. Kita harus pakai siasat. Aku akan mencari akal itu supaya mereka dapat dihancurkan tetapi engkau pun harus dapat diselamatkan. Sementara ini, engkau bersikaplah tenang, tidur dan makan minum secukupnya agar jangan sampai jatuh sakit. Aku akan mencari akal supaya dapat membawamu keluar dari sini dan mengabarkan kepada ayahmu tentang semua ini. Aku harus hati-hati agar guruku dan persekutuan itu tidak menaruh curiga kepadaku. Maka, di depan mereka, kalau aku bersikap kasar terhadap dirimu, harap engkau tidak salah sangka."

Anak perempuan itu mengangguk-angguk dan memandang ke atas meja di mana terdapat hidangan yang sejak tadi belum dijamahnya. Memang perutnya lapar sekali dan tenggorokannya haus, akan tetapi dengan keras hati ia tidak mau menyentuh makanan dan minuman yang dihidangkan kepadanya. Kini, mendengar omongan Ceng Liong, dan setelah hatinya merasa lega karena di situ terdapat Ceng Liong yang akan menolongnya, ia pun baru merasakan kelaparan dan kehausan itu. Diraihnya cangkir teh dan diminumnya sedikit.

"Nah, kau makanlah, aku harus keluar dulu. Tidak baik berlama-lama di sini," kata Ceng Liong sambil bangkit berdiri.

"Jangan terlalu lama meninggalkan aku sendirian saja di sini," kata anak perempuan itu dengan suara sedih.

"Tentu saja tidak. Aku akan sering datang menengokmu dan memberi kabar tentang perkembangan selanjutnya."

Ceng Liong lalu keluar, diikuti pandang mata Hong Bwee yang hanya mengharapkan bantuannya untuk dapat keluar dengan selamat dari dalam kamar tahanan itu. Oleh para pengawal, pintu dibuka dan setelah pemuda itu keluar, daun pintu ditutup dan dikunci lagi dari luar. Wajah dua orang penjaga nampak di luar jeruji besi, memandang kepada Hong Bwee yang sedang makan itu sambil menyeringai menakutkan. Hong Bwee membuang muka, tidak sudi bertemu pandang dengan mereka dan terdengar mereka itu tertawa mengejek.

Para pengawal itu menyampaikan keadaan anak perempuan yang ditawan kepada Brahmani, bahwa anak itu sudah mau makan minum dan tidur nyenyak semenjak Ceng Liong masuk ke situ dan bercakap-cakap cukup lama. Hal ini menggirangkan hati Brahmani dan kini dia mulai percaya penuh kepada murid Hek-i Mo-ong yang tadinya dicurigainya itu.

Dia makin kagum akan kecerdikan Hek-i Mo-ong yang menyuruh muridnya itu pura-pura melindungi puteri Pangeran Wan itu sehingga memperoleh kepercayaan dari si anak perempuan. Karena, kalau sampai terjadi puteri itu mogok makan minum dan jatuh sakit, rencana siasat mereka akan menjadi rusak dan mereka bahkan dalam keadaan berbahaya. Seorang sandera harus berada dalam keadaan segar bugar, barulah ada harganya, karena kalau sampai mati, sandera itu tidak ada artinya lagi.

Hek-i Mo-ong sendiri sangat girang dengan hasil pendekatan muridnya ini dan semenjak itu, Ceng Liong memperoleh kepercayaan besar untuk menghibur dan menemani Hong Bwee. Dia makin sering datang bercakap-cakap di dalam kamar tahanan Hong Bwee, dan diceritakannya semua perkembangan di luar tempat tahanan itu kepada gadis cilik ini.

Ternyata siasat yang diatur oleh persekutuan itu berjalan dengan lancar dan berhasil baik sekali. Sepucuk surat diterima oleh Wan Tek Hoat yang telah mengerahkan semua pasukan mencari puterinya dengan sia-sia. Tentu saja dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa puterinya berada tidak jauh dari istana, dalam gedung seorang perwira tinggi!

Maka ketika dia menerima sepucuk surat dari Siwananda, Koksu Nepal, dia hanya dapat membaca dengan muka kemerahan saking marahnya. Bagaimana pun juga ini menyangkut keselamatan puterinya, dan juga kewibawaan Kerajaan Bhutan, dua hal yang saling bertentangan. Maka, bersama isterinya dia membawa surat itu menghadap raja.

Raja Badur Syah mengerutkan alisnya ketika Wan Tek Hoat memperlihatkan surat dari Siwananda itu. Isinya ringkas saja, yaitu bahwa Nepal tidak bermaksud memusuhi Bhutan, hanya minta agar diperbolehkan melewati daerah Bhutan sebelah utara untuk pasukan Nepal yang mengadakan penyerbuan ke Tibet. Agar Bhutan tidak mencampuri urusan itu dan sebagai tanda terima kasih, Nepal akan menjaga Puteri Gangga Dewi baik-baik dan akan mengantarkannya kembali dalam keadaan sehat dan selamat.

"Keparat!" Raja Badur Syah membentak marah. "Tak kusangka Kerajaan Nepal akan mempergunakan kecurangan yang begini tidak tahu malu! Menculik anak kecil untuk memaksakan kehendaknya kepada kerajaan kita!"

"Bagaimana baiknya, rakanda?" tanya Syanti Dewi sambil meremas-remas tangannya sendiri. "Kami ayah dan ibu dihadapkan pada dua masalah yang sama pentingnya bagi kami. Di satu fihak, masalah keselamatan anak tunggal kami dan di lain fihak masalah wibawa kerajaan yang terancam!"

Raja Badur Syah mengangguk-angguk. Dia pun tahu bahwa suami isteri di depannya ini adalah tulang punggung pemerintahannya. Tidak mungkin kiranya membiarkan Gangga Dewi terancam bahaya maut. Akan tetapi, jika ia membiarkan pasukan Nepal menyerbu Tibet dengan mengambil jalan lewat Bhutan, hal ini pun akan besar akibatnya. Pertama, Bhutan akan dianggap musuh oleh Tibet, dan terutama sekali, Kerajaan Ceng-tiauw tentu akan menganggap Bhutan bersekutu dengan Nepal. Akibat ini lebih hebat lagi bagi kerajaannya.

"Serba salah.... serba salah memang," akhirnya raja itu berkata. "Memang, bagi Nepal, jalan satu-satunya menuju ke Tibet hanya melalui daerah kita sebelah utara. Menurut catatan, dahulu pernah Nepal menyerang ke Tibet melalui daerah mereka sendiri di utara, akan tetapi Nepal kehilangan banyak prajurit yang tewas dalam perjalanan karena perjalanan itu melalui puncak-puncak yang tinggi dan jurang-jurang yang curam, amat sukar dilalui manusia. Kita berdiri di tengah-tengah, antara dua negara yang sedang bermusuhan. Kalau kita membiarkan Nepal melewati daerah kita, kita dapat dianggap bersekongkol dan menentang Kerajaan Ceng. Sebaliknya, jika kita menolak permintaan Nepal, kita dapat dianggap menentangnya. Serba salah, serba susah!"

"Menurut surat itu, kita masih mempunyai waktu dua pekan. Selama dua pekan ini kami akan mencari jejak anak kami, kalau perlu, kami atau saya sendiri akan memasuki Nepal, mencari di mana anak kami itu ditawan," Tek Hoat berkata sambil mengepal tinju.

"Kami amat mencinta anak kami dan tentu saja mengutamakan keselamatannya, akan tetapi, rakanda, kami juga tahu bahwa kewibawaan Kerajaan Bhutan tidak mungkin dibiarkan untuk diinjak-injak secara begitu saja oleh Nepal. Suamiku berkata benar, masih ada waktu dua pekan sebelum pasukan Nepal mempergunakan daerah kita untuk lewat menyerbu Tibet. Kalau dalam waktu itu kita sudah berhasil menemukan Gangga Dewi dengan selamat, maka kita akan menolak permintaan itu! Kalau andai kata kami tidak....berhasil terserah saja kepada keputusan rakanda!"

Raja Badur Syah mengangguk-angguk. Memang tiada pilihan lain. Raja ini lalu melepas kepergian suami isteri itu sambil berulang kali menghela napas panjang. Tak diduganya bahwa kerajaannya yang makmur dan tenteram itu kini dilanda ancaman mala petaka, bahkan yang langsung terkena adalah adik tirinya, Puteri Syanti Dewi.....

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (seri ke 11 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang