"Ah, badai datang....!" Cin Liong memperingatkan tiga orang muda itu dan diam-diam dia mengharapkan bahwa munculnya badai ini akan mengurungkan niat jahat para penjahat di atas empat buah perahu itu.
Akan tetapi, kiranya tidaklah demikian. Perahu mereka berguncang keras dan ternyata enam orang penjahat dari perahu terdekat telah berlompatan ke atas perahu mereka.
Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu segera bergerak. Ceng Liong menyambut seorang penjahat dengan pukulan dua tangannya, membuat penjahat itu terjengkang dan terlempar keluar dari perahu. Ciang Bun juga merobohkan seorang lawan dengan sambaran pedangnya, sedangkan sepasang pedang Suma Hui merobohkan dua orang lain. Sisanya, dua orang lagi, disambut tendangan serta pukulan Cin Liong, terlempar keluar perahu!
Akan tetapi, kini Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok sendiri berlompatan dari perahu, terjatuh ke atas perahu yang terdekat. Terdengar Hek-i Mo-ong mengeluarkan aba-aba di antara deru suara angin dan air laut dan nampak banyak anak buahnya berloncatan ke air.
Cin Liong dan tiga orang muda itu siap-siap menyambut lawan. Akan tetapi, tiba-tiba perahu mereka terguncang hebat dan miring, bahkan hampir terbalik. Barulah Cin Liong mengerti bahwa penjahat-penjahat itu tadi berloncatan ke air untuk menggulingkan perahu kecil!
"Cepat, loncat ke perahu lawan!" teriaknya dan tiga orang muda itu pun mengerti.
Cin Liong sendiri sudah menyambar tubuh Ceng Liong dan dibawanya meloncat ke atas perahu terdekat. Ada angin dahsyat menyambar dan dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong sendiri telah menyambutnya dengan pukulan dahsyat yang amat berbahaya. Karena tubuhnya masih melayang di udara dan dia masih mengempit tubuh Ceng Liong, maka cepat dia melemparkan Ceng Liong ke atas geladak perahu dan barulah dia menangkis dengan lengan kanannya. Tangkisannya agak terlambat karena dia melemparkan tubuh paman cilik itu, maka biar pun dia masih dapat menangkis, namun pukulan itu meleset dan mengenai pangkal lengan kanannya.
"Dessss....!"
Hebat sekali benturan tenaga itu dan andai kata Ceng Liong masih berada dalam pondongan Cin Liong, besar kemungkinan anak itu akan terluka oleh getaran hawa pukulan dahsyat itu. Biar pun Cin Liong sendiri dapat menahan hantaman itu dengan agak terlambat, namun karena tubuhnya masih berada di udara di mana dia tidak mempunyai tempat berpijak dan bertahan, maka benturan tenaga dahsyat itu membuat tubuhnya terlempar jauh keluar dari perahu.
"Byuurrrrr....!"
Tubuh Cin Liong segera disambut gelombang lautan yang sudah makin mengganas itu. Bahkan para bajak laut yang ahli berenang dan yang tadi atas perintah Hek-i Mo-ong menggulingkan perahu kecil, kini tergesa-gesa naik lagi ke perahu melalui tali karena memang berbahaya sekali berada di air dalam keadaan badai mengamuk itu.
Apalagi Cin Liong yang kemampuannya di air terbatas sekali. Dia berusaha berenang mencapai tali dan kembali ke perahu besar untuk membantu tiga orang muda yang telah dikeroyok para anak buah penjahat itu. Akan tetapi gelombang air membuat dia terseret menjauh.
Tiba-tiba tangannya meraih sesuatu dan ternyata yang terpegang olehnya itu adalah ujung perahunya sendiri yang tadi terbalik. Cepat Cin Liong menggunakan kekuatan tangannya, menarik dirinya dan naik ke atas perahu yang telah membalik itu.
Akan tetapi perahu besar itu mendekat dan tiba-tiba dari atas menyambar sinar hitam dibarengi bentakan nyaring. Cin Liong merasakan hawa pukulan yang dahsyat, maklum bahwa kembali dia diserang dari atas dengan hebatnya oleh seorang yang amat kuat, menggunakan sebatang dayung besi. Cepat dia melempar tubuhnya ke kiri.
"Byuurrr....!" Untuk kedua kalinya tubuhnya ditelan mulut gelombang yang menganga lebar.
"Darrrrrr....!" Perahu itu tertimpa dayung dan pecah menjadi beberapa potong!
Kiranya, penyerangnya adalah Hek-i Mo-ong sendiri yang kini tertawa bergelak. Suara ketawa ini takkan terlupa selamanya oleh Cin Liong yang sudah secara mati-matian berjuang kembali melawan ombak yang menyeretnya. Namun, sekali ini dia tidak kuasa mempertahankan diri dan terpaksa membiarkan ombak menyeretnya semakin jauh dari perahu-perahu besar di mana tiga orang keturunan Pulau Es itu sedang dikeroyok ketat.
Ketika melihat bayangan hitam terapung, kemudian dia meraih dan ternyata itu adalah sepotong kayu, pecahan dari perahunya. Dia hampir kehabisan tenaga dan napas, lalu menarik tubuhnya ke atas papan itu dan tergolek tak sadarkan diri di atas papan yang membawanya terapung-apung semakin jauh.
Ceng Liong mengamuk dengan mati-matian. Biar pun usianya baru sepuluh tahun, namun anak ini memang hebat bukan main. Tidak mengecewakan kalau dia menjadi cucu dalam Pendekar Super Sakti dan putera tunggal Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu, bahkan ibunya pun seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi, selain ahli ilmu silat juga ahli sihir! Semenjak kecil dia sudah digembleng oleh ayah bundanya, kemudian diasuh dan dibimbing oleh kakek dan kedua orang neneknya di Pulau Es, maka biar pun dia baru berusia sepuluh tahun, namun sukarlah dicari seorang dewasa yang akan mampu mengalahkannya.
Para penjahat itu tadinya tentu saja memandang ringan kepada Ceng Liong. Akan tetapi sikap memandang ringan ini harus ditebus dengan mahal ketika beberapa orang anggota penjahat terkena hantaman anak itu dan terjungkal ke lautan untuk tidak muncul kembali! Dan empat orang penjahat yang menubruknya, juga dapat dibikin terpental jatuh bangun. Barulah para penjahat itu sadar bahwa anak kecil ini bukanlah makanan lunak dan mereka pun tidak segan-segan dan tidak malu-malu lagi untuk mencabut senjata dan mengeroyok Ceng Liong dengan senjata golok atau pedang!
Namun, dengan ilmunya Sin-coa-kun, tubuh anak itu seperti telah berubah menjadi ular atau belut saking licinnya, melesat ke sana-sini di antara sambaran golok dan pedang, kemudian dengan tendangan-tendangan Soan-hong-kwi yang membuat kedua kakinya seperti baling-baling, dia berhasil membuat para pengeroyoknya kocar-kacir!
Betapa pun juga, dia hanyalah seorang anak berusia sepuluh tahun yang tenaganya masih lemah dan para pengeroyoknya adalah penjahat-penjahat yang kejam. Maka setelah dikepung oleh banyak orang, mulailah ada senjata yang menyerempet tubuhnya dan pakaiannya mulai koyak-koyak berdarah oleh luka-luka pada tubuhnya.
Biar pun demikian, anak ini sama sekali tidak pernah mengeluh, juga semangatnya makin bernyala, amukannya semakin hebat. Ceng Liong dapat melihat dengan ujung matanya bahwa kedua orang kakaknya, yaitu Suma Hui dan juga Ciang Bun, telah terpisah darinya karena pengeroyokan banyak orang membuat mereka itu berloncatan ke atas perahu-perahu lain untuk mencari tempat yang luas dan untuk memecah-belah kekuatan para pengeroyok.
Sedangkan Cin Liong sudah tidak nampak lagi bayangannya sejak tadi. Kenyataan ini membuat Ceng Liong menjadi semakin nekat. Tadi dia melihat betapa Cin Liong terlempar keluar perahu dan kalau sampai sekarang pemuda itu tidak muncul, itu hanya berarti bahwa Cin Liong tentu telah tenggelam ke laut! Dan kedua orang kakaknya tidak mungkin membantunya karena keadaan mereka tentu tiada bedanya dengan dirinya sendiri, dikeroyok banyak lawan. Maka tahulah anak ini bahwa dia harus melawan mati-matian sampai titik darah terakhir!
"Majulah! Majulah kalian semua....!" Dia membentak sambil berloncatan ke sana ke mari dan membagi-bagi pukulan dan tendangan. "Keroyoklah aku! Inilah dia cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Majulah kalian, bedebah-bedebah busuk!"
Diam-diam semua pengeroyok merasa kagum hukan main. Anak ini memang luar biasa sekali. Pakaiannya telah penuh darah, tubuhnya telah luka-luka akan tetapi gerakannya masih demikian lincah, gesit dan tangkas, semangatnya masih bernyala-nyala dan sedikit pun tidak nampak dia gentar.
Karena badai mengamuk semakin ganas, maka para pengeroyok itu pun tidak dapat memusatkan pengeroyokan mereka, bahkan mereka yang berkelahi ini pun nampak lucu, kadang-kadang terguling roboh sendiri karena perahunya oleng. Juga Ceng Liong beberapa kali terguling roboh karena olengnya perahu.
Empat buah perahu itu sudah terpisah-pisah tidak karuan sehingga Ceng Liong tidak tahu di mana adanya kedua orang kakaknya. Tahunya hanyalah bahwa dia berada sendirian saja di antara pengeroyokan penjahat-penjahat di atas perahu itu.
Anehnya, secara tiba-tiba saja lautan menjadi tenang kembali dan cuaca tidak begitu gelap lagi, hujan pun hanya rintik-rintik saja. Kini Ceng Liong dikepung ketat lagi dan ketika anak ini meloncat ke kiri untuk mengelak dari sambaran golok, kakinya menginjak papan yang licin. Dia terpeleset dan kakinya terlibat tali layar.
Tiba-tiba ada yang menarik tali itu dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh anak itu lantas tergantung ke atas, dengan kedua kaki terbelit tali dan kepalanya di bawah. Dia terus meronta-ronta dan memaki-maki, ditertawakan oleh para anak buah penjahat.
"Anak bedebah ini telah membunuh banyak kawan kita. Bunuh saja dia!"
"Kita siksa dia! Enak benar dibunuh begitu saja!"
"Pakai dia sebagai umpan memancing ikan besar!"
"Cambuki dia sampai hancur daging-dagingnya!"
Ceng Liong sudah tidak dapat meronta-ronta lagi. Akan tetapi, dengan mata mendelik dia memandang kepada wajah-wajah kejam dan bengis yang merubungnya itu. Wajah-wajah yang menyeringai seperti setan-setan. Tetapi sedikit pun dia tidak takut. Bahkan ia masih mencoba menggerakkan kedua tangannya untuk mencengkeram wajah-wajah itu sehingga para penjahat itu melangkah mundur.
"Siksalah! Cincanglah! Bunuhlah! Siapa takut mampus? Aku cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es tidak takut mati, tidak macam kalian ini iblis-iblis pengecut tak tahu malu!" Ceng Liong membentak dan memaki-maki.
Memang anak ini luar biasa sekali. Agaknya di dalam dirinya tidak terdapat rasa takut atau kelemahan sedikit pun juga. Ketika kakeknya dan dua orang neneknya meninggal, dalam keadaan berduka dia sama sekali tidak memperlihatkan kedukaannya, sama sekali tidak menangis. Dan kini, dalam cengkeraman maut yang mengerikan, ancaman siksaan yang menyeramkan, sedikit pun dia tidak kelihatan takut!
"Wah, dia malah memaki-maki kita! Perlu apa dibiarkan hidup lagi?" bentak seorang yang tadi pernah merasakan lezatnya tendangan kaki anak ini, yang membuat perutnya mulas dan sampai kini masih terasa nyerinya. Dia sudah menerjang dan membacokkan goloknya ke arah leher Ceng Liong.
Anak ini tidak dapat mengelak, akan tetapi dia tidak berkedip, memandang datangnya golok yang akan memenggal lehernya, sedikit pun tidak kelihatan takut.
"Plakkk!" Golok ini terpental dan orang yang membacokkan golok itu terjungkal.
"Lancang! Siapa suruh membunuhnya?" Hek-i Mo-ong membentak marah.
Dan sekali lagi dia menggerakkan tubuh, tahu-tahu kakinya menendang dan orang yang tadinya hendak membunuh Ceng Liong, kini mengeluarkan jeritan mengerikan ketika tubuhnya terlempar keluar dari perahu dan jatuh ke dalam laut, terus tenggelam karena tendangan tadi sudah membunuhnya! Memang demikianlah kehidupan di antara kaum sesat itu. Keras dan kejam, setiap kesalahan betapa pun kecilnya tentu akan dihukum secara keji. Hal ini membuat semua anak buah takut dan taat kepada pimpinannya.
Tetapi sikap Hek-i Mo-ong yang menyelamatkan bocah tawanan itu membuat semua anak buahnya terheran-heran dan bingung. Biasanya, perbuatan kejam para anak buah terhadap musuh bahkan dianjurkan oleh pemimpin ini. Kenapa sekarang orang yang hendak membunuh bocah yang menjadi musuh ini malah dibunuh oleh Hek-i Mo-ong? Mereka semua memandang dengan sinar mata mengandung penuh rasa penasaran.
Hal ini dapat diketahui oleh Hek-i Mo-ong. Dia menjambak rambut kepala Ceng Liong, memaksa muka anak itu menghadapinya dan dia menyeringai.
"Huh, siapa pun di dunia ini tidak boleh merampas anak ini dari tanganku. Aku sendiri yang akan menyiksanya sampai mampus!"
Mendengar ucapan Raja Iblis ini, mengertilah para anak buah penjahat itu dan mereka pun tersenyum menyeringai dengan hati lega. Pantas saja teman mereka tadi dibunuh, kiranya teman itu hampir saja mengecewakan hati Hek-i Mo-ong, merampas calon korbannya.
Ceng Liong sendiri pun tertegun ketika melihat kenyataan bahwa nyawanya yang sudah nyaris melayang di bawah bacokan golok tadi kini malah telah diselamatkan oleh Hek-i Mo-ong, musuh besarnya! Sejenak dia menjadi bingung. Ia menganggap kakek raksasa ini sebagai musuh nomor satu karena selain kakek ini merupakan orang yang paling sakti dalam rombongan musuh yang menyerbu Pulau Es, kakek ini jelas merupakan pemimpin mereka yang paling berkuasa. Akan tetapi, kini musuh nomor satu ini telah menyelamatkan nyawanya.
Sejak kecil, orang tua dan juga para nenek dan kakek di Pulau Es telah menekankan dalam batinnya bahwa seorang pendekar haruslah mengenal dan pandai membalas budi, memegang teguh janji, dan tidak mendendam. Mana mungkin sekarang dia akan memusuhi, apa lagi mendendam, kepada orang yang telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut? Dia telah berhutang nyawa kepada Hek-i Mo-ong!
Kenyataan ini membuat anak itu tidak banyak mengeluarkan suara lagi dan dia hanya bergantung lemas pada kedua kakinya yang terlibat tali, bahkan dia lalu memejamkan kedua matanya. Tubuhnya letih dan terasa nyeri semua, perih-perih semua luka di tubuhnya, kepalanya pening dan akhirnya anak itu pun terkulai pingsan.
Setelah siuman kembali, Ceng Liong mendapatkan dirinya berada di sebuah bilik kecil dan kosong, seperti kerangkeng anjing. Dia rebah begitu saja di atas lantai. Ketika dia bangkit duduk, hampir dia mengeluh karena terasa tubuhnya nyeri semua. Akan tetapi, ternyata ada orang yang telah mengobati luka-lukanya dengan semacam obat berwarna merah. Obat inilah agaknya yang membuat luka-lukanya terasa perih, akan tetapi luka-luka itu pun mengering.
Pakaiannya masih compang-camping, bekas bacokan-bacokan pada saat dia dikeroyok tadi. Tadi? Atau kemarin? Dia tidak tahu lagi. Dia tidak tahu bahwa sudah semalam dia menggeletak pingsan atau tidur di lantai bilik perahu ini.
Dari guncangan dan ayunan yang dirasakannya, dia pun tahu bahwa dia masih berada di dalam perahu dan dia pun teringat bahwa dia telah menjadi tawanan Hek-i Mo-ong. Dia melihat hidangan dan air minum tak jauh dari kakinya. Seketika dia merasa betapa tubuhnya lemas, perutnya lapar dan mulutnya haus. Tidak perduli apa makanan itu dan dari siapa, yang penting adalah menjaga kesehatannya, pikirnya. Setelah kesehatannya pulih, baru dia akan melihat perkembangan untuk menentukan tindakan.
Ceng Liong lalu menyambar tempat air dan minum. Segar sekali rasanya, walau pun hanya air tawar dingin saja. Lalu dia pun mulai makan, tidak lahap dan tidak terlalu banyak, hanya sekedar mengisi perutnya yang kosong.
Setelah selesai makan, dia pun memeriksa daun pintu dan jendela bilik itu yang ternyata amat kuat, tertutup jeruji-jeruji besi. Agaknya bilik ini memang dibuat khusus untuk tempat tawanan! Dan dia pun melihat empat orang penjaga duduk di luar bilik. Ketika mereka bercakap-cakap, dia lalu mendekati pintu dan mendengarkan.
"Kita ini anak buah Jai-hwa Siauw-ok, sekarang malah mengabdi kepada Hek-i Mo-ong," terdengar seorang di antara mereka mengomel.
"Hushh, perlu apa mengomel? Kita malah untung besar. Lihat saja teman-teman banyak yang tewas sejak kita menyerbu Pulau Es. Dan setelah berhasil menangkap gadis itu, Jai-hwa Siauw-ok malah lalu memisahkan diri dan pergi meninggalkan kita semua!"
"Hemm, gadis Pulau Es itu memang cantik manis, heh-heh!"
"Dan kita tahu tidak ada kesukaan lain melebihi memetik bunga-bunga muda bagi pemimpin kita itu!"
"Yang dua orang lagi tentu mati ditelan air laut dalam badai itu!"
"Sayangnya, Jai-hwa Siauw-ok meninggalkan kita yang menjadi anak buahnya begitu saja, lalu bagaimana dengan kita yang tanpa pimpinan ini?"
"Kenapa mesti ribut-ribut? Menjadi anak buah Hek-i Mo-ong jauh lebih enak. Dia lebih berpengaruh, lebih sakti, dan juga lebih kaya dan royal dari pada Siauw-ok."
Mendengarkan percakapan itu, Ceng Liong mengerutkan alisnya. Sungguh merupakan berita yang sangat buruk. Agaknya enci-nya Suma Hui sudah tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Walau pun dia masih kecil, namun sebagai putera pendekar sakti, dia dapat menduga apa artinya jai-hwa (Pemetik Bunga), lebih-lebih Siauw-ok (Si Jahat Kecil) itu. Tentu enci-nya itu terancam bahaya yang mengerikan pula.
Akan tetapi, dia tidak begitu mengkhawatirkan Suma Hui karena bagaimana pun juga, percakapan anak buah penjahat tadi menyatakan bahwa dara itu masih hidup. Dan selama masih hidup, ada saja harapan untuk meloloskan diri. Yang membuat dirinya khawatir adalah berita tentang Suma Ciang Bun dan Kao Cin Liong.
Mereka berdua itu terlempar ke laut dan siapakah akan mampu menyelamatkan diri dari ancaman gelombang air laut dalam badai itu? Betapa pun lihainya kakaknya, Ciang Bun atau keponakannya, Cin Liong, mereka berdua itu tidak akan mampu berbuat banyak terhadap amukan air laut dalam badai.
"Akan tetapi kenapa Mo-ong bersusah payah membawa bocah setan ini? Bukankah dia bilang hendak menyiksanya sampai mati? Bocah itu enak-enak di dalam bilik dan kita yang harus berpayah-payah menjaga siang malam, bahkan dia diberi makan lagi! Apa sih maksudnya?"
"Hushh, perlu apa mencampuri? Tugas kita hanya mentaati perintah!"
"Pula, masa begitu saja engkau tidak tahu?" sambung suara lain. "Biasa, kalau hendak memotong ayam, bukankah sebaiknya dibikin gemuk dulu?"
"Ha-ha-ha, engkau benar!"
"Hemm, jangan main-main. Aku mendengar bahwa anak itu hendak dibawa sebagai bukti keberhasilan penyerbuan kita ke Pulau Es, dan di depan para datuk itulah baru dia akan dibunuh."
"Ya, kabarnya akan dijadikan korban sembahyangan roh para kawan yang telah tewas di tangan keluarga Pulau Es selama ini."
Ceng Liong merasa sudah mendengar cukup. Dia menggedor pintu biliknya dan berseru nyaring, "Heiii, anjing-anjing penjaga di luar, jangan berisik! Aku mau tidur, tahu?"
Empat orang penjaga itu bangkit berdiri, saling pandang lalu mereka mengepal tinju dan memandang ke arah pintu bilik itu dengan mata melotot dan muka merah.
"Bocah keparat!"
"Kurobek mulutnya!"
"Kalau aku yang diberi tugas membunuhnya kelak, akan kukerat dia sepotong demi sepotong!"
Akan tetapi Ceng Liong sudah tidak memperdulikan mereka lagi dan dia pun mengusir segala kekhawatirannya tentang kakak-kakaknya dan Cin Liong, dengan cara duduk bersila dan tenggelam dalam semedhi.....
![](https://img.wattpad.com/cover/160035028-288-k872231.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (seri ke 11 Bu Kek Siansu)
Action(seri ke 11 Bu Kek Siansu)