Jilid 38/55

455 2 0
                                    

"Ayah, bagaimana pun juga, aku tidak rela kalau Houw-ji menjadi murid orang she Kam itu! Kalau ayah tidak mau pergi mengambilnya, biarlah aku sendiri yang akan pergi ke sana untuk mengajaknya pulang!" Pek In berkata.

Wanita ini wajahnya pucat sekali dan matanya merah oleh karena banyak menangis. Ia menghadap ayahnya di goa pertapaannya. Dia pulalah yang kemarin dulu mendahului suaminya, menghadap ayahnya dan melaporkan tentang tindakan suaminya yang amat tidak disetujuinya itu. Ayahnya dan pamannya terpengaruh sehingga begitu Hong Bu dan Bi Eng muncul, kedua orang tua ini sudah menghadapinya dengan hati dicekam kemarahan.

Dan kini, setelah Hong Bu pergi bersama Bi Eng, Pek In menghadap ayahnya lagi dan merengek, minta agar ayahnya suka pergi mengambil Sim Houw dari tangan keluarga Kam yang dibencinya.

"Baiklah, memang aku sendiri pun berpikir bahwa Sim Houw harus diajak pulang. Kami ingin menggemblengnya dan kelak dia akan menjadi seorang yang lebih lihai dari pada ayahnya. Dialah kelak yang akan membersihkan nama keluarga kita," jawab kakek itu dengan suara mengandung kekerasan dan ketegasan. "Panggil pamanmu Cu Kang Bu ke sini."

Ketika Cu Kang Bu datang menghadap kedua orang kakaknya, Cu Han Bu berkata bahwa dia dan Cu Seng Bu hendak pergi menyusul Sim Houw dan mengajak pulang anak itu, dan dia memesan agar Cu Kang Bu menjaga lembah baik-baik.

"Akan tetapi, toako. Bukankah Houw-ji telah diserahkan kepada Kam Hong dan yang menyerahkannya adalah ayahnya sendiri?" Cu Kang Bu membantah.

Saudara termuda keluarga Cu ini maklum bahwa kepergian kakaknya itu berarti hanya akan memperdalam permusuhannya dengan keluarga Kam saja.

"Akan tetapi, aku adalah ibu kandungnya, paman! Aku berhak memintanya kembali dan dalam hal ini aku diwakili ayah. Sebagai kakeknya, ayah berhak mewakili aku untuk minta kembali Houw-ji!" Pek In berseru dengan nada suara penuh kemarahan. Ia pun tahu bahwa watak paman ke tiga ini lain, dan dalam banyak hal, Cu Kang Bu condong kepada suaminya.

Cu Kang Bu menggerakkan kedua pundaknya. "Terserah kepadamu. Sebagai ibunya tentu saja engkau berhak mengaturnya. Akan tetapi kalau yang menyerahkan ayahnya, dan yang meminta ibunya, hal itu sama saja dengan membuka borok di muka umum, membuat orang mengerti bahwa ada ketidak cocokan antara suami isteri," kata Cu Kang Bu.

"Sudahlah, sam-te. Kami sendiri tidak mempersoalkan itu, yang kami ingat hanyalah bahwa kalau kita menyerahkan Houw-ji kepada keluarga Kam, sama saja artinya bahwa kita telah merasa jeri dan merasa tidak mampu menandinginya. Penyerahan Houw-ji sama saja dengan tanda takluk. Karena itulah maka aku dan ji-te akan pergi ke sana untuk memintanya kembali."

Cu Kang Bu tidak dapat membantah, hanya merasa prihatin sekali ketika kedua orang kakaknya berangkat meninggalkan Lembah Naga Siluman untuk pergi menyusul Sim Houw dan mengajak anak itu kembali ke lembah. Dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi ketegangan di sana. Dia hanya mengharapkan saja agar kedua orang kakaknya yang sudah belasan tahun bertapa dan berlatih siu-lian itu sekarang sudah memiliki cukup kesabaran untuk menjauhkan pertikaian baru.

Dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu melakukan perjalanan secepatnya. Mereka memiliki cukup bekal untuk membeli kuda yang baik dan melakukan perjalanan dengan membalapkan kuda mereka, ditukar di setiap tempat setelah kuda mereka kelelahan. Karena mereka hanya merupakan dua orang laki-laki setengah tua berpakaian pendeta, maka tidak ada gangguan di perjalanan dan akhirnya, pada suatu siang, tibalah mereka di Puncak Bukit Nelayan, di sebelah selatan kota Pao-ting.

Mereka langsung mendaki bukit itu dengan jalan kaki, meninggalkan kuda mereka di dusun sebelah bawah dan ketika mereka tiba di gedung tua tempat tinggal keluarga Kam, kebetulan sekali saat itu Kam Hong dan isterinya sedang melihat murid mereka berlatih silat yang baru pada taraf gerakan dan geseran kaki membentuk dan merubah kuda-kuda yang dipergunakan dalam Kim-siauw Kiam-sut.

Melihat munculnya dua orang laki-laki setengah tua berpakaian pertapa, Kam Hong dan isterinya memandang penuh curiga, teringat akan mala petaka yang baru saja menimpa keluarganya. Tentu saja mereka merasa curiga karena mereka tidak mengenal siapa adanya dua orang ini yang melihat sinar mata mereka tentu sedang berada dalam keadaan marah.

"Kong-kong....!" Sim Houw menghentikan latihannya, lari menghampiri dan berlutut di depan seorang di antara dua kakek itu dan seketika teringatlah Kam Hong dan Ci Sian siapa adanya dua orang kakek itu. Kiranya dua orang tokoh Lembah Naga Siluman yang dahulu disebut Lembah Suling Emas!

"Aihhh, kiranya ji-wi locianpwe Kim-kong-sian Cu Han Bu dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu yang datang berkunjung!" kata Kam Hong sambil menjura dengan hormat, diturut oleh isterinya.

Dua orang pertapa itu membalas penghormatan Kam Hong dengan sikap kaku, hanya mengangkat dan merangkap kedua tangan di depan dada sebentar saja, kemudian Cu Han Bu berkata dengan lantang.

"Kam-sicu, kami datang untuk menjemput cucu kami Sim Houw dan mengajaknya pulang!"

Suami isteri itu saling pandang dan bersikap waspada. Dari sikap dan nada suara kakek itu saja mereka berdua maklum bahwa dua orang itu datang bukan membawa iktikad baik, melainkan didorong oleh hawa permusuhan yang panas.

"Locianpwe, Sim Houw adalah murid saya dan dia datang dibawa oleh ayahnya sendiri."

"Kam Hong!" kini Cu Han Bu tidak lagi berpura-pura sopan melainkan menurutkan kata hatinya yang panas. "Mana mungkin ada keganjilan seperti ini? Mana mungkin keturunan keluarga Cu berguru kepada orang she Kam? Apakah kau kira kami sudah takluk dan tunduk kepadamu, sudah menganggap kepandaianmu paling hebat di dunia sehingga cucu kami harus menjadi muridmu?"

Ucapan itu sudah bernada menyerang. Kam Hong masih tenang saja, akan tetapi Bu Ci Sian yang memang memiliki watak keras, melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah muka tamunya. "Orang she Cu, dengarkan baik-baik! Bukan kami yang membujuk Sim Hong Bu datang ke sini. Dia datang sendiri bersama puteranya dan mengajukan pinangan kepada puteri kami. Dan adanya puteranya di sini adalah atas persetujuan kedua pihak untuk saling menurunkan ilmu kepada anak kita masing-masing. Kalau kalian datang mencari perkara dan mengajak berkelahi, bilang saja terus terang, jangan memakai kata-kata yang memutar!"

"Eh, siapa takut kepadamu?" Cu Seng Bu juga membentak dan meloncat ke depan. Dia dan nyonya rumah sudah saling berhadapan, seperti dua ekor ayam yang berlagak hendak saling terjang.

Namun Kam Hong maju memegang lengan isterinya dan dengan lembut menariknya mundur, sedangkan Cu Han Bu juga menyentuh lengan adiknya agar adiknya bersabar.

"Kami bukan datang untuk mengajak berkelahi walau pun kami tidak pernah akan mundur apabila ditantang. Kami adalah kakek Sim Houw, dan kami datang mewakili ibu kandung anak itu untuk mengajaknya pulang. Hanya itu saja keperluan kami dan terserah bagaimana kalian menyambut dan menanggapinya!"

Ci Sian hendak menerjang dengan kata-kata lagi, akan tetapi suaminya menyentuh tangannya dan Kam Hong mendahuluinya. " Maaf Cu-locianpwe. Sebagai tuan rumah, tentu saja kami menyambut kunjungan ji-wi locianpwe sebagai tamu dengan hormat dan senang hati. Mari, silakan ji-wi duduk di sebelah dalam dan kita bicara dengan leluasa."

"Tidak perlu, terima kasih. Cukup di sini saja, karena keperluan kami hanya menjemput cucu kami," jawab Cu Han Bu yang masih bersikap kaku.

Kam Hong tersenyum dan menarik napas panjang. "Sesuka locianpwe kalau begitu. Harap ji-wi suka mendengarkan dengan baik-baik. Di dalam urusan Sim Houw menjadi murid saya ini tidak terdapat sesuatu yang buruk dan tercela...."

"Hemm, bagi kami tetap saja buruk kalau ada seorang keturunan keluarga Cu berguru kepada orang she Kam!" Cu Seng Bu memotong.

Kam Hong tetap tersenyum. "Agaknya ji-wi lupa bahwa Sim Houw bukanlah she Cu melainkan she Sim, jadi yang berhak menentukan tentang keadaan dirinya adalah ayah kandungnya, Sim Hong Bu yang menjadi sahabat baik kami. Sim Houw dibawa ke sini oleh ayahnya, dia diserahkan oleh ayahnya sendiri kepada kami sebagai penukar anak kami yang dibawa Sim Hong Bu untuk dididik."

"Jadi jelasnya, engkau tidak mau menyerahkan Sim Houw kepada kami yang menjadi kakeknya? Begitukah?" Cu Han Bu bertanya, nadanya menantang.

"Ada tiga cara untuk mengajak Sim Houw pergi dan kalau satu di antara tiga cara itu terpenuhi, dengan senang hati kami akan melepas Sim Houw pergi. Pertama, karena yang menyerahkan dia kepada kami adalah Sim Hong Bu, maka biarlah Sim Hong Bu sendiri yang datang menjemput dan memintanya kembali. Ke dua, karena anak ini berada di sini sebagai penukar anak kami, maka kalau anak kami dikembalikan, boleh saja kedua anak itu ditukar kembali. Ke tiga, kalau memang Sim Houw yang menghendaki sendiri pergi dari sini, tentu kami pun tidak akan mau menahan atau memaksanya. Nah, kami harap saja ji-wi locianpwe dapat berpikiran luas dan bertindak bijaksana sesuai dengan nama besar ji-wi, dan tidak hanya menuruti nafsu kemarahan sehingga kelak dapat ditertawakan orang gagah sedunia!"

Cu Han Bu dan adiknya adalah orang-orang gagah dan tentu saja mereka dapat menerima ucapan itu dan dapat melihat bahwa Kam Hong sudah bersikap jujur dan adil. Kalau mereka tidak dapat menerima, berarti merekalah yang bo-ceng-li (tidak mengenal aturan) dan mereka akan berada di pihak salah kalau sampai terjadi bentrokan antara mereka.

Akan tetapi, cara pertama menyuruh Sim Hong Bu datang sendiri tidak mungkin, juga cara ke dua menukarkan kembali dua orang anak itu tidak mungkin pula, yang ada hanya tinggal cara ke tiga. Mereka dapat membujuk Sim Houw untuk pulang dan kalau memang Sim Houw mau pulang, keluarga Kam tidak akan mau menahan atau memaksanya. Maka Cu Han Bu lalu menghampiri Sim Houw, mengelus kepala anak itu dan berkata dengan suara halus.

"Houw-ji, cucuku yang baik. Ibumu menyuruh kami menjemputmu dan mengajakmu pulang. Ibumu selalu menangis dan rindu kepadamu, dan kalau kau pulang, aku sendiri yang akan menggemblengmu dengan ilmu-ilmu ciptaanku yang baru, yang tidak akan kalah dibandingkan dengan ilmu yang bagaimana pun. Marilah, kau pamitlah kepada tuan rumah dan ikut kami pulang ke lembah, cucuku."

Sim Houw memang adalah seorang anak yang pendiam, akan tetapi bukannya tidak cerdik. Mendengar ucapan kakeknya, dia tahu bahwa kakeknya hanya membujuknya. Selamanya, belum pernah dia melihat ibunya menangis! Ibunya adalah seorang wanita gagah yang pantang menangis. Mana mungkin kini mendadak ibunya begitu cengeng, menangis hanya karena rindu kepadanya? Dia tidak percaya.

Dan tentang mempelajari ilmu, bukan dia tidak ingin menerima pelajaran ilmu-ilmu sakti dari kakeknya, akan tetapi setelah dia mengetahui untuk apa dan sebab apa dia belajar di bawah bimbingan Pendekar Suling Emas Kam Hong, dia pun tidak mungkin dapat meninggalkan tempat ini tanpa setahu ayahnya. Dia dapat menduga bahwa tentu terjadi pertentangan antara ayahnya dan kakeknya, dan tentu saja dia berpihak pada ayahnya. Sejak kecil, jarang dia bertemu dengan kakeknya, apalagi bergaul karena kedua orang kakeknya yang kini muncul itu selalu bersembunyi di dalam goa pertapaan dan tidak pernah bersikap manis kepadanya.

"Tidak kong-kong," katanya dengan suara tegas. "Aku tidak mau pulang dan akan tetap tinggal di sini."

Wajah Cu Han Bu menjadi merah. "Anak bandel! Berani engkau membantah perintah kakekmu?"

"Kong-kong, aku tidak berani melanggar perintah ayah. Aku akan tetap berada di sini sampai ayah datang menjemputku. Harap kong-kong maafkan!" kata pula Sim Houw dengan suara tegas.

Kakek itu marah sekali, bukan marah karena penolakan cucunya, tetapi marah karena kembali dia merasa dikalahkan oleh Kam Hong. Jari-jari kedua tangannya meregang dan melihat ini, Kam Hong sudah siap-siap untuk melindungi muridnya. Tiba-tiba Cu Han Bu memutar tubuhnya, kedua tangannya bergerak ke arah dua batang pohon yang tadi berada di belakangnya. Mereka memang berada di dalam kebun di mana Kam Hong melatih muridnya.

"Ciutt... ciuuuttt.... brakkk....!"

Dua batang pohon itu tumbang dan runtuh, mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Inilah satu di antara ilmu-ilmu baru ciptaan kedua orang kakek yang sakti itu. Diam-diam Kam Hong kagum sekali. Pukulan tadi memang hebat. Batang pohon yang kuat dan sebesar perut manusia itu sekali pukul remuk dan tumbang, apalagi badan manusia!

Setelah merobohkan dua batang pohon untuk memuntahkan kedongkolan hatinya, Cu Han Bu lalu melangkah lebar pergi dari situ diikuti oleh adiknya. Kam Hong hanya memandang dengan sikap tenang, dan isterinya tersenyum, sementara itu Sim Houw memandang dengan mata terbelalak karena terkejut melihat ulah kakeknya tadi.

"Sim Houw, lihat betapa saktinya kakekmu. Sayang dia pemarah. Kesaktiannya boleh kau tiru, hasil dari pada ketekunan, akan tetapi pemarahnya itu jangan kau tiru. Nah, mulai sekarang belajarlah dan berlatihlah dengan tekun agar kelak tidak mengecewakan keluargamu, juga kakek-kakekmu itu."

Mulai hari itu, Kam Hong menggembleng muridnya lebih tekun lagi dan pemuda remaja itu pun mengimbangi ketekunan gurunya dengan berlatih setiap ada kesempatan. Terjadilah perlombaan antara Kam Hong dan Sim Hong Bu dalam melatih murid masing-masing, seperti juga perlombaan antara keluarga Kam dan keluarga Cu. Akan tetapi bentuk perlombaan antara kedua orang pendekar sekali ini adalah perlombaan yang sehat, yang dapat membawa kemajuan kepada kedua pihak.....

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (seri ke 11 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang