Jilid 19/55

624 7 0
                                    

"Aihh, Si Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang gagah perkasa! Angin baik dari manakah yang meniup kalian sampai terbang ke sini?" tegur Kim Hwee Li dengan gembira.

Suami isteri tamu itu memberi hormat kepada tuan rumah dengan menyebut 'paman' dan 'bibi'.

"Perkenalkan, inilah anak-anak kami, Suma Hui dan Suma Ciang Bun. Anak-anak, ketahuilah bahwa yang datang ini adalah kakak-kakak kalian, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang terkenal itu." Kim Hwee Li melanjutkan sambutannya. Suma Hui dan Ciang Bun segera memberi hormat selayaknya, dibalas pula oleh Kao Kok Cu dan isterinya.

"Silakan masuk, kita bicara di ruangan dalam," Suma Kian Lee berkata, sikapnya ramah akan tetapi wajahnya dingin.

Suami isteri itu mengikuti mereka masuk ke dalam dan segera mereka semua duduk di ruangan tamu menghadapi meja yang panjang dan besar.

"Sungguh kami sekeluarga merasa gembira sekali melihat datangnya Kao-taihiap suami isteri dan kami mengucapkan selamat datang. Akan tetapi di samping kegembiraan itu, kami juga dipenuhi rasa heran karena kalau sampai Kao-taihiap meninggalkan Istana Gurun Pasir dan datang ke rumah kami, tentu ada keperluan yang sangat penting," Suma Kian Lee memulai percakapan mereka, setelah pelayan datang menghidangkan minuman dan segera pergi lagi ke ruangan dalam.

Kao Kok Cu saling pandang dengan isterinya dan dalam pertemuan pandang mata ini mengertilah Wan Ceng bahwa suaminya minta agar dia saja yang bicara. Nyonya ini tersenyum memandang tuan rumah dan menilai betapa Kian Lee sekarang telah banyak berubah, lebih serius dan selain nampak agak tua juga agaknya kelembutannya yang biasa itu kini menyembunyikan kekerasan di baliknya. Maka, dengan hati-hati ia pun berkata.

"Kami datang untuk membicarakan suatu hal yang amat penting dengan paman dan bibi berdua, maka kami harap kedua adik ini...." Ia memandang kepada Suma Hui dan Suma Ciang Bun.

"Mereka adalah dua orang anak kami yang sudah dewasa. Tidak ada rahasia di antara keluarga kami, maka engkau boleh bicarakan kepentinganmu itu di depan mereka," Kian Lee sengaja memotong kata-kata Wan Ceng karena dia sudah tahu kepentingan apa yang hendak dibicarakan itu.

Tiada lain tentu tentang perjodohan antara puterinya dan Cin Liong! Pelanggaran adat kekeluargaan ini saja sudah dianggapnya melanggar susila dan membuatnya marah. Maka, dia sengaja menahan anak-anaknya, terutama sekali Suma Hui, agar supaya ikut mendengarkan sehingga gadisnya itu akan sekaligus mendengar keputusannya yang tentu saja akan menolak keras.

Mendengar ucapan tuan rumah yang memotong itu, Wan Ceng dan suaminya kembali saling lirik. Sikap suaminya tetap tenang dan pandang mata suaminya mengisyaratkan agar dia melanjutkan bicaranya. Maka dari itu, setelah menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya, Wan Ceng melanjutkan.

"Sebenarnya, kedatangan kami berdua ini selain ingin berjumpa dan menengok karena sudah lama sekali tidak jumpa, juga ada keperluan penting yang menyangkut diri adik.... ehhh, Suma Hui ini."

Sukar sekali rasanya menyebut 'adik' kepada seorang gadis yang akan dilamar menjadi mantunya.

"Tentu paman dan bibi sudah mengetahui akan adanya hubungan yang amat erat antara Suma Hui dan Cin Liong, putera tunggal kami...." Sampai di sini dia berhenti seperti kehabisan keberanian dan akal, bahkan kemudian menundukkan mukanya saat bertemu pandang mata dengan Suma Kian Lee dan melihat sepasang mata pamannya itu mencorong tanda kemarahan.

Melihat keadaan isterinya itu, hati Kao Kok Cu merasa tidak tega dan dia pun cepat menyambung keterangan isterinya, "Terus terang saja, betapa berat rasa hati kami untuk melaksanakan tugas ini, akan tetapi sebagai orang tua yang ditangisi anak, kami memberanikan diri menghadap paman dan bibi yang mulia untuk mengajukan pinangan atas diri Suma Hui untuk dijodohkan dengan anak kami Kao Cin Liong."

"Tidak.... tidak pantas....!" Hanya itulah yang keluar dari mulut Suma Kian Lee, namun sudah lebih dari cukup apa yang dimaksudkan.

Kim Hwee Li yang lebih bebas dalam hal adat keluarga, dan lebih mementingkan hati puterinya, segera memperhalus sikap suaminya itu dengan kata-kata yang lunak.

"Kao-taihiap berdua tentu maklum betapa mengejutkan pinangan ini terdengar oleh suamiku. Puteri kami adalah adik kalian, berarti puteri kami adalah bibi putera kalian. Kalau mereka dijodohkan, apa akan kata orang-orang terhadap kita?"

Kao Kok Cu menarik napas panjang. "Kami bukan tidak mengerti akan hal itu. Akan tetapi, sudah lama sekali kami membebaskan diri dari pendapat orang sedunia. Yang penting adalah benar bagi kami dan karena mereka berdua saling mencinta, maka kami memberanikan diri untuk meminang, hanya untuk melancarkan tali perjodohan yang telah mereka ikat sendiri. Harap paman dan bibi suka memaafkan dan memaklumi keadaan kami."

"Brakkkk!"

Tiba-tiba Suma Kian Lee menggebrak meja, mukanya merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar kemarahan. "Tidak! Ini penghinaan namanya!"

Pada saat itu, Suma Hui meloncat bangkit dari tempat duduknya. Mukanya merah sekali dan perubahan sudah terjadi pada dirinya sejak dua orang tamu tadi datang tanpa ada yang memperhatikannya. Ia seperti mengalami ketegangan yang makin lama semakin memuncak dan sekarang agaknya kemarahannya telah mencapai puncaknya dan ia tidak dapat menahannya lagi.

"Aku pun tidak sudi menikah dengan jahanam Kao Cin Liong! Penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa, aib ini harus dicuci dengan darahnya!"

Semua orang meloncat bangkit dari tempat duduk masing-masing dengan hati merasa kaget sekali. Bukan hanya Kao Kok Cu dan isterinya saja yang terkejut mendengar kata-kata itu, bahkan Suma Kian Lee, Kim Hwee Li dan juga Suma Ciang Bun sendiri merasa kaget sekali.

"Enci Hui....!" Suma Ciang Bun berteriak kaget.

"Hui-ji, sikapmu ini sungguh tidak patut!" Kim Hwee Li menegur puterinya.

"Hui-ji, engkau harus dapat mempertanggung jawabkan ucapanmu dan mengemukakan alasan mengapa engkau mengeluarkan pernyataan itu!" Suma Kian Lee juga terkejut sekali karena dia merasa yakin puterinya tidak akan mengeluarkan ucapan seperti itu kalau tidak ada alasannya yang kuat sekali.

"Dia.... dia telah menodaiku....!" Hanya sekian saja Suma Hui mampu bicara karena ia sudah menangis sesenggukan.

"Ahhhh....!" Seruan ini terdengar keluar dari semua orang yang hadir di situ, dan Kim Hwee Li sudah meloncat dan merangkul puterinya. Belum pernah ia melihat puterinya menangis sesedih ini.

"Anakku.... apakah yang telah terjadi....?" tanyanya penuh kegelisahan.

"Hui-ji, ucapanmu itu harus segera dijelaskan!" bentak Suma Kian Lee sambil mengepal sepasang tinjunya.

Ada pun Kao Kok Cu dan isterinya hanya saling pandang, akan tetapi wajah mereka pun berubah agak pucat karena tuduhan yang dilontarkan terhadap putera mereka itu terlalu hebat, terlalu keji!

Suma Hui menyembunyikan mukanya di dada ibunya. Ia mengerahkan tenaga melawan tangisnya, kemudian dengan isak tertahan ia bercerita.

"Malam itu aku sudah hampir tertidur ketika aku mencium bau harum. Aku sadar bahwa ada bau asap pembius, akan tetapi terlambat. Ketika aku meloncat bangun, kepalaku pening dan pada saat itu, ada orang menyerbu kamar dan aku ditotoknya. Kemudian.... aku.... aku tidak berdaya ketika dia memperkosaku...."

"Engkau tahu benar siapa pelakunya?" Suma Kian Lee bertanya, suaranya gemetar penuh nafsu amarah yang ditahan-tahan.

"Dia adalah jahanam Kao Cin Liong!"

Terdengar suara menggeram seperti seekor harimau dan sepasang mata Suma Kian Lee seperti mengeluarkan api ketika dia memandang kepada kedua orang tamunya. "Hemmmm, pantas Louw-kauwsu menuduhnya jai-hwa-cat dan menyerangnya sampai tewas di tangan keparat itu. Penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa!"

Wan Ceng melangkah maju menghadapi Suma Kian Lee. Semangatnya timbul seketika mendengar puteranya diancam. Mukanya menjadi merah, sikapnya penuh tantangan ketika dia berhadapan dengan Suma Kian Lee. "Bohong! Aku tak percaya! Tak mungkin puteraku melakukan perbuatan hina seperti itu."

Menghadapi seorang wanita yang nampaknya juga marah sekali itu, Suma Kian Lee menjadi agak tercengang. Kalau saja yang menentangnya itu Kao Kok Cu, tentu sudah diserangnya, akan tetapi dia tidak mungkin mau menyerang seorang wanita, apalagi wanita itu Wan Ceng yang pernah menghuni dalam hatinya.

Akan tetapi Kim Hwee Li yang tadi merangkul anaknya, mendengar ucapan Wan Ceng itu, meloncat dan menghadapi wanita itu. "Keterangan anakku kau katakan bohong?" bentaknya marah.

"Kalau tidak bohong dia tentu salah lihat!" Wan Ceng membantah "Suma Hui, apakah engkau benar-benar berani sumpah melihat sendiri bahwa yang melakukan perbuatan terkutuk itu adalah Cin Liong?"

"Kamar gelap, aku tidak dapat melihat wajahnya, tetapi suaranya.... dan bicaranya.... dia adalah Kao Cin Liong, tak salah lagi."

"Fitnah....!" Wan Ceng membentak.

"Wan Ceng! Kao Kok Cu! Kalian dua orang tua yang tidak tahu malu, tidak becus mendidik anak, sehingga melakukan perbuatan hina terhadap anak kami yang malang, dan sekarang kalian malah hendak menuduh anakku membohong? Untuk apa anakku membohong? Sungguh tidak tahu malu!" Kim Hwee Li marah sekali dan dia sudah menerjang maju untuk menampar muka Wan Ceng.

Akan tetapi, wanita ini tentu saja tidak mau ditampar dan cepat ia pun sudah menangkis dan membalas dengan menampar pula.

"Dukkk....! Wuiiitttt!"

Balasan tamparan itu luput karena dielakkan oleh Kim Hwee Li dan tumbukan kedua lengan mereka itu membuat keduanya terdorong ke belakang. Kim Hwee Li sudah menerjang lagi, kini mengirim pukulan-pukulan berantai yang dahsyat. Namun lawannya bukanlah seorang wanita biasa. Isteri dari Naga Sakti Gurun Pasir itu dapat mengelak, menangkis bahkan membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya.

Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Kim Hwee Li kehilangan lawannya. Kiranya tubuh Wan Ceng telah disambar oleh suaminya dan dibawa keluar lapangan perkelahian itu dan kini pendekar lengan satu itu menjura dengan sikap tenang.

"Segala urusan dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah. Menggunakan kekerasan bukanlah jalan baik untuk mengatasi persoalan. Kami berdua datang karena tidak mengetahui adanya persoalan itu, kalau kami tahu tak mungkin kami berani datang sebelum membikin terang persoalan ini. Juga agaknya kedua paman dan bibi baru tahu sekarang. Tidak mungkin putera kami melakukan perbuatan tidak senonoh itu, juga agaknya tidak mungkin kalau puteri paman berdua bicara bohong. Oleh karena itu, tentu ada apa-apa di balik semua ini, rahasia inilah yang harus diselidiki dan dipecahkan."

Melihat sikap pendekar sakti itu yang mengalah, sabar dan tenang, Suma Kian Lee juga menahan dirinya, walau pun hatinya sudah terbakar oleh pengakuan puterinya bahwa puterinya telah diperkosa oleh Cin Liong.

"Kalian sebagai orang tua tentu dapat merasakan bagaimana hebatnya penderitaan kami mendengar pengakuan puteri kami. Tepat seperti dikatakan puteri kami tadi, penghinaan ini harus ditebus dengan nyawa, aib ini harus dicuci dengan darah!"

"Hemm, paman Suma Kian Lee. Kao Cin Liong masih mempunyai ayah ibu, dan kami sebagai orang tuanya berani mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Akan tetapi benarkah dia melakukan perbuatan itu? Hal ini yang harus kami selidiki lebih dahulu. Kalau memang benar putera kami yang melakukan perbuatan biadab itu, kami berani mempertanggung jawabkannya dan kami yang akan menghukumnya." Berkata demikian, pendekar berlengan satu ini saling pandang dengan isterinya dan wajah keduanya menjadi merah.

Teringatlah oleh pendekar ini betapa dahulu, di waktu mudanya, karena rangsangan racun, dia sendiri pun melakukan pemerkosaan atas diri Wan Ceng yang kini menjadi isterinya. Apakah ada sesuatu yang mendorong putera mereka melakukan perbuatan yang sama? Apakah ini hukum karma? Ataukah ada hal-hal yang serba rahasia di balik ini? Bagaimana pun juga, mereka menjadi prihatin sekali.

Setelah menjura ke arah fihak tuan rumah tanpa dibalas, Kao Kok Cu segera menarik lengan isterinya yang masih marah-marah itu dan meninggalkan rumah keluarga Suma. Betapa jauh bedanya dengan ketika mereka datang tadi. Tadi mereka datang dengan gembira dan dengan hati mengandung penuh harapan. Kini mereka pergi dengan hati sedih, penasaran dan juga marah.

Setelah kedua orang itu pergi, Suma Hui kemudian menangis dan menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Aku akan membunuhnya.... aku akan membunuhnya....!"

Hatinya hancur berkeping-keping. Ia mencinta Cin Liong, bahkan sampai saat itu pun ia tak dapat melupakan pemuda itu. Akan tetapi, pemuda itu telah menghancurkan semua harapan dan kebahagiaannya dengan perbuatan yang keji itu!

Kim Hwee Li bisa merasakan kehancuran hati anaknya, maka ibu ini pun merangkulnya sambil menangis pula.

Suma Kian Lee terduduk dengan muka pucat dan tubuh lemas. Tak disangkanya telah terjadi mala petaka seperti itu! Kini jelas tak mungkin puterinya menjadi jodoh Cin Liong yang masih keponakan puterinya sendiri itu. Akan tetapi, bagaimana mungkin pula puterinya dapat melanjutkan perjodohannya dengan Tek Ciang setelah dirinya ternoda? Bagaimana dia dapat menyampaikan hal itu kepada pemuda itu? Dan bagaimana pula kalau Tek Ciang menolak? Dia merasa pening memikirkan hal ini dan hatinya semakin jengkel melihat isteri dan puterinya bertangisan.

"Kalau kalian hendak bertangisan, ajaklah ia ke kamarnya dan biarkan aku sendiri di sini. Ciang Bun, keluarlah engkau!" kata pendekar itu dengan wajah lesu.

Kim Hwee Li tahu bahwa suaminya sedang menahan nafsu amarah yang menggelora, maka ia pun lalu menuntun puterinya masuk ke kamar Suma Hui di mana gadis itu melempar diri di atas pembaringan dan menangis sesenggukan, dipeluk oleh ibunya. Sedangkan Ciang Bun, dengan tubuh terasa lesu, pergi ke taman belakang di mana dia melihat Tek Ciang duduk termenung seorang diri.

Dia menahan langkahnya dan memandang pemuda itu dari belakang. Sampai sejauh manakah pengetahuan Tek Ciang tentang enci-nya itu? Bukankah ketika ayah ibunya pergi mencarinya, di rumah ini hanya ada enci-nya, pelayan dan Tek Ciang? Tentu pemuda yang menjadi suheng-nya itu tahu, atau setidaknya mengetahui hal-hal yang ada hubungannya dengan peristiwa itu.

Dia sendiri masih belum dapat percaya begitu saja bahwa Cin Liong telah melakukan hal yang sedemikian rendahnya. Memperkosa enci-nya! Dia mengenal betul jenderal muda itu. Seorang pendekar yang gagah perkasa, yang telah mati-matian membela Pulau Es, bahkan telah menyelamatkan enci-nya dari mala petaka pada saat enci-nya dilarikan oleh penjahat keji Jai-hwa Siauw-ok. Mana mungkin kalau kemudian Cin Liong sendiri yang memperkosa enci-nya?

Akan tetapi, dia pun tahu bahwa enci-nya adalah seorang yang keras hati dan jujur, yang sampai mati rasanya tidak akan mau membohong. Kalau enci-nya mengatakan dengan yakin bahwa pemerkosanya adalah Cin Liong, maka hal itu pun sukar untuk diragukan lagi. Sungguh membingungkan!

Tek Ciang agaknya merasa akan kedatangannya, karena pemuda itu menoleh dan begitu melihat Suma Ciang Bun, dia bangkit dari bangku taman. "Ahhh, sute, apakah tamunya sudah pulang?"

Ciang Bun masih termenung dan hanya mengangguk.

"Siapakah tamunya, sute?"

"Tamunya adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya. Mereka datang untuk meminang enci Hui!" Suma Ciang Bun berkata dengan tegas sambil menatap wajah suheng-nya dengan tajam. "Mereka meminang enci Hui untuk dijodohkan dengan Cin Liong."

"Ahhh....!" Pemuda itu nampak terkejut akan tetapi tidak berkata apa-apa, hanya alisnya berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang.

Ciang Bun mengerti bahwa tentu suheng-nya ini tak suka kepada Cin Liong karena Cin Liong telah menyebabkan kematian ayahnya. Ciang Bun lalu menghampiri suheng-nya. "Suheng, mari kita duduk, aku ingin bicara denganmu."

Tek Ciang duduk kembali. Mereka duduk berdampingan dan Tek Ciang memandang wajah sute-nya dengan heran. "Bicara apakah, sute?"

"Tentang.... Cin Liong!"

"Ada apa dengan.... dengan Kao-taihiap?"

"Dia telah membunuh ayahmu, bukan? Apakah engkau telah bicara dengan dia setelah peristiwa matinya ayahmu?"

Pemuda itu menarik napas panjang, nampak sedih. "Sudah, dan Kao-taihiap mengakui telah berkelahi dengan mendiang ayah. Dia diserang oleh ayah dan dia hanya membela diri saja. Tentu saja ayah bukan tandingan Kao-taihiap dan.... dan menurut keterangan Kao-taihiap, ayah.... membunuh diri setelah kalah."

"Engkau percaya akan keterangan itu?"

"Bagaimana tidak? Dia adalah seorang pendekar sakti, seorang jenderal malah."

"Engkau tidak mendendam?"

Tek Ciang nampak bingung. "Tentu saja aku berduka sekali karena kematian ayah, tapi aku pun tidak dapat menyalahkan Kao-taihiap karena dia lebih dahulu diserang oleh ayah, yang menyangkanya seorang jai-hwa-cat yang berkeliaran di kota ini."

"Apakah engkau percaya bahwa Cin Liong pantas menjadi jai-hwa-cat, suheng?"

"Apa....? Ahhh, entahlah, sute, aku menjadi bingung...."

Hening sejenak. Suma Ciang Bun memutar otak, bagaimana untuk dapat membongkar rahasia terpendam yang mungkin diketahui oleh suheng-nya ini. Sedangkan Tek Ciang bersikap waspada, kini tidak gugup lagi dan dia sudah bersiap-siap untuk menghadapi semua pertanyaan sute-nya.

"Louw-suheng, dahulu sebelum kami pulang, engkau seoranglah yang menemani enci Hui di rumah. Maukah engkau menjawab semua pertanyaanku dengan sejujurnya?"

Diam-diam Tek Ciang terkejut dan dia memandang kepada sute-nya yang masih remaja dan yang sikapnya halus itu dengan curiga di hati. Akan tetapi dia mengangguk tanpa menjawab.

"Suheng, apakah engkau melihat terjadinya sesuatu yang aneh antara enci Hui dan Cin Liong?"

"Sesuatu yang aneh? Apakah yang kau maksudkan, sute?"

"Ketika Cin Liong datang berkunjung ke sini, bagaimanakah hubungan antara mereka?"

"Baik sekali! Mereka kelihatan akrab sekali, dan sikap Kao-taihiap amat manis."

"Suheng, kenana engkau menyebutnya Kao-taihiap? Tidak tahukah engkau bahwa dia adalah keponakanku? Jadi dapat disebut murid keponakanmu juga!"

Wajah Tek Ciang menjadi merah dan dia tersenyum. "Ahhh, bagaimana mungkin aku berani menyebutnya sebagai keponakan apalagi murid keponakan? Usianya lebih tua dariku dan ilmu kepandaiannya jauh melebihi aku."

"Dan dia sendiri menyebut apa padamu, suheng?"

"Itulah yang membuat hatiku tidak enak sekali, sute. Dia menyebut susiok kepadaku!" Tek Ciang tersenyum malu-malu dan Ciang Bun terpaksa tertawa juga.

Memang aneh kalau seorang pendekar sakti seperti Cin Liong itu menyebut susiok (paman guru) kepada Tek Ciang. Sungguh merupakan keadaan yang terbalik, melihat usianya mau pun tingkat kepandaiannya.

"Sekarang harap kau jawab sebenarnya, suheng. Pernahkah engkau melihat mereka bertengkar?"

Ditanya demikian, Tek Ciang menjadi ragu-ragu dan agaknya merasa sungkan sekali untuk menjawab. Hal ini memang disengaja sehingga dia nampak seolah-olah merasa tidak enak hati kalau harus menceritakan sesuatu yang hendak dirahasiakan. Ciang Bun yang masih hijau dalam hal menilai sikap orang tentu saja menjadi tertarik.

"Suheng, katakanlah. Engkau sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Kalau ada terjadi sesuatu, sepatutnya kalau suheng berterus terang kepada kami. Kalau suheng tak berani bicara langsung kepada ayah, katakanlah saja kepadaku dan aku yang akan menyampaikan kepada ayah. Apakah pernah terjadi pertengkaran antara enci Hui dan Cin Liong?"

Tek Ciang menarik napas panjang sebelum menjawab, seolah-olah dia terpaksa untuk bicara. "Apa boleh buat, mungkin engkau benar, sute, bahwa aku harus menceritakan segala yang kuketahui. Sesungguhnyalah, aku pernah melihat mereka berkelahi!"

"Berkelahi?"

"Sebenarnya bukan berkelahi, tetapi sumoi yang menyerang Kao-taihiap mati-matian dengan pedangnya, dan Kao-taihiap hanya menghindarkan semua serangan itu. Terjadi pada pagi hari dan akhirnya Kao-taihiap melarikan diri dan dikejar oleh sumoi. Aku mencoba melerai, akan tetapi dengan kepandaianku yang tidak seberapa, aku dapat berbuat apa? Tak lama kemudian sumoi kembali dan agaknya ia tak berhasil menyusul Kao-taihiap yang amat lihai itu."

"Hemm, begitukah? Apakah enci Hui menyerang sungguh-sungguh? Ataukah hanya main-main saja ataukah hanya untuk menguji?"

"Kurasa sungguh-sungguh, sute, karena aku melihat sumoi marah sekali dan benar-benar ia bermaksud hendak membunuh Kao-taihiap."

"Hemm, sungguh aneh. Kenapa enci Hui marah-marah dan hendak membunuhnya?"

Tek Ciang menggeleng kepala dan wajahnya kelihatan seperti orang menyesal dan ikut bersedih. "Aku tidak tahu mengapa, sute. Pada waktu aku bertanya, sumoi juga tidak mau menceritakan."

"Apakah tidak terjadi sesuatu di rumah ini pada malam hari sebelumnya?"

Tek Ciang menggeleng kepala.

"Malam itu engkau berada di mana, suheng?"

"Aku? Ahh, aku meronda keliling kota. Aku hendak menyelidiki jai-hwa-cat yang tadinya dicari-cari oleh mendiang ayah. Dan aku sempat melihat Kao-taihiap berkelahi melawan seorang yang amat lihai. Mereka sama-sama lihai sehingga aku yang menonton dari tempat persembunyian tak dapat membedakan mana Kao-taihiap dan mana lawannya. Akhirnya mereka berkejaran dengan amat cepat. Aku ikut mengejar, tapi tertinggal jauh dan malam itu aku mencari-cari tanpa hasil. Menjelang pagi baru aku pulang. Hanya itulah yang kuketahui, sute. Akan tetapi, sute bertanya-tanya ini, sebenarnya ada terjadi apakah? Aku sendiri pun bertanya-tanya dalam hati mengapa sumoi begitu membenci Kao-taihiap dan hendak membunuhnya, padahal tadinya hubungan mereka sedemikian akrabnya?"

Kini Ciang Bun yang menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. "Tidak tahulah, suheng, tidak tahulah...." dan pemuda remaja ini pun meninggalkan suheng-nya dengan hati yang tidak puas.

Semua keterangan Tek Ciang itu tidak membuat terang persoalan. Benarkah Cin Liong melakukan perbuatan yang demikian keji, memperkosa enci-nya? Kemudian setelah mereka kembali bertemu pagi itu, enci-nya lalu mati-matian menyerangnya? Dia menjadi bingung sendiri dan mengepal tinju kalau mengingat akan nasib enci-nya yang malang.

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (seri ke 11 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang