Setelah hidangan dikeluarkan dan para tamu akan menyaksikan upacara bertemunya sepasang pengantin, saat itu dianggap amat penting bagi Menteri Siong Ci Kok untuk mengadakan penyerangan. Apalagi semua yang bersangkutan sudah berada di satu. Kao Cin Liong sang pengantin yang siap menyambut mempelai wanita yang sebentar lagi akan muncul, Kao Kok Cu dan isterinya, juga Suma Kian Lee dengan isterinya yang oleh Cin Liong diperkenalkan kepada utusan dan wakil kaisar itu.
"Sungguh menggembirakan sekali kami dapat hadir dalam saat yang berbahagia ini," demikian katanya dengan lantang kepada kedua keluarga itu. "Kami adalah sahabat baik Kao-goanswe dan sudah lama kami mengharapkan datangnya hari bahagia ini. Dan mendengar bahwa calon isteri Kao-goanswe adalah keturunan keluarga Suma dari Pulau Es, sungguh hati kami semakin gembira rasanya."
"Siong-taijin," kata Kao Kok Cu dengan sikap hormat, "Paduka telah berkenan hadir dalam perayaan pernikahan anak kami yang sederhana ini, bahkan sebagai wakil sri baginda kaisar, sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi kami seluruh keluarga mempelai. Semoga kehadiran paduka ini akan dapat menambah doa restu bagi kedua mempelai."
"Ahh, kami dengan keluarga Kao-goanswe sudah bagaikan keluarga sendiri, harap saja Kao-tahiap tidak sungkan-sungkan lagi. Kao-goanswe adalah putera tunggal bukan? Dan isterinya, Suma-siocia, tentunya puteri Suma-taihiap yang ke dua," katanya dengan nada suara sambil lalu dan menoleh kepada Suma Kian Bu dan isterinya.
Suma Kian Lee mengerutkan alisnya dan sejenak saling pandang dengan isterinya, kemudian tanpa menduga sesuatu, dia pun menjawab. "Bukan yang ke dua, taijin, tetapi yang pertama dan kami hanya mempunyai seorang anak perempuan tunggal."
Akan tetapi betapa kaget dan heran rasa hati mereka semua yang hadir di situ ketika pembesar itu terbelalak dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Mana mungkin? Bagaimanakah ini? Harap Suma-taihiap tidak main-main."
Kini Suma Kian Lee saling pandang sekilas dengan Kao Kok Cu dan hatinya merasa tidak enak. "Apakah yang taijin maksudkan? Saya sama sekali tidak berani main- main."
Pembesar itu menepuk paha dengan tangan kanan. Hal ini sengaja dia lakukan untuk menarik perhatian dan memang usahanya berhasil baik. Para tamu lain yang duduk tidak jauh dari situ mulai mencurahkan perhatian dan ikut mendengarkan percakapan itu.
"Sungguh sangat mengherankan! Beranikah orang-orang membohong kepadaku ketika mengabarkan bahwa Suma-taihiap pernah menikahkan seorang puteri taihiap? Tiga tahun yang lalu, di Thian-cin, kabarnya puteri taihiap yang bernama Suma Hui telah menikah dengan seorang she Louw, kabarnya murid taihiap sendiri! Lalu yang akan menikah dengan Kao-goanswe ini siapakah, kalau taihiap hanya mempunyai seorang puteri tunggal?"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka semua mendengar ucapan itu. Juga para tamu kehormatan sekarang tertarik sekali. Untuk sejenak kedua keluarga pengantin tak mampu menjawab.
"Benar, taijin. Puteri kami hanya seorang saja, bernama Suma Hui. Dan semua yang taijin katakan tadi memang benar pernah terjadi!"
Pembesar itu pura-pura membelalakkan matanya. "Ah...., jadi.... benarkah begitu? Kalau begitu lalu.... lalu.... bagaimana sekarang Kao-goanswe....," dia tak melanjutkan dan memandang wajah jenderal muda itu.
Kedua pasang besan itu saling pandang dan dalam pertukaran pandang mata itu, watak gagah mereka pun bangkit.
"Kami dapat menerangkan hal itu!" kata Suma Kian Lee dengan suara tenang.
"Dan memang sebaiknya kami menjelaskan kepada semua para tamu yang hadir!" sambung Kao Kok Cu dengan suara tegas.
"Siong-taijin, maafkan saya," kata Cin Liong sambil mengerutkan alisnya. "Bolehkah saya mengetahui dari siapa taijin mendengar semua itu?"
Mendengar nada suara jenderal muda itu yang agak keras dan menuntut, pembesar itu pun tak mau main-main lagi. Dia sudah melaksanakan niatnya, melampiaskan dendam hatinya yang kecewa, yaitu membongkar rahasia keluarga itu. Dikeluarkannya sebuah sampul surat dari dalam saku jubahnya dan dia berkata, "Maaf, Kao-goanswe. Bukan maksudku untuk membuka rahasia. Akan tetapi kami menerima surat ini beberapa hari yang lalu, surat dari orang yang bernama Louw Tek Ciang. Kami tidak mengenalnya akan tetapi dia yang menceritakan bahwa Suma-siocia telah menikah tiga tahun yang lalu. Tadinya kami tidak percaya dan tak tahu apa maksudnya mengirim surat seperti ini. Karena hati kami penasaran, maka tadi kami tanyakan langsung kepada Suma-taihiap."
Mendengar keterangan itu tahulah kedua pasang besan itu dan juga Cin Liong bahwa musuh besar mereka, Louw Tek Ciang, ternyata telah mulai beraksi dan tidak tinggal diam saja, ingin merusak perayaan itu dan nama baik mereka melalui Menteri Siong. Wajah Suma Kian Lee berubah merah sekali, demikian pula wajah Kao Kok Cu. Akan tetapi mereka tidak menyalahkan pembesar itu yang agaknya tanpa disadarinya telah diperalat Louw Tek Ciang. Hanya Cin Liong yang diam-diam dapat menduga bahwa agaknya surat itu membuka kesempatan bagi Menteri Siong untuk dapat melampiaskan dendam kecewanya.
Dengan suara lantang Suma Kian Lee berkata. "Taijin, kami tidak akan merahasiakan hal itu walau pun itu sesungguhnya merupakan urusan pribadi kami yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Memang, puteri kami Suma Hui tiga tahun yang lalu pernah menikah dengan Louw Tek Ciang. Akan tetapi, pada hari pernikahan itu pula kami baru mengetahui bahwa dia seorang penjahat besar, murid dari iblis Jai-hwa Siauw-ok yang berhasil menipu kami sehingga telah kami ambil murid dan sekaligus mantu. Sejak hari pernikahan itu, hubungan kami sekeluarga dan dia menjadi putus, bahkan dia menjadi musuh besar kami. Puteri kami bukan isterinya lagi."
"Dan kami sekeluarga pun sudah tahu akan semua itu!" sambung Kao Kok Cu lantang. "Dan seperti dikatakan oleh saudara Suma Kian Lee tadi, urusan ini adalah urusan pribadi kami yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain!"
Menteri Siong dan para tamu yang lain mendengar ucapan dua orang pendekar sakti itu, yang dikeluarkan dengan suara penuh wibawa, menjadi terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani memberikan komentar lagi karena kedua orang pendekar itu sudah menekankan bahwa urusan itu adalah urusan bersifat pribadi yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Mereka hanya dapat membatin, betapa anehnya watak tokoh-tokoh perkasa itu. Kalau orang biasa, sungguh tak mungkin seorang pemuda, apalagi dengan kedudukan setinggi Jenderal Muda Kao Cin Liong, mengawini seorang janda!
Sementara itu, Suma Ceng Liong dan ayah bundanya juga terkejut mendengar ucapan dua besan itu dan diam-diam Ceng Liong mencatat nama Louw Tek Ciang yang telah berhasil menipu pamannya sehingga diambil murid bahkan mantu olehnya. Padahal, Tek Ciang adalah murid Jai-hwa Siauw-ok dan dia pernah bertemu dengan mereka ketika bersama dengan mereka, mendiang Hek-i Mo-ong menyerbu ke rumah keluarga Kam di Bukit Nelayan.
Walau pun ada gangguan batin karena ulah Menteri Siong tadi, upacara pernikahan dilangsungkan dengan lancar. Wajah sepasang mempelai berseri penuh kebahagiaan pada waktu mereka melakukan upacara penghormatan kepada para orang tua dan keluarganya. Pesta sederhana lalu dirayakan dengan gembira.
Pada keesokan harinya, Suma Ceng Liong dan ayah bundanya sempat mendengar penuturan Suma Hui sendiri yang ditemani suaminya tentang mala petaka dan aib yang menimpa keluarga ayahnya karena kejahatan Louw Tek Ciang. Ia tak menyembunyikan apa-apa lagi karena bicara di antara keluarga.
"Dulu, bersama suamiku ini, aku pernah singgah dan bertemu paman Kian Bu berdua ketika kami kembali dari Pulau Es dan paman Kian Bu telah memperingatkan kami akan banyak halangan dan rintangan bagi perjodohan kami. Dan ternyata memang benar." Suma Hui menutup ceritanya.
Kian Bu mengangguk. "Bagaimana pun juga, semua telah lewat dan anggap saja semua itu sebagai mimpi buruk. Aku sungguh kagum kepada kalian. Cinta kasih antara kalian demikian besar dan murni dan dengan cinta kasih seperti itu kalian tentu akan hidup berbahagia."
Kian Lee menarik napas panjang. "Semua adalah karena kesalahanku. Dulu aku terlalu kukuh dan aku lengah sehingga mudah tertipu oleh iblis itu." Dia mengepal tinju dengan gemas.
"Manusia boleh berusaha bagaimana pun, akan tetapi Thian yang berkuasa akhirnya menentukan," kata Kao Kok Cu.
"Aku telah bersumpah untuk mencari dan membunuh jahanam Louw Tek Ciang dan gurunya, Jai-hwa Siauw-ok!" kata Suma Hui sambil mengepal tinju.
"Harap paman dan juga enci Hui dapat menenangkan hati. Ketahuilah bahwa Jai-hwa Siauw-ok telah tewas tiga tahun yang lalu," kata Ceng Liong.
Mereka semua, kecuali ayah bunda Ceng Liong yang sudah tahu, terkejut mendengar berita ini. "Bagaimana terjadinya? Siapa yang membunuh jahanam itu?" tanya Suma Kian Lee.
"Dia berkelahi dengan Hek-i Mo-ong dan dia terpukul roboh dan tewas."
"Hek-i Mo-ong? Pemimpin gerombolan yang menyerbu Pulau Es?" Suma Hui dan Cin Liong terkejut.
Ceng Liong mengangguk. "Benar. Dan bukan hanya Jai-hwa Siauw-ok yang tewas, juga Hek-i Mo-ong telah meninggal dunia karena luka-lukanya, setelah bertanding dengan musuh-musuhnya." Dia tidak menceritakan keadaan dirinya sebagai bekas murid raja iblis itu karena ini akan mendatangkan suasana yang tidak enak saja.
Suma Hui mengerutkan alisnya, lalu menghitung. "Mereka semua ada lima orang yang memimpin penyerbuan itu. Ngo-bwe Sai-kong telah tewas oleh nenek Lulu, juga Si Ulat Seribu telah tewas oleh nenek Nirahai, Eng-jiauw Siauw-ong telah tewas pula oleh Cin Liong-koko. Jikalau sekarang Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok telah tewas, berarti semua datuk iblis yang menyerbu Pulau Es telah tewas!"
Pada hari itu juga, Suma Kian Bu, isteri dan puteranya berpamit. Mereka meninggalkan kota raja tanpa berani menyinggung soal perjuangan melawan penjajah karena jenderal muda itu kelihatan masih amat bersemangat membela kerajaan. Mereka harus bersikap hati-hati sebelum merasa benar yakin bahwa ada kemungkinan besar jenderal itu akan mendukung. Ceng Liong sendiri belum berani menyinggung soal gawat itu.....
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (seri ke 11 Bu Kek Siansu)
Action(seri ke 11 Bu Kek Siansu)