Hening sejenak, kemudian terdengar suara Tek Ciang, lantang dan tegas, "Kenapa teecu tidak mau, suhu? Kejadian terkutuk itu bukanlah kesalahan sumoi, melainkan kesalahan manusia terkutuk itu. Tentu saja teecu mau melanjutkan ikatan perjodohan ini dan mau menerima sumoi sebagai calon isteri teecu."
Wajah Suma Kian Lee yang tadinya keruh itu seketika menjadi berseri dan diam-diam Hwee Li juga merasa terharu. Pemuda ini memang benar-benar tidak mengecewakan! Pemuda yang berhati lapang, berpandangan luas dan bijaksana. Ya, bijaksana! Jarang ada pemuda seperti ini.
"Terima kasih, Tek Ciang! Engkaulah yang telah dapat menerangkan persoalan yang mengeruhkan hati kami sekeluarga. Engkaulah yang telah menjadi penolong kami dan menghapuskan aib dari nama kami. Engkau tidak akan menyesal, Tek Ciang, karena dengan demikian, aku telah menentukan sejak saat ini bahwa kelak engkau yang akan mewarisi ilmu keluarga kami!" Ucapan Suma Kian Lee keluar dari hati yang setulusnya dan Tek Ciang kelihatan gembira sekali, lalu pemuda ini kembali menjatuhkan dirinya berlutut.
"Terima kasih, suhu, terima kasih!"
Hwee Li kini tidak lagi ingin melempar pemuda itu ke kursinya. Ia malah bangkit dan menyentuh pundak pemuda itu. "Anak bodoh, apakah engkau masih juga menyebut suhu kepada ayah mertuamu?"
"Tek Ciang, bangkit dan duduklah kembali," kata Suma Kan Lee.
Tek Ciang bangkit dan duduk. Mukanya merah oleh karena malu mendengar ucapan subo-nya tadi, malu akan tetapi girang. Subo-nya yang biasanya bersikap galak itu pun kini bersikap manis kepadanya!
"Suhu dan subo, teecu belum berani lancang merubah sebutan sebelum teecu yakin betul bahwa sumoi akan.... akan mau.... menjadi...." Tek Ciang tidak melanjutkan dan menundukkan mukanya kembali.
Hwee Li saling pandang dengan suaminya. Ucapan pemuda itu seperti mengingatkan dan menyadarkan mereka! Sungguh-sungguh mereka hampir lupa bahwa orang yang bersangkutan bahkan belum tahu. Bagaimana mereka dapat memastikan kalau Suma Hui belum diberi tahu dan belum ditanya pendapatnya?
Membayangkan kemungkinan puterinya menolak, Suma Kian Lee sudah marah. Anak perempuan itu sungguh mendatangkan banyak pusing saja. Petama jatuh cinta kepada keponakan sendiri, ke dua tentunya peristiwa perkosaan itu, dan kalau sekarang sampai menggagalkan segala-galanya dengan menolak perjodohannya dengan Tek Ciang, dia sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya.
"Panggil dia ke sini sekarang juga!" katanya memerintah kepada Tek Ciang.
"Baik, suhu."
Pemuda itu lalu keluar dengan cepat mencari Suma Hui. Dia mendapatkan sumoi-nya itu sedang duduk di ruangan belakang bercakap-cakap dengan Ciang Bun.
"Sumoi, suhu memanggilmu agar menghadap sekarang juga," katanya dengan sikap halus seperti biasa, sama sekali tidak memperlihatkan perubahan sehingga Suma Hui tidak mencurigai sesuatu.
"Ada urusan apakah ayah memanggilku, suheng?"
"Suhu tidak memberi tahu, hanya minta sumoi datang menghadap sekarang juga. Suhu dan subo menanti di ruangan dalam," jawab Tek Ciang dengan suara biasa.
Suma Hui saling bertukar pandang dengan adiknya, mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, lalu bersama Tek Ciang masuk ke dalam. Tadi ia sudah mendengar dari Ciang Bun bahwa ayah ibunya berada di dalam ruangan dalam bertiga saja dengan Tek Ciang, agaknya hendak membicarakan sesuatu yang amat penting sehingga ayahnya memerintahkan Ciang Bun untuk keluar dan tidak memperkenankan siapa pun juga masuk tanpa ijin. Selain itu, Ciang Bun juga menceritakan kepadanya tentang cerita Tek Ciang kepada adiknya itu dan dia dapat melihat bahwa suheng-nya itu memang baik sekali. Dan kini suheng-nya disuruh memanggilnya menghadap orang tuanya!
Agak berdebar juga hati Suma Hui melihat wajah ayah bundanya yang serius, bahkan ibunya kini juga nampak serius dan pendiam sekali, tidak seperti biasa terhadap dirinya. Ia dapat menduga bahwa yang akan dibicarakan tentulah hal yang teramat penting.
"Duduklah di situ, Hui-ji," kata Suma Kian Lee menunjuk ke kursi di samping kiri Tek Ciang. Suma Hui duduk tanpa mengeluarkan kata-kata.
"Hui-ji, ketahuilah engkau bahwa lama sebelum Tek Ciang kuterima menjadi muridku, di antara ayahnya, yaitu mendiang Louw-kauwsu dan aku telah ada perjanjian untuk mengikat keluarga kami berdua dengan perjodohan antara engkau dan Tek Ciang...."
"Ayah....!"
"Dengar dulu!" Ayahnya memotong.
Suma Hui menunduk sebentar, lalu mengangkat muka lagi. Dengan muka pucat akan tetapi sepasang mata menentang, ia memandang ayahnya.
"Hal itu hanya kami berdua yang mengetahui, bahkan Tek Ciang pun baru tadi kuberi tahu tentang perjodohan itu. Memang belum kami resmikan karena tadinya aku hendak menanyakan lebih dulu pendapatmu."
Legalah hati Suma Hui. Kiranya ayahnya tidaklah begitu lancang mengikatkan dirinya menjadi calon isteri orang tanpa bertanya kepadanya.
"Perlu apa dibicarakan lagi, ayah? Hal itu telah berlalu dan kini tak mungkin dilanjutkan!" katanya singkat, dengan maksud agar ayahnya mengerti bahwa setelah dirinya ternoda, mana mungkin ia dijodohkan dengan orang? Hal itu berarti akan mencemarkan nama sendiri karena akhirnya akan ketahuan bahwa ia bukanlah perawan lagi dan tentu akan menimbulkan keributan yang mengakibatkan nama dan kehormatan keluarga Suma tercemar. Sama dengan membongkar dan memperlihatkan aib sendiri.
"Hui-ji, dengarkan baik-baik. Tek Ciang bukanlah orang lain. Selain dia calon suamimu, juga dia adalah muridku yang akan mewarisi semua ilmu keluarga kita. Oleh karena itu, aku pun telah terang-terangan menceritakan kepadanya tentang mala petaka...."
"Ayah....!" Kembali Suma Hui menjerit dan sekali ini mukanya menjadi pucat sekali.
Akan tetapi Suma Kian Lee mengangkat tangan kanan ke atas menyuruhnya tenang. "Tenang dan lapangkan dadamu, anakku. Tek Ciang bukanlah seorang manusia busuk. Dia adalah seorang gagah yang dapat menghadapi kenyataan yang betapa pahit pun juga. Dia tak menyalahkanmu, Hui-ji, manusia keparat itulah yang terkutuk. Tek Ciang memaklumi keadaanmu, dan ia dengan suka rela hati suka menerimamu menjadi calon isterinya dan melupakan hal yang telah terjadi."
"Tidak mungkin....!" kata Suma Hui.
"Hui-ji, ingatlah. Urusan itu telah terlanjur diketahui Tek Ciang dan dengan bijaksana dia mau melanjutkan perjodohan itu. Seharusnya engkau berterima kasih. Bukankah itu merupakan jalan terbaik untuk menghapus noda dan aib dari nama keluarga kita? Bukankah engkau sendiri menolak jalan lain yang kutawarkan kepadamu? Nah, hanya inilah jalannya, bahwa engkau harus menjadi isteri Louw Tek Ciang, seorang isteri yang terhormat."
Suma Hui menjadi bengong, tidak tahu harus berkata bagaimana. Tentu saja ia dapat melihat kebenaran kata-kata ibunya. Noda dan aib pada dirinya akan terhapus kalau ia menjadi isteri terhormat dari seorang pemuda, dan pemuda seperti Louw Tek Ciang bukan pilihan yang buruk. Apalagi bagi seorang yang telah kehilangan kehormatannya seperti dirinya itu!
Tapi.... tapi.... ia mencinta Cin Liong! Bahkan setelah apa yang terjadi, biar pun ia sudah membenci Cin Liong, rasanya tidak mungkin ada pria lain yang menggantikan Cin Liong di dalam hatinya menjadi teman hidup di sisinya.
"Ohh, ibuuuu....!" Ia menubruk pangkuan ibunya dan menangis.
Ibunya merangkulnya, ikut menangis dan membiarkan saja puterinya menangis terisak-isak sampai akhirnya Suma Hui dapat menguasai dirinya. Ia menyusut air matanya, lalu bangkit dan duduk kembali.
"Ayah, ibu.... sebenarnya ada satu saja tersisa cita-cita di dalam sisa hidupku, yaitu membunuh Kao Cin Liong."
"Aku akan membantumu, sumoi!" tiba-tiba Tek Ciang berkata penuh semangat.
Suma Hui menoleh dan memandang kepada suheng-nya atau tunangannya yang duduk di sebelah kanannya itu, lalu mendengus. "Engkau jangan ikut campur urusanku ini!" Ucapannya keluar dengan jengkel mengingat bahwa kepandaian suheng-nya sangat rendah. Ia sendiri saja bukan tandingan Cin Liong, apalagi suheng-nya yang belum ada seperempatnya.
"Hui-ji, jangan bersikap keterlaluan terhadap kemauan baik Tek Ciang," kata Suma Kian Lee menegur puterinya.
"Ayah, dia ini mau bisa apa terhadap Kao Cin Liong? Ayah, dengarkan baik-baik. Ayah dan ibu, pendeknya, aku baru mau menikah dengan Louw-suheng kalau dia sudah bisa mengalahkan aku dalam ilmu silat!"
"Hui-ji....!" ibunya menegur.
"Habis, apakah lebih baik kalau kukatakan saja bahwa aku hanya mau menikah dengan orang yang dapat mengalahkan aku?" balas puterinya menantang.
"Baiklah!" kata Suma Kian Lee. "Akan tetapi ingat, seorang gagah tidak akan menjilat kembali ludahnya sendiri. Engkau sudah berjanji!"
"Saya tidak akan mengingkari janji!" bantah Suma Hui. "Sewaktu-waktu suheng boleh mencoba kepandaiannya kepadaku!"
"Lihat saja nanti. Tek Ciang bukan saja akan dapat mengalahkanmu, bahkan dialah yang kelak akan dapat membalas dendammu terhadap jahanam Kao Cin Liong!"
Akan tetapi Suma Hui sudah lari meninggalkan ruangan itu dan memasuki kamarnya di mana ia menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menyembunyikan mukanya pada bantal.
Hati Suma Kian Lee marah melihat sikap puterinya itu, akan tetapi dia hanya berkata kepada Tek Ciang, "Mulai hari ini, engkau harus mempersiapkan diri untuk mempelajari ilmu-ilmu silat dengan tekun supaya dalam waktu singkat engkau akan sudah dapat melampaui Hui-ji!"
Pada saat Suma Kian Lee mengeluarkan kata-kata itu, muncul Suma Ciang Bun yang tadi melihat enci-nya berlari keluar dari ruangan itu sambil menutupi muka seperti orang menangis. Karena khawatir melihat keadaan enci-nya, pemuda ini nekat lalu memasuki ruangan dan dia masih sempat mendengar ucapan ayahnya kepada suheng-nya itu. Hatinya merasa tidak senang mendengar ayahnya hendak mengajarkan ilmu kepada suheng-nya agar dapat melampaui enci-nya dalam waktu singkat. Apa artinya itu?
"Ayah, apakah yang telah terjadi? Kenapa enci Hui keluar dari sini sambil menangis?"
"Ciang Bun, mulai hari ini, enci-mu telah menjadi tunangan suheng-mu," Suma Kian Lee berkata tanpa menjawab pertanyaan tadi secara langsung.
"Ahhh....?" Suma Ciang Bun tertegun dan bengong karena tidak disangkanya bahwa suheng-nyalah yang akan menjadi suami enci-nya, padahal enci-nya sudah mengalami aib.
Melihat puteranya hanya bengong saja sambil memandang Tek Ciang, Suma Kian Lee menegur. "Bun-ji, di mana sopan santunmu? Sepatutnya engkau menghaturkan selamat kepada calon ci-humu (kakak iparmu)!"
Ditegur demikian, Ciang Bun terkejut dan dia pun cepat memberi hormat kepada Tek Ciang sambil berkata, "Suheng, kionghi (selamat)!"
"Terima kasih, sute," jawab Tek Ciang dengan sikap malu-malu.
Malam itu Suma Hui tak keluar dari kamarnya dan ketika ibunya datang menjenguknya, ia pun tidak mau menemui ibunya, mengunci pintu dari dalam. Ibunya mengerti bahwa hati puterinya itu sedang dalam gundah, dan ia sendiri pun tahu harus bagaimana untuk menghibur hati puterinya. Maka dia pun membiarkannya saja dengan harapan bahwa pada keesokan harinya, setelah kedukaan hati puterinya mereda, dia akan bicara dan menghiburnya.
Akan tetapi, betapa kaget rasa hati Kim Hwee Li dan juga Suma Kian Lee ketika melihat bahwa kamar Suma Hui sudah kosong dan dara itu telah pergi membawa buntalan pakaian, meninggalkan sesampul surat di atas meja. Hanya sedikit sekali tulisan yang ditinggalkan oleh dara itu di dalam suratnya, yaitu bahwa ia pergi untuk mencari dan membunuh Kao Cin Liong. Itu saja!
Suma Kian Lee menjadi marah. "Anak yang tak tahu diri! Sudah ada bintang penolong berupa Tek Ciang dan ia masih bertingkah. Ia mencari Cin Liong mau apa? Apa yang akan dapat dilakukannya?"
"Biar aku menyusul dan membujuknya pulang," kata isterinya.
"Hemm, kau kira mudah mencari anak keras hati itu kalau ia sudah mengambil suatu keputusan untuk melarikan diri? Ke jurusan mana engkau hendak mengejar dan mencarinya? Biarkanlah, ia tentu akan gagal dan akan pulang juga," bantah suaminya dan Hwee Li tak dapat membantah.
Memang dia pun tahu akan kekerasan hati puterinya itu dan seandainya dia dapat mencarinya, hal yang tentu saja sangat sukar karena puterinya sudah pergi sejak semalam, belum tentu puterinya mau dibujuknya untuk pulang.
Kekecewaan demi kekecewaan menimpa suami isteri pendekar itu. Tiga hari kemudian, Ciang Bun juga pergi meninggalkan rumah tanpa pamit dan seperti juga enci-nya, pemuda remaja ini meninggalkan sepotong surat singkat yang menyatakan bahwa dia pergi untuk mencari enci-nya!
Sungguh pun benar Ciang Bun pergi untuk mencari enci-nya, tapi yang mendorongnya pergi bukanlah semata untuk mencari Suma Hui, melainkan karena pemuda ini merasa menyesal dan kecewa bahwa ayahnya telah mencurahkan perhatian sepenuhnya hanya kepada Tek Ciang saja, dan agaknya ayahnya sudah mengambil keputusan bulat untuk mengangkat Tek Ciang menjadi ahli waris ilmu silat keluarga mereka. Hal ini sangat menyakitkan hati Ciang Bun, apalagi ditambah dengan kegelisahan hatinya melihat enci-nya pergi mencari Cin Liong, maka akhirnya pemuda ini pun pergi tanpa pamit, karena kalau pamit tentu tidak akan diperkenankan.
Hati Kim Hwee Li yang merasa kecewa dan berduka ditinggalkan kedua orang anaknya itu dihiburnya sendiri dengan pendapat bahwa memang sudah sepatutnya kalau mereka itu, sebagai pendekar-pendekar muda, meluaskan pengalamannya dengan perantauan. Bukankah ia sendiri di waktu mudanya juga suka merantau dan hidup di alam bebas tanpa pengekangan segala peraturan rumah tangga dan keluarga?
Sedangkan Suma Kian Lee yang merasa kecewa dan marah itu menghibur hatinya dengan mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menggembleng Tek Ciang, calon mantu dan juga pewaris ilmu-ilmunya. Dia menggembleng Tek Ciang mati-matian sehingga pemuda yang memang amat cerdik dan berbakat itu memperoleh kemajuan yang amat cepat.....
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (seri ke 11 Bu Kek Siansu)
Action(seri ke 11 Bu Kek Siansu)