Jilid 43/55

441 4 0
                                    


Itulah yang amat membingungkan dan menyedihkan hatinya. Dia tahu bahwa kalau dilanjutkan hubungannya dengan pemuda Nepal atau Bhutan ini, dia akan jatuh cinta semakin dalam. Padahal, dia tahu bahwa hal ini tidak boleh terjadi. Dan Ganggananda tentu akan memandangnya penuh penghinaan kalau sampai tahu akan kelainan dirinya.

Tidak, dia tidak akan dapat menahan jika sampai Ganggananda membencinya dan jijik melihatnya. Ganggananda tidak boleh tahu akan kelainan dirinya. Ganggananda amat baik kepadanya, tentu hanya sebagai sahabat, suka dan sayang kepadanya sebagai seorang sahabat, rasa suka yang jujur dan bersih. Akan tetapi dia?

Dia mencinta Ganggananda, bukan hanya sayang dan suka, akan tetapi juga bangkit birahinya berdekatan dengan pemuda halus itu! Dan mana mungkin dia dapat bertahan kalau berdekatan terus. Tidak, dia harus menjauhkan diri, harus membiarkan bayangan dirinya tetap tinggal di hati Ganggananda sebagai seorang sahabat yang disukanya, bukan sebagai seorang laki-laki ganjil yang dibencinya.

"Gangga, tentu saja aku akan berusaha menolongmu kalau engkau berada dalam kesukaran, bahkan aku rela untuk membelamu dengan nyawaku sekali pun. Gangga, aku suka padamu, aku sayang dan cinta padamu, karena itu kalau engkau tidak berkeberatan, aku ingin sekali mengangkatmu sebagai saudaraku!" Aneh sekali, dalam suaranya terkandung keharuan dan kesedihan sehingga suara pendekar muda ini agak gemetar.

Hal ini sebenanya tidak mengherankan karena memang hatinya amat berduka. Ciang Bun sudah mengambil keputusan, karena hanya itulah satu-satunya jalan keluar. Dia harus mengangkat Gangga sebagai saudara! Kalau sudah menjadi saudara, tentu akan lain pandangannya, lain lagi perasaan hatinya terhadap Gangga. Ikatan persaudaraan itu diharapkannya akan merubah perasaan cinta birahi menjadi cinta saudara tanpa birahi, tanpa gairah yang menyesakkan dada untuk dapat berdekatan dan bermesraan dengan Gangga.

Tetapi, mendengar ucapan Ciang Bun itu, Gangga membelalakkan sepasang matanya yang indah. Ia nampak terkejut sekali dan sebelum ia menjawab, ia sudah menggeleng kepala tanda tidak setuju. Kemudian terdengar ia berkata, "Ahh, tidak, Ciang Bun. Aku tidak mau, aku lebih senang menjadi sahabatmu saja, sahabatmu yang amat baik. Apa sih bedanya menjadi sahabat atau saudara angkat?"

Dan Ciang Bun merasa lega dengan jawaban ini! "Tidak.... tidak apa-apa, hanya aku ingin agar hubungan antara kita lebih erat, akan tetapi kalau engkau tidak mau, aku pun tidak kecewa dan kita menjadi sahabat yang amat baik."

Ganggananda khawatir kalau menyinggung hati pemuda itu dan dipegangnya tangan Ciang Bun. "Sahabatku yang baik. Siapa orangnya tidak akan merasa bangga menjadi saudara angkat seorang pendekar seperti dirimu? Apa lagi engkau adalah keturunan keluarga Pulau Es! Akan tetapi, aku sudah cukup bangga dan puas menjadi sahabatmu saja, sahabat yang setia dan akrab."

"Terima kasih, Gangga, terima kasih. Engkau lebih baik dari pada seorang saudara bagiku," kata Ciang Bun dan kembali tangannya gemetar ketika bersentuhan dengan jari-jari tangan Gangga, membuat Gangga kembali menarik tangannya dengan halus.

Percakapan mereka terhenti karena pada saat itu muncul seorang pemuda dan seorang gadis dikawal oleh tujuh orang. Melihat pakaian kedua orang muda itu, mudah diduga bahwa mereka tentulah anak-anak pembesar atau hartawan. Pemuda itu berwajah tampan, dan gadis itu pun manis. Melihat wajah mereka, dapat diduga bahwa mereka itu tentu saudara sekandung. Mata, hidung dan mulut mereka mirip sekali. Pemuda itu usianya kurang lebih enam belas tahun dan si gadis agaknya adiknya, lebih muda satu atau dua tahun.

Tujuh orang yang mengawal mereka itu tidak berpakaian seragam, akan tetapi dari sikap mereka ketika berjalan, dapat diduga bahwa mereka tentulah anak buah pasukan pengawal yang memiliki ilmu silat tangguh. Di punggung mereka terselip senjata, ada yang membawa pedang, ada pula golok. Sikap tujuh orang ini congkak seperti sikap pengawal-pengawal dan tukang-tukang pukul pada umumnya.

Kalau muda-mudi itu berjalan-jalan sambil melihat-lihat bunga dengan sikap gembira, tujuh orang pengawal itu melirik ke arah Ciang Bun dan Ganggananda dengan pandang mata penuh selidik. Akan tetapi karena dua orang muda ini tak membawa apa-apa dan sikapnya tidak mencurigakan, mereka pun tidak memperhatikan lagi dan sebentar saja mereka sudah lewat.

"Uh, congkak-congkak benar sikap tukang-tukang pukul itu," kata Ganggananda dengan nada suara gemas. "Kalau saja ada alasannya, tentu akan senang hati aku menghajar mereka."

Ciang Bun tersenyum. "Jangan galak-galak, Gangga. Tiada hujan atau angin, engkau ingin menghajar orang. Apalagi jika hujan angin...."

"Jika hujan angin, aku tentu lari mencari tempat perlindungan!" Gangga memotong dan tertawa.

Ciang Bun juga tertawa, akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan suara ketawanya dan menyentuh lengan Gangga sambil menoleh ke kiri. Ganggananda juga menoleh dan perhatiannya tertarik kepada dua orang kakek yang datang menuju ke tempat itu. Dua orang kakek itu agaknya mengikuti atau membayangi rombongan muda-mudi tadi, dan keadaan dua orang kakek itu menarik perhatian mereka. Dari sikap mereka, gerak-gerik mereka dan langkah kaki mereka, Ciang Bun dapat menduga bahwa dua orang kakek ini bukan sembarangan, sama sekali tak boleh disamakan dengan tujuh orang pengawal yang garang dan congkak tadi.

Pandang mata Ciang Bun memang tajam. Dua orang kakek yang berjalan perlahan-lahan memasuki taman dan membayangi rombongan muda mudi itu dari jauh memang bukan orang-orang sembarangan. Bahkan keduanya adalah tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, walau pun mereka jarang muncul di dunia kang-ouw.

Seorang di antara mereka adalah seorang kakek berusia hampir tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi besar. Melihat jubah dan kepalanya, mudah diduga bahwa dia adalah seorang pendeta Lama. Kepalanya gundul tidak tertutup, jubahnya berwarna merah kotak-kotak, telinganya amat menarik karena besar sekali, dua kali lebih besar dari pada ukuran telinga manusia biasa. Di lehernya tergantung tasbeh hitam dan di pinggangnya terselip sebatang suling. Kelihatannya seorang pendeta Lama biasa saja, akan tetapi sebenarnya dia adalah Thai Hong Lama, seorang sakti yang tadinya pernah menjadi sekutu Gubernur Yong Ki Pok yang memberontak di Sin-kiang.

Ada pun orang ke dua tidak kalah lihainya. Dia pun berpakaian pendeta atau pertapa, seperti pakaian seorang tosu. Pakaiannya putih bersih dan rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Usianya sudah tujuh puluh tahun lebih dan tubuhnya tinggi kurus, matanya sipit. Dia adalah Pek-bin Tok-ong, seorang pertapa dari Pegunungan Gobi yang selain lihai, juga berhati kejam. Biar pun kedua orang kakek ini datang dari tempat yang berjauhan, akan tetapi keduanya merupakan rekan dan sahabat ketika mereka menjadi sekutu Gubernur Yong Ki Pok.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang kakek ini membantu gerakan Gubernur Yong di barat yang memberontak. Akan tetapi gerakan itu dapat dihancurkan oleh pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Muda Kao Cin Liong. Gubernur itu sendiri tertawan dan tewas, gerakannya hancur. Akan tetapi dua orang kakek ini yang memiliki kepandaian tinggi, berhasil menyelamatkan diri dan lolos. Karena mereka berdua merasa seperjuangan dan senasib, maka mereka pun selanjutnya menjadi sahabat dan ke mana pun mereka bersama-sama.

Sebagai buronan pemerintah, mereka lalu menyembunyikan diri dan baru setelah kini keadaan menjadi reda dan dingin, mereka berani muncul. Keadaan mereka sebagai dua orang pendeta tentu saja tidak mencurigakan dan tidak menarik perhatian, bahkan mereka dihormati dan tidak pernah diganggu oleh para penjaga. Dan kedua orang ini pun memiliki kepandaian dan kedudukan yang terlalu tinggi untuk merendahkan diri melakukan kejahatan-kejahatan biasa yang remeh. Andai kata mereka itu membutuhkan uang, tentu mereka akan mengambilnya dari kamar harta seorang pembesar atau hartawan tanpa ada yang tahu, bukan hanya mencuri atau merampok biasa saja.

Melihat betapa dua orang kakek itu dengan langkah kaki perlahan namun mantap berjalan-jalan akan tetapi jelas membayangi rombongan muda-mudi yang dikawal tujuh orang itu, Suma Ciang Bun memberi isyarat kepada Ganggananda. Mereka saling pandang dan kemudian mengikuti perjalanan rombongan muda-mudi dengan dua orang kakek yang membayanginya itu dengan penuh perhatian sampai mombongan itu keluar dari dalam taman menuju ke taman atau hutan kecil di depan.

Hutan ini hutan buatan untuk keperluan kaisar dan para pembesar tinggi melakukan perburuan. Kalau musim berburu tiba, hutan kecil itu diramaikan oleh binatang-binatang yang sengaja dilepas di situ untuk diburu dan dibunuh oleh para pejabat tinggi. Setelah bayangan rombongan itu lenyap, Ciang Bun mengerutkan alisnya.

"Gangga, sikap dua orang kakek itu amat mencurigakan. Apa yang mereka kerjakan dengan membayangi rombongan muda-mudi itu?"

Ganggananda mengangguk. "Memang mencurigakan. Mungkin mereka itu merupakan pengawal pribadi yang melakukan pengawalan secara tersembunyi. Sikap mereka jelas membayangkan bahwa dua orang kakek itu memiliki ilmu kepandaian tinggi."

"Engkau benar, mereka tentu bukan orang-orang sembarangan. Mungkin juga mereka itu menjadi pengawal-pengawal rahasia muda-mudi mewah itu, akan tetapi aku khawatir jangan-jangan mereka itu malah mempunyai niat yang tidak sehat terhadap rombongan pertama itu. Aku melihat kekejaman membayang pada pandang mata dua orang kakek itu, terutama sekali si tosu. Ketika dia melirik ke sini dan memandang kita, aku merasa seram."

"Hemm, biarkan saja, urusan mereka sendiri. Tujuh orang pengawal itu pun congkak sekali, bukan watak orang-orang baik, maka biarkan mereka itu saling hantam sendiri dengan dua orang kakek itu."

"Akan tetapi aku tetap curiga, Gangga. Jangan-jangan dua orang kakek itu mempunyai niat buruk terhadap muda-mudi itu dan biar pun mereka itu dikawal oleh orang-orang congkak, mereka sendiri adalah remaja-remaja yang tidak berdosa. Mari kita bayangi mereka dan lihat apa yang akan terjadi."

"Bagaimana kalau enci-mu muncul nanti?"

"Jangan khawatir, kami sudah saling berjanji untuk saling menanti di sini selama satu pekan terhitung hari ini, menjaga kalau-kalau seorang di antara kami akan terlambat. Kalau nanti ia datang, tentu ia akan menungguku."

Keduanya lalu bangkit dan melakukan pengejaran ke arah lenyapnya rombongan muda-mudi berpakaian mewah tadi. Akan tetapi bayangan mereka sudah tidak nampak lagi. Ketika Ganggananda dan Ciang Bun sedang mencari dengan mata dan telinga mereka dan bingung karena tidak tahu harus melakukan pengejaran ke arah yang mana, tiba-tiba mereka mendengar lapat-lapat suara orang berkelahi di sebelah barat. Keduanya lalu cepat lari menuju ke arah itu dan tak lama kemudian mereka melihat perkelahian yang sungguh berat sebelah.

Kakek pendeta Lama berkepala gundul itu sedang dikepung dan dikeroyok oleh tujuh orang pengawal! Para pengawal menggunakan senjata golok atau pedang, sedangkan pendeta Lama itu hanya bertangan kosong saja menghadapi mereka. Akan tetapi, sekali pandang saja tahulah Ciang Bun dan Gangga bahwa kakek itu lihai luar biasa dan sedang mempermainkan tujuh orang lawannya yang kelihatan galak dan garang.

Sambaran pedang dan golok berkelebatan dan bergulung-gulung menyilaukan mata, akan tetapi tubuh kakek pendeta Lama itu seperti melayang-layang di antara gulungan sinar pedang dan golok, dan jika ada sinar senjata yang menyambar terlalu dekat, dia cukup mengebutkan ujung lengan bajunya dan senjata itu pun terpental! Ada pun kakek ke dua yang seperti tosu itu hanya berdiri di pinggir, menonton. Dia sama sekali tidak membantu temannya karena kakek ini tentu yakin pula bahwa temannya akan menang dengan mudah menghadapi tujuh orang pengeroyok yang hanya mengandalkan senjata tajam dan tenaga kasar itu.

"Lama tua, jangan main-main seperti anak kecil. Lekas bereskan mereka!" kata tosu yang sudah kita kenal sebagai Pek-bin Tok-ong itu.

"Ha-ha-ha!" Thai Hong Lama tertawa sambil menyampok sebuah golok dengan lengan bajunya sehingga golok itu terpental dan hampir terlepas dari tangan pemegangnya. "Agaknya kau sudah tidak sabar lagi, Tok-ong? Lihat, sepasang burung dara remaja yang lunak dagingnya itu takkan dapat terbang ke mana pun juga, ha-ha-ha!"

Akan tetapi, biar pun berkata demikian, agaknya pendeta Lama itu pun sudah jemu mempermainkan tujuh orang pengeroyoknya. Tiba-tiba saja tangannya menyentuh tasbeh yang tergantung di lehernya dan sekali tarik, dia sudah mengambil tasbeh itu keluar dari lehernya dan dan nampaklah sinar hitam berguung-gulung ketika tasbeh iu diputar-putar. Dan terdengarlah suara nyaring berdentangan ketika pedang dan golok tujuh orang itu terlempar karena benturan tasbeh, disusul teriakan mereka yang roboh satu demi satu dengan kepala pecah terpukul tasbeh! Berturut-turut dengan masing-masing sekali serangan saja, lama itu telah merobohkan dan menewaskan tujuh orang pengeroyoknya.

Melihat ini, Ciang Bun dan Gangga terkejut sekali. Tadinya, melihat perkelahian itu mereka tidak mau turut campur, karena mereka tidak tahu apa urusan mereka yang sedang berkelahi itu. Apalagi melihat betapa pendeta Lama itu dikeroyok tujuh. Bagai mana mungkin mereka turun tangan. Pendeta itu tidak terdesak dan jelas akan menang, dan mereka berdua enggan membantu tujuh orang pengawal yang kasar, congkak dan yang kini secara curang mengeroyok seorang lawan dengan tujuh orang.

Akan tetapi, sungguh tidak disangka oleh Ciang Bun dan Gangga bahwa kakek itu akan menurunkan tangan maut seganas itu, sekaligus membunuh tujuh orang lawannya. Juga mereka berdua terkejut, maklum bahwa sesungguhnya pendeta Lama itu lihai bukan main dan mereka pun dapat menduga bahwa temannya, si tosu itu, tentu lihai pula.

Kini, dua orang muda yang agaknya kakak dan adiknya itu memandang terbelalak dan dara remaja itu menangis dalam rangkulan kakaknya. Mereka memandang pucat dan ketakutan melihat betapa para pengawal mereka terbunuh. Keduanya lalu membalikkan tubuh dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, dua orang kakek itu tertawa dan sekali berkelebat, mereka sudah meloncat dan di lain saat, Thai Hong Lama telah menyambar tubuh gadis kecil itu sedangkan Pek-bin Tok-ong menyambar tubuh pemuda remaja. Mereka menyambar bagaikan dua ekor burung rajawali menyambar dua ekor burung dara yang ketakutan dan sambil tertawa-tawa, keduanya memondong korban mereka dan berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu.

Ciang Bun dan Gangga sejak tadi bengong saja. Mereka masih terkejut melihat betapa kakek pendeta itu membunuh tujuh orang dengan ganas. Akan tetapi ketika mereka melihat dua orang kakek itu menangkap dan melarikan muda-mudi, mereka berdua masih ragu-ragu dan tidak mengerti apa yang dimaksudkan dua orang kakek itu.

"Kita kejar mereka!" kata Ciang Bun.

Akan tetapi sebelum dia bergerak, Gangga menyentuh tangannya. "Apa gunanya kita mengejar mereka? Mungkin juga dua orang kakek lihai itu hendak mengambil mereka sebagai murid! Jika kita mengejar dan bisa menyusul, habis kita mau apa? Perkelahian mereka dengan tujuh pengawal itu bukan urusan kita dan kalau mereka hendak mengambil murid, itu pun tidak ada sangkut-pautnya dengan kita. Kenapa kita harus mencampuri urusan orang dan hanya mencari permusuhan dengan orang-orang lihai?"

"Bukan demikian, Gangga. Akan tetapi hatiku tidak enak. Apakah engkau tidak melihat betapa kakek gundul itu ketika menangkap gadis cilik, telah mengelus pipi gadis itu? Dan aku melihat jelas betapa tosu itu pun mencium pipi si pemuda remaja! Begitukah sikap orang yang akan mengambil murid? Aku curiga sekali dan mari kita kejar mereka, dan kita lihat dan dengan teliti apa yang akan mereka lakukan. Kalau memang benar mereka berniat baik terhadap muda-mudi itu, tentu saja kita tidak usah mencampuri. Akan tetapi kalau mereka itu mempunyai niat busuk, seperti yang kukhawatirkan, kita harus menolong dua orang remaja itu."

Gangga terpaksa harus membenarkan pendapat sahabatnya. Mereka lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu dan melakukan pengejaran ke arah larinya dua orang kakek yang menculik dua orang muda-mudi itu. Dan ternyata mereka harus berlari cepat dan mencari ke sana-sini karena dua orang kakek itu lenyap tanpa meninggalkan jejak. Setelah menjelajahi hutan kecil itu tanpa hasil, Gangga menjadi putus harapan dan hendak membujuk sahabatnya untuk menyudahi saja pencarian yang sia-sia itu. Akan tetapi Ciang Bun menggeleng kepala.

"Gangga, entah bagaimana, akan tetapi perasaanku mengatakan bahwa dua orang kakek itu adalah datuk-datuk sesat yang mampu melakukan segala macam hal yang mengerikan dan jahat sekali. Aku mengkhawatirkan keselamatan dua orang remaja itu. Kita harus cari dan susul sampai dapat."

"Akan tetapi, ke mana kita harus menyusul dan mencari? Mereka tidak berada di dalam hutan ini, dan ternyata mereka mampu berlari cepat sekali sehingga kita kehilangan jejak mereka."

Ciang Bun berpikir keras sambil menundukkan mukanya. Kemudian dia mengangkat muka dan memandang wajah sahabatnya. "Gangga, di waktu siang seperti ini, mereka takkan dapat melakukan perbuatan jahat di tempat umum. Maka, jika mereka memang berniat jahat, tentu mereka akan mencari tempat sunyi dan satu-satunya tempat sunyi tentu saja keluar dari kota raja ini. Tempat ini paling dekat dengan pintu gerbang kota raja sebelah barat, maka kurasa mereka lari melalui pintu gerbang itu. Mari kita kejar ke sana."

Perhitungan Ciang Bun memang tepat sekali. Ketika mereka tiba di pintu gerbang dan melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya, mereka mendengar bahwa memang tadi ada dua orang kakek yang menurut penggambarannya adalah benar dua orang yang mereka kejar, memondong pemuda remaja dan seorang gadis cilik. Menurut keterangan dua orang kakek pendeta itu, dua orang remaja itu menderita sakit lumpuh dan kini mereka hendak membawa muda-mudi itu ke gunung untuk diobati.

Ada pun muda-mudi itu selain lumpuh, nampaknya payah sekali karena seperti orang pingsan dan lemas. Melihat bahwa dua orang kakek itu adalah pendeta-pendeta yang kelihatannya alim, tidak ada yang menaruh curiga dan dengan mudah kedua orang pendeta itu keluar dari kota raja melalui pintu gerbang sebelah barat ini.

Mendengar keterangan ini, makin besar keyakinan hati Ciang Bun bahwa dua orang kakek itu tentulah mempunyai niat yang busuk terhadap dua orang muda-mudi yang mereka tawan. Bahkan kini Gangga sendiri pun menaruh curiga dan dengan penuh semangat ia pun bersama Ciang Bun melakukan pengejaran ke barat.

Setelah matahari condong ke barat, tiba-tiba Ciang Bun memegang lengan Gangga dan menudingkan telunjuknya ke arah sebuah kuil tua yang terletak di lereng bukit di depan. "Lihat, kuil tua itu berada di tempat terpencil, jauh dari desa dan agaknya kosong. Merupakan tempat yang baik sekali untuk melakukan perbuatan busuk, bukan?"

"Entahlah, aku tidak pernah melakukan perbuatan busuk sih!"

Mendengar jawaban ini, Ciang Bun menatap wajah Gangga dan tersenyum lebar. "Aku pun belum pernah. Apa kau kira aku biasa melakukan perbuatan busuk?" Pertanyaan yang dimaksudkan untuk melayani kelakar Gangga itu tanpa disengaja telah menusuk hatinya sendiri. Apakah kelainannya itu termasuk sesuatu yang busuk?

"Nah, kalau kita belum pernah melakukan, mana bisa tahu apakah tempat seperti kuil itu baik untuk melakukan perbuatan busuk."

"Gangga, maaf, bukan waktunya bergurau. Mari kita cepat ke sana, aku khawatir kalau-kalau kita terlambat!"

Mereka berlari lagi menuju ke lereng bukit itu. Di waktu mereka berlari cepat, Gangga masih sempat bertanya, "Ciang Bun, aku tidak mengerti. Kejahatan apa yang dapat dilakukan dua orang kakek itu terhadap muda-mudi remaja itu?"

"Kejahatan apa? Mungkin mereka.... akan diperkosa, seperti yang sudah menimpa diri enci-ku."

"Hemm, mungkin saja. Akan tetapi mana bisa hal itu menimpa si pemuda remaja? Mengapa pula dia ikut diculik? Mau diapakan?"

"Mungkin mau dibunuh!"

"Tidak mungkin, kalau memang dua orang kakek itu berniat membunuh mereka, tentu sudah dilakukannya di hutan itu, tidak usah repot-repot diculik."

"Atau bisa jadi untuk disiksa, dijadikan sandera, untuk minta uang tebusan. Nampaknya dua orang muda-mudi itu anak-anak orang kaya atau pejabat tinggi."

"Itu pun kecil kemungkinannya. Dua orang kakek itu andai kata benar penjahat, tentu bukan penjahat-penjahat kecil yang suka menculik dan melakukan pemerasan."

Ciang Bun kehabisan akal. Dia mempunyai dugaan lain di dalam hatinya terhadap diri pemuda itu, akan tetapi dia tidak dapat menceritakan dugaannya itu kepada Gangga. Seorang pemuda seperti Gangga tentu akan tidak percaya dan merasa heran, juga jijik kalau dia mengatakan bahwa mungkin kakek-kakek itu akan memperkosa diri pemuda itu pula.

"Barangkali dua orang kakek itu mempunyai bibit permusuhan dan dendam dengan keluarga muda-mudi itu."

Mendengar ini, Gangga terkejut. "Ahh, kenapa aku tidak memikirkan hal itu? Mungkin sekali tepat dugaanmu terakhir ini. Mari kita percepat lari kita!" Dan kini Ciang Bun harus mengerahkan seluruh tenaganya sebab begitu Gangga mempercepat larinya, dia lantas tertinggal jauh di belakang. Dia merasa khawatir sekali.

"Gangga tunggu....! Jangan sembrono, mereka itu lihai sekali!"

Setelah tiba di depan kuil mereka bersembunyi dan mengintai. Sebuah kuil tua yang memang kosong dan sudah tidak digunakan atau ditinggali orang lagi. Pintunya sudah jebol, temboknya penuh lumut dan dijalari tanaman-tanaman liar. Atapnya sebagian juga sudah jebol.

Ciang Bun memberi isyarat kepada Gangga dan mereka lalu berindap menghampiri kuil dari dua jurusan. Mereka berpencar untuk mengintai dan mengelilingi kuil dan bertemu di belakang kuil. Gangga mengambil jalan sebelah kiri kuil dan Ciang Bun sebelah kanan.

Dengan cekatan Ciang Bun meloncat mendekati dinding kuil yang berlumut, kemudian berjalan menuju ke belakang dan mengintai melalui jendela-jendela jebol. Tiba-tiba dia menahan kakinya dan mengintai dari celah-celah dinding yang retak. Dia mendengar suara di dalam dan ketika mengintai, matanya terbelalak dan mukanya berubah merah sekali. Dia melihat hal yang memang dikhawatirkan terjadi di balik dinding retak itu.

Pemuda remaja itu nampak terbelalak ketakutan, wajahnya pucat sekali, pakaiannya awut-awutan dan dia dipangku oleh kakek tinggi kurus seperti tosu yang menciumi dan menjilati seluruh tubuhnya yang sebagian banyak sudah telanjang karena pakaiannya direnggut lepas. Pemuda remaja itu tidak melawan, hanya menggigil ketakutan dan hampir pingsan.

Ciang Bun mengepal tinju. Hatinya merasa muak dan jijik. Sekarang dia melihat sendiri seorang kakek yang agaknya mempunyai kelainan seperti dia, yaitu suka kepada sama-sama lelaki, sedang melampiaskan nafsu birahinya kepada seorang pemuda remaja. Dia merasa malu dan muak, juga jijik. Dia merasa seolah-olah dia sendiri yang sedang melakukan itu, karena melihat pemuda tampan itu hampir telanjang, harus diakuinya bahwa ada semacam gairah menyesak di dadanya. Gairah itu segera ditekannya dan jiwa pendekarnya bangkit.

Pada saat yang sama, Gangga juga mengepal tinju dan terbelalak melihat betapa dara cilik yang usianya baru tiga belas atau empat belas tahun itu, menangis dan menggeliat-geliat di atas pangkuan pendeta Lama yang tinggi besar dan yang menggunakan kedua tangannya yang besar dan berbulu untuk membelai dan menggerayangi seluruh tubuh anak itu sambil menyeringai lebar menjijikkan.

"Iblis tua bangka cabul!" Gangga membentak marah.

Teriakan Gangga ini terdenggar oleh Ciang Bun yang juga membentak, "Kakek iblis tak tahu malu!"

Mendengar bentakan-bentakan dari kanan kiri, dua orang kakek itu terkejut sekali, juga marah. Mereka merasa betapa kesenangan mereka terganggu dan mereka mendorong tubuh korban masing-masing dari atas pangkuan, kemudian keduanya berloncatan keluar dari dalam kuil untuk melihat siapa yang berani menentang mereka.

Baru saja mereka tiba di halaman depan kuil tua itu, Gangga sudah menyerang Thai Hong Lama yang tinggi besar, dan yang diintainya tadi, dengan pukulan kilat dan dahsyat. Juga Ciang Bun sudah menerjang dan memapaki Pek-bin Tok-ong dengan pukulan mautnya.

"Haiiiiittt....!" Gangga mengeluarkan suara melengking nyaring dan terkejutlah Thai Hong Lama melihat serangan yang amat cepat ini.

"Hahh! Ehhh....!" Dia cepat mengebutkan ujung lengan bajunya.

Akan tetapi demikian cepatnya gerakan tangan Gangga sehingga sebelum tangan itu tertangkis, gerakannya sudah berubah lagi dan kini mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Thai Hong Lama. Untuk dapat menyerang ubun-ubun kepala lawan yang tinggi besar ini, Gangga meloncat dengan amat ringan seperti seekor burung terbang saja.

"Hemm....!" Thai Hong Lama tidak berani memandang ringan lawannya. Dia tahu bahwa biar pun lawan ini masih amat muda, namun telah memiliki kepandaian hebat, terutama sekali ginkang-nya sungguh amat luar biasa dan berbahaya.

Maka dia tidak bersikap sungkan dan malu lagi. Dikeluarkannya senjata tasbeh hitam yang melingkari lehernya, juga dicabutnya sebatang suling bambu dari saku jubahnya. Inilah senjata istimewa kakek itu. Seuntai tasbeh hitam dan sebatang suling! Dan begitu dia menggerakkan kedua tangan, terdengar suara berkerotokan dari tasbeh dan suara melengking sulingnya. Kedua senjata itu melakukan serangan dahsyat yang membuat Gangga terpaksa mengandalkan ginkang-nya untuk meloncat jauh ke belakang. Dara ini kaget sekali karena biar pun gerakannya cepat, tetapi serangan tadi hampir melukainya.

"Ha-ha-ha-ha....! Tok-ong, ini namanya ikan mendarat ke penggorengan, ha-ha-ha. Kita disuguhi calon makanan yang lezat." Thai Hong Lama tertawa dan dia sudah bergerak maju lagi menerjang Gangga.

Sulingnya melakukan totokan-totokan yang mengarah jalan darah yang melumpuhkan. Dari serangan-serangan ini saja maklumlah Gangga bahwa lawannya tidak bermaksud mengalahkannya dengan membunuh, melainkan menangkapnya hidup-hidup. Teringat akan penglihatan di dalam tadi, dia dapat membayangkan bagaimana nasibnya kalau sampai tertawan hidup-hidup. Mukanya berubah semakin merah dan kemarahannya memuncak. Ia pun mengeluarkan suara melengking-lengking dan tubuhnya langsung berkelebatan membuat lawannya terkejut sekali.

Di lain pihak, Pek-bin Tok-ong juga sudah menyambut serangan Ciang Bun dengan tangkisan sambil mengerahkan tenaga.

"Dukkk!"

Mereka mengadu sinkang dan ternyata kakek itu cukup kuat menahan pukulan Ciang Bun dengan lengannya, biar pun diam-diam kakek ini terkejut ketika merasakan betapa ampuh dan kuatnya pukulan orang muda yang tampan ini. Dia tidak mau kalah lagak dengan temannya. Mendengar suara temannya dia pun tertawa.

"Bagus, orang muda yang tampan. Engkau boleh menemaniku untuk beberapa malam lamanya. Engkau tentu lebih kuat dari pada pemuda hartawan itu, ha-ha-ha!"

Akan tetapi, kakek tinggi kurus ini tidak dapat melanjutkan sikapnya memandang remeh kepada lawannya. Cian Bun sekarang bukanlah Ciang Bun beberapa tahun yang lalu. Dia telah menerima gemblengan dari ayah ibunya selama tiga tahun ini dan telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es! Dan kini, menghadapi seorang lawan tangguh, pemuda ini segera mengerahkan tenaga Pulau Es, yaitu gabungan Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang. Biar pun tentu saja latihannya belum matang karena ilmu-ilmu Pulau Es adalah ilmu-ilmu tinggi yang membutuhkan banyak waktu untuk berlatih, namun karena ilmu-ilmunya memang ilmu pilihan, sebentar saja kakek Pek-bin Tok-ong merasa kerepotan menghadapi pemuda ini.

"Heiiiiittt....!" Dia membentak.

Kini dia mengeluarkan pukulan-pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot dan Melepaskan Tulang). Dua tangannya seperti dua batang golok saja membacok dan menyambar-nyambar, mengeluarkan suara bersiutan mengerikan ketika bergerak.

"Plakk! Dukk....!"

Ketika dua kali lengan Ciang Bun bertemu dengan tangan yang dimiringkan itu, dia tidak kalah tenaga, akan tetapi kulitnya terasa perih seperti terbacok senjata tajam. Kedua lengannya untung terlindung oleh sinkang yang amat kuat, kalau tidak tentu otot-ototnya putus dan tangannya terlepas!

Pemuda ini berhati-hati dan memainkan Toat-beng Bian-kun yang membuat kedua tangannya lembut dan lunak seperti kapas namun mengandung kekuatan yang dapat mencabut nyawa, dan melengkapinya dengan ilmu silat aneh Cui-beng Pat-ciang yang dipelajarinya dari ibunya. Menghadapi ilmu campuran yang serba aneh dan tinggi ini, beberapa kali Pek-bin Tok-ong mengeluarkan seruan kaget dan heran.

Kalau Ciang Bun dapat menguasai keadaan dengan ilmu silatnya yang pada dasarnya memang jauh lebih menang mutunya ketimbang lawan, sebaliknya Gangga repot sekali menghadapi desakan Thai Hong Lama. Suling dan tasbeh hitam di tangan kakek gendut itu benar-benar amat berbahaya dan pendeta Lama ini memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, juga tubuhnya kebal sehingga beberapa kali tamparan tangan Gangga yang mengenai perut atau dadanya mental kembali seperti bola karet yang amat kuat saja.

Sebaliknya, senjata-senjata di tangan kakek itu harus selalu dielakkannya, karena Gangga tidak berani menangkis dengan tangan. Terlampau berbahaya baginya untuk mencoba-coba menyambut kedua senjata itu dengan tangan, walau pun ia sudah pernah mempelajari dan menghimpun tenaga Inti Bumi dari ayahnya. Maka, ia hanya mengandalkan ginkang-nya yang menang jauh ketimbang lawannya untuk mengelak, berlompatan ke sana-sini seolah-olah ia sedang menari-nari di antara dua gulungan hitam dan putih dari tasbeh dan suling kakek itu.

Walau pun Ciang Bun dapat mendesak lawan, akan tetapi dia maklum bahwa untuk menjatuhkan lawannya ini membutuhkan waktu, sedangkan dari tempat dia berkelahi dilihatnya bahwa keadaan Gangga tak menguntungkan. Maka, dia pun cepat mencabut sepasang siang-kiam dari punggungnya.

"Sringggg....!"

Nampak dua gulungan sinar. Begitu Ciang Bun mainkan pedang di kedua tangannya, Pek-bin Tok-ong yang bermuka putih ini menjadi lebih pucat. Menghadapi pemuda ini bertangan kosong saja sudah membuat dia kewalahan, apalagi pemuda itu sekarang menggunakan sepasang pedang dan ternyata ilmu pedang pemuda ini hehat bukan main! Dia cepat meloncat mundur dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ciang Bun untuk meloncat ke tempat Gangga berkelahi dan pedangnya meluncur menyerang Thai Hong Lama yang mendesak sahabatnya itu dengan suling dan tasbeh.

"Tringgg.... trangg....!"

Nampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika sepasang pedang bertemu dengan dua senjata di tangan Thai Hong Lama itu, dan Thai Hong Lama terkejut merasa betapa kedua telapak tangannya menjadi panas dan tergetar hebat. Pada saat itu pula Pek-bin Tok-ong menerjang maju disambut Gangga dan kini mereka bertukar lawan! Ciang Bun dengan sepasang pedang di tangan melawan Thai Hong Lama yang bersenjata tasbeh dan suling sedangkan Gangga yang bertangan kosong berhadapan dengan Pek-bin Tok-ong yang juga bertangan kosong.

"Dukk! Plakk....!"

Kembali kecepatan gerakan Gangga menolongnya. Ia beradu lengan dengan Pek-bin Tok-ong, merasa betapa lengan kakek kurus ini kuat sekali dan begitu lengan beradu, tangan kakek itu sudah mencengkeram ke arah dadanya dengan ganas sekali. Akan tetapi, kembali kehebatan ginkang Gangga menyelamatkannya. Ia dapat berkelebat ke belakang seperti seekor burung walet saja, membuat penyerangnya bengong saking kagumnya. Akan tetapi, tiba-tiba Pek-bin Tokong tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, Lama, tak usah repot-repot lagi, mereka segera roboh, ha-ha-ha. Tok-ciang (Tangan Beracun) yang kupergunakan tentu akan segera bekerja!"

Mendengar ucapan itu, tiba-tiba Ciang Bun yang sedang mendesak Thai Hong Lama dengan sepasang pedangnya terkejut bukan main. Sejak tadi dia sudah merasa betapa kedua lengannya gatal-gatal dan kini bahkan mulai terasa kesemutan pada persendian kedua tangannya.

"Celaka....!" Teriaknya sambil melompat ke belakang. "Gangga, jangan engkau biarkan tanganmu bersentuhan dengan tangan iblis itu!"

Akan tetapi sahabatnya itu pun sudah merasa betapa lengannya yang tadi beradu dengan tangan lawan menjadi gatal-gatal. Marahlah Ganggananda.

"Iblis tua curang!" Dan ia pun sudah menyerang dengan cepatnya.

Dara ini adalah anak tunggal Wan Tek Hoat, seorang pendekar perkasa yang pernah dijuluki Si Jari Maut. Dari ayahnya, selain ilmu-ilmu silat yang tinggi, juga dia sudah mempelajari Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Kini, mendengar bahwa lawan telah mempergunakan jari beracun untuk mencelakai ia dan Ciang Bun, ia menjadi marah dan tubuhnya sudah menyambar seperti terbang cepatnya.

Dia menyerang Pek-bin Tok-ong dengan totokan Toat-beng-ci yang dilanjutkan dengan pukulan-pukulan tangan miring. Bertubi-tubi datangnya serangan kedua tangan ini, apa lagi dilakukan dengan tubuh yang demikian cepat gerakannya seperti terbang saja.

Pek-bin Tok-ong telah berusaha keras mengelak, bahkan menangkap tubuh lawan atau menangkis, namun tetap saja dia kalah cepat.

"Plakk.... aduhhh....!"

Tubuhnya terpelanting dan kalau saja tubuhnya tidak begitu kebal penuh kekuatan, atau kalau saja yang menamparnya tadi bukan Gangga melainkan ayahnya, tentu dia tidak akan mampu bangun kembali. Tamparan tangan Gangga yang kecil halus tadi pun hanya mengenai pundak kirinya, akan tetapi akibatnya membuat sambungan tulang pundaknya terlepas dan nyeri bukan kepalang.

Dia yang sudah terkenal dengan ilmu pukulan memutuskan otot dan melepaskan tulang, kini terpaksa mengakui keunggulan seorang dara dengan tamparan yang membuat tulang pundaknya terlepas. Akan tetapi, dia masih mampu untuk meloncat bangun dan menyerang membabi-buta dengan tangan kanannya, menggunakan pukulan beracun. Terpaksa Gangga kembali mengelak ke sana-sini berloncatan cepat.

Pada saat itu, Ciang Bun sudah menyerang Thai Hong Lama lagi dan biar pun dia merasa kedua tangannya gatal-gatal dan kesemutan, pemuda ini masih terlalu tangkas untuk dapat dikalahkan lawan.

"Iblis-iblis tua bangka, berani kalian mengganggu adikku?!" Tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan yang langsung menyerang Thai Hong Lama dari samping.

Biar pun pendeta Lama itu masih mencoba untuk meloncat mundur, tetap saja sebuah kaki menyambar pinggangnya. Dia pun terlempar ke belakang. Ketika dia bergulingan sambil menyabetkan tasbehnya dan meloncat berdiri, memandang dan melihat seorang wanita cantik gagah perkasa berdiri dengan sikap marah, tahulah dia bahwa dia dan kawannya berada dalam bahaya. Menghadapi dua orang muda pertama saja mereka sudah kewalahan, apalagi kini muncul kakak si pemuda yang agaknya lebih galak lagi.

"Mari kita pergi....!" Teriaknya dan Pek-bin Tok- ong yang sudah terluka tidak menanti ajakan kedua kalinya. Mereka berloncatan dan melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat berbahaya itu.

"Iblis-iblis busuk, ke mana kalian hendak lari?" Suma Hui, yang baru saja datang dan menendang Thai Hong Lama sampai terpental, bergerak untuk melakukan pengejaran.

"Enci, jangan kejar.... aku.... kami.... keracunan....!"

Ucapan adiknya ini membuat Suma Hui menghentikan larinya dan cepat ia menghampiri adiknya.

"Bun-te, apa yang terjadi denganmu? Engkau keracunan?" tanyanya dengan khawatir sambil memandang adiknya penuh perhatian. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu pada diri adiknya yang menunjukkan bahwa adiknya terluka. Ia pun menoleh kepada pemuda langsing yang berdiri pula di dekat adiknya dan juga ia tidak melihat pemuda ini terluka.

"Lenganku.... Iblis itu telah mempergunakan Tok-ciang (Tangan Beracun)!" kata Ciang Bun, akan tetapi dia tak mempedulikan kedua lengannya sendiri yang terasa kesemutan dan gatal-gatal, melainkan cepat menghampiri Gangga.

"Gangga, engkau tadi telah beradu lengan dengannya. Apakah engkau tidak merasakan sesuatu yang tidak wajar?"

"Lengan kananku bertemu satu kali dan kini terasa gatal-gatal," jawab Gangga.

"Coba kuperiksa," kata Ciang Bun sambil menyingkap lengan baju Gangga.

Akan tetapi jantungnya berdebar ketika jari-jari tangannya menyentuh kulit lengan yang putih halus itu sehingga terpaksa dia melepaskannya kembali, khawatir akan gejolak birahi yang tiba-tiba saja bergelora di dalam hatinya.

Gangga melanjutkan pekerjaan yang tertunda itu. Ia segera menyingkap lengan bajunya memeriksa dan ternyata pada lengannya nampak bekas-bekas jari yang kemerahan, bahkan agak membiru, tanda bahwa kulit lengannya keracunan. Juga Ciang Bun sibuk pula menyingkap kedua lengan bajunya dan pada kulit kedua lengannya juga terdapat bekas-bekas jari tangan lawan yang membuat kulit lengannya keracunan. Suma Hui ikut memeriksa dan gadis ini mengerutkan alisnya.

"Memang kulit lenganmu telah keracunan, tetapi karena engkau telah menggunakan sinkang, kurasa racun itu tidak akan menembus ke dalam dan tidak akan meracuni darah. Gunakan bubuk anti racun gigitan serangga, tentu sembuh."

Suma Hui mendahului adiknya, mengeluarkan obat bubuk itu dari buntalannya dan ia pun lalu mengobati dengan menggosok-gosok kulit yang keracunan dengan bubuk putih. Obat ini adalah satu di antara obat-obat buatan keluarga Pulau Es dan mereka selalu membawa bekal obat-obat yang penting dan praktis kalau melakukan perjalanan. Dan memang tepat ucapan gadis itu. Setelah di gosok obat bubuk putih, maka hilanglah rasa gatal-gatal dan tak lama kemudian warna merah itu pun menghilang.

Kakak beradik itu saling pandang dan tahulah Ciang Bun bahwa enci-nya kecewa dan hal ini tentu karena ia tidak berhasil mencari musuh besarnya, yaitu Louw Tek Ciang. "Bagaimana, Hui-ci, apakah ada hasilnya perjalananmu?"

Suma Hui menggeleng kepala. "Iblis itu tak dapat kutemukan, jejaknya pun tidak. Ketika aku tiba di kota raja, aku langsung menuju ke taman yang menjadi tempat pertemuan seperti yang kita janjikan. Akan tetapi aku tidak melihat engkau di sana. Untung aku bisa melihat coretanmu pada batang pohon di dekat kolam ikan emas itu, maka aku segera menyusul ke barat secepatnya. Kiranya engkau dan kawanmu ini sedang berkelahi melawan dua orang kakek yang lihai. Apakah yang telah terjadi dan siapakah dua orang kakek itu? Siapa pula temanmu ini?"

"Nanti dulu, Hui-ci. Di dalam kuil terdapat dua orang muda-mudi yang nyaris menjadi korban dua orang kakek iblis cabul itu, mari kita tolong mereka lebih dulu," kata Ciang Bun.

Ketika kakak dan adik ini bicara, Gangga hanya memandang dan diam-diam ia merasa kagum sekali kepada gadis yang cantik dan gagah itu. Juga merasa kasihan karena ia telah mendengar cerita Ciang Bun tentang Suma Hui yang menjadi korban kejahatan seorang laki-laki yang pernah diserang oleh Ciang Bun di telaga hutan dalam taman di kota raja itu.

Mendengar ucapan Ciang Bun, mereka bertiga lalu melangkah menuju ke kuil kuno dan di dalam kuil itu mereka melihat muda-mudi itu saling rangkul di sudut dengan tubuh gemetar dan muka pucat. Kiranya muda-mudi yang kakak beradik telah saling bertemu sesudah dua orang kakek itu melepaskan mereka untuk menghadapi lawan.

Mereka hanya dapat saling rangkul dan menangis ketakutan. Ketika Ciang Bun, Suma Hui dan Gangga mumcul, mereka tadinya terkejut dan gadis cilik itu hampir menjerit ketakutan, akan tetapi setelah melihat bahwa yang muncul bukanlah dua orang kakek iblis yang mereka takuti, keduanya menghentikan tangis mereka dan memandang pada tiga orang yang masuk itu dengan mata terbelalak.

"Jangan takut," kata Gangga. "Dua orang kakek iblis itu telah dapat kami usir dari sini dan kami datang untuk menolong kalian."

Mendengar ucapan ini, kakak beradik itu mengeluarkan seruan girang dan sang kakak lalu menarik tangan adiknya, diajak menjatuhkan diri berlutut di atas lantai. "Terima kasih, terima kasih....," kata mereka berulang-ulang.

"Bangkitlah dan ceritakan siapa kalian dan mengapa kalian sampai diculik oleh dua orang kakek itu," kata Ciang Bun.

Kakak beradik itu bangkit berdiri dan sang kakak lalu menceritakan bahwa mereka berdua adalah putera dan puteri keluarga hartawan Ciok di kota raja. Hari itu mereka pagi-pagi sekali pergi pelesir di dalam taman itu, dikawal oleh tujuh orang pengawal atau tukang pukul mereka.

"Kami tidak pernah mengenal dua orang kakek itu. Ketika kami sampai di dekat hutan buatan yang sunyi itu, tiba-tiba saja dua orang kakek itu menyerang dan tujuh orang pengawal kami tewas oleh seorang di antara mereka. Lalu kami ditangkap dan dilarikan ke sini."

Ciang Bun dan Gangga sudah tahu akan hal itu dan mereka dapat menduga bahwa tentu kedua orang kakak beradik ini telah ditotok ketika dibawa keluar pintu gerbang sebelah barat.

"Hemm, kalau begitu mari kami antar kalian pulang," katanya.

Mereka bertiga lalu mengantar dua orang kakak beradik itu kembali ke kota raja. Di sepanjang perjalanan, Suma Hui dan Suma Ciang Bun memperoleh kesempatan untuk bercakap-cakap.

"Bun-te, siapakah kawanmu ini?" tanya Suma Hui sambil memandang kepada Gangga.

Di dalam suara gadis ini terdapat keheranan yang disembunyikan. Memang ia merasa heran sekali. Ia sudah tahu akan kelainan yang diderita adiknya, yaitu kecondongan untuk lebih suka pria dari pada wanita. Akan tetapi, kini ia melihat betapa Ciang Bun memandang amat mesra dan bersikap amat manis, bahkan agaknya menjadi sahabat akrab sekali dengan seorang gadis, walau pun gadis itu menyamar sebagai seorang pria! Dan ketika ia tahu, dari logat bicara gadis yang menyamar pria itu, bahwa gadis itu bukan orang Han, melainkan seorang asing, ia merasa lebih heran lagi.

"Dia bernama Ganggananda, enci."

"Ahhh, seorang Nepal?"

"Bukan, saya seorang berbangsa Bhutan," kata Gangga.

Suma Hui mengangguk-angguk dan memandang tajam. Seorang gadis yang sangat cantik, pikirnya, akan tetapi penyamarannya juga baik sekali. Ia hanya dapat mengenal penyamaran itu melalui perasaan kewanitaannya saja. Kalau jarak jauh sedikit saja, ia sendiri pun tidak akan dapat mengetahui bahwa pemuda ini adalah seorang wanita.

"Dan bagaimanakah kalian dapat berkenalan dan bersahabat?" tanyanya ingin tahu sekali.

"Enci, saudara Gangga ini telah menyelamatkan nyawaku dan aku berhutang budi besar sekali kepadanya. Jika tidak ada dia yang telah menolongku secara mati-matian, kiranya engkau takkan dapat bertemu lagi dengan adikmu ini."

"Aihh, itu terlalu dilebih-lebihkan." Gangga merendahkan diri walau pun hatinya girang sekali oleh pujian ini.

Suma Hui terkejut mendengar betapa adiknya nyaris tewas. "Apakah yang telah terjadi denganmu, Bun-te?"

"Aku nyaris tewas di tangan.... Tek Ciang, Hui-ci."

Suma Hui terkejut bukan main, sampai meloncat dan memegang tangan adiknya. "Apa? Dia?! Kau bertemu dia? Di mana jahanam itu sekarang?"

"Teranglah, enci, aku akan ceritakan semuanya. Akan tetapi sebaiknya kita antarkan dulu dua orang anak ini ke rumah mereka." jawab Ciang Bun.

Suma Hui maklum betapa pentingnya hal yang akan diceritakan adiknya, maka dia menahan gejolak hatinya dan mengangguk. Setelah tiba di kota raja dan mengantarkan muda-mudi itu sampai ke pekarangan gedung keluarga mereka, tiga orang pendekar ini segera pergi, tidak mau menerima undangan dua orang muda-mudi kaya-raya itu untuk singgah.

"Ceritakan saja semua yang terjadi dan menimpa diri kalian kepada orang tua kalian, agar jenazah tujuh orang pengawal kalian itu dapat diambil dan diurus. Kami akan pergi sekarang juga." Ciang Bun tidak memberi kesempatan kepada dua orang muda-mudi itu untuk banyak cakap. Dia lalu pergi bersama Suma Hui dan Gangga, dan tak lama kemudian mereka bertiga telah berada di atas sebuah perahu kecil di atas telaga dalam taman itu.

Mereka membiarkan perahu itu terapung-apung di sudut yang sunyi dan Ciang Bun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya ketika dia tiba di telaga itu, mencari enci-nya. Diceritakannya pertemuannya dengan Gangga dan mereka bersahabat lalu berperahu berdua, kemudian betapa Tek Ciang dan seorang pria lain muncul. Betapa mereka berkelahi dan dia telah terpukul oleh Tek Ciang dengan Hoa-mo-kang yang hampir saja menewaskannya kalau tidak saja Gangga yang menggunakan ginkang-nya yang luar biasa untuk mencarikan obat penawarnya.

Mendengar penuturan adiknya secara panjang lebar itu, Suma Hui mengepal tinjunya. "Sayang sekali aku tidak bertemu ketika jahanam itu muncul. Keparat, belum juga aku berhasil membunuhnya. Ia telah melukai dan hampir saja membunuhmu, untung ada.... sahabatmu ini. Saudara Ganggananda, saya ikut merasa bersyukur dan menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu kepada adik saya."

Melihat Suma Hui memberi hormat kepadanya, Gangga cepat membalas. "Ahh.... nona, harap jangan sungkan. Ciang Bun sudah menjadi sahabat baikku, di antara sahabat mana ada istilah tolong-menolong? Sudah sewajarnya dan selayaknya kalau ada seorang di antara sahabat kesukaran, yang lain membantunya, bukan?"

Suma Hui mengangguk-angguk, dan diam-diam dia merasa suka kepada gadis yang menyamar sebagai pria ini. Juga ia dapat menyelami hati gadis ini. Apa lagi kalau bukan cinta yang mendekatkan gadis itu dengan Ciang Bun? Anehnya kini ia tahu benar bahwa Ciang Bun menganggap gadis itu sebagai seorang pria. Mengapa begitu?

"Ahhh...." Tiba-tiba Suma Hui menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan dua orang muda yang lain.

"Ada apakah, Hui-ci?"

Suma Hui tertegun dan menjadi bingung. Dia tidak menyangka bahwa jalan pikirannya membuat dia lupa diri tadi. "Ahh, tidak, hanya aku masih merasa kecewa tidak dapat bertemu sendiri dengan jahanam itu."

"Biar pun demikian, pertemuanku dengan dia di telaga ini menunjukkan bahwa dia tidak berada jauh dari kota raja. Kita akan mencari lagi sampai dapat, enci. Akan tetapi, sebaiknya kalau kita minta bantuan kanda Kao Cin Liong. Kita cari dia di kota raja dan kita ceritakan tentang jahanam itu...."

Mendengar adiknya menyebut 'kanda' kepada Cin Liong, diam-diam Suma Hui merasa girang dan berterima kasih. Adiknya sebetulnya masih terhitung paman dari Cin Liong, akan tetapi adiknya itu memandang kepadanya dan menyebut 'kanda'.

"Baiklah, usulmu memang baik dan tanpa bantuan banyak tenaga, agaknya sukarlah menemukan jahanam yang licik itu."

Karena hari sudah menjelang malam, mereka mengambil keputusan untuk mencari Cin Liong pada keesokan harinya. Malam hari itu mereka akan bermalam di sebuah rumah penginapan.....

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (seri ke 11 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang