Jilid 25/55

500 4 0
                                    

Tidak mudah bagi Ciang Bun untuk mendapatkan sebuah kamar di rumah-rumah penginapan di kota raja. Pada waktu itu, kota raja sedang dibanjiri pemuda-pemuda dari berbagai penjuru daerah yang datang ke kota raja untuk mengikuti ujian dan mereka ini memenuhi rumah-rumah penginapan. Ujian itu berjalan selama kurang lebih satu bulan karena pengikutnya amat banyak sehingga perlu dilakukan giliran. Dan walau ujian sudah berjalan satu minggu lebih maka kota raja masih penuh dengan para pemuda itu. Di jalan-jalan raya banyak pemuda-pemuda berpakaian sasterawan hilir-mudik sehingga kota raja menjadi semakin ramai.

Karena tidak berhasil mendapatkan kamar di rumah-rumah penginapan yang penuh sesak, terpaksa Ciang Bun lalu mondok di sebuah kuil. Ternyata di sini pun penuh dengan para pemuda pelajar. Mereka terdiri dari para pelajar kurang mampu yang memilih tempat bermalam yang tidak usah bayar atau kalau mengeluarkan uang pun tidak perlu banyak karena biasanya yang menginap di kuil-kuil hanya memberi sekedar sokongan saja kepada kuil itu.

Ketika memasuki ruangan belakang kuil di mana berkumpul belasan orang pemuda pelajar yang datang dari berbagai kota itu, Ciang Bun merasa gembira sekali. Dia merasa kagum kepada mereka yang bersikap lembut dan sopan, wajah-wajah tampan halus yang membayangkan kecerdasan. Dia sendiri merasa bagaikan seekor burung gagak yang masuk di antara kelompok burung merpati. Dibandingkan dengan mereka, pengetahuannya tentang sastera amatlah dangkalnya, dan makin terasa olehnya bahwa dia adalah seorang kasar yang sejak kecil lebih banyak belajar ilmu silat yang kasar!

Ketika Ciang Bun memasuki ruangan, para pemuda itu tengah asyik bercakap-cakap tentang sastera dan tentang mata ujian yang diadakan di kota raja. Mereka hanya menengok sebentar kepada Ciang Bun, lalu melanjutkan percakapan mereka. Dia lalu mencari tempat di sudut yang masih kosong, menurunkan buntalan pakaiannya lalu duduk bersandar dinding ruangan itu.

Seorang pemuda jangkung yang tampan mengangkat mukanya dari buku yang tengah dibacanya dan memandang kepada Ciang Bun, wajahnya membayangkan keramahan dan mulutnya tersenyum. Wajah yang tampan dan menarik, pikir Ciang Bun. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Dia pun lalu balas tersenyum dan mengangguk.

"Maaf," kata pemuda itu, "Saudara baru datang? Dari kota manakah dan kapan mulai mengikuti ujian?"

Melihat keramahan pemuda itu yang mengajukan pertanyaan bertubi-tubi itu, Ciang Bun tersenyum. Dia sendiri seorang pemuda yang tidak bisa banyak cakap, termasuk serius dan pendiam walau pun dia dapat pula bersikap ramah.

"Ya, aku baru saja datang, tempat tinggalku di Thian-cin dan aku tidak mengikuti ujian, melainkan hanya melancong saja ingin melihat-lihat kota raja."

Pemuda itu menutup bukunya dan menyimpannya di dalam buntalan, lalu menggeser duduknya mendekati Ciang Bun. Matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri ketika dia berkata, "Ah, betapa senangnya engkau! Kalau saja aku bisa sepertimu, bebas dan tidak harus banyak menghafal dan mengikuti ujian yang amat sukar ini!"

Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak. "Aihh, mengapa demikian? Justru aku yang merasa kagum dan iri kepada kalian yang memperoleh kesempatan menguji ilmu sastera dan mengikuti ujian kota raja untuk meraih gelar siucai!"

Tiba-tiba pemuda itu tertawa dan wajahnya nampak semakin tampan ketika dia tertawa. "Ha-ha-ha, memang demikianlah kita ini, saudara yang baik! Saling pandang, saling mengiri dan mengira bahwa keadaan orang lebih baik dan menyenangkan dari pada keadaan kita. Aku jadi teringat akan dongeng perumpamaan tentang dua ekor burung. Yang terbang bebas merasa iri hati terhadap seekor burung lain yang hidup dalam kurungan dan siang malam di situ tersedia makanan dan minuman tanpa susah payah mencari dan bebas dari gangguan dan ancaman, dianggapnya kehidupan burung dalam kurungan lebih nikmat dan aman dari pada kehidupannya di luar kurungan. Sebaliknya, burung dalam kurungan merasa iri melihat betapa burung yang lain itu dapat terbang bebas ke tempat mana pun ia suka, tidak seperti dia yang gerakannya terbatas dalam kurungan."

"Akan tetapi kita bukan burung...."

"Ha-ha, apa bedanya? Engkau yang bebas ingin seperti aku, sebaliknya aku yang terikat oleh segala macam buku pelajaran dan aturan ujian tentu saja ingin bebas seperti engkau. Sudahlah, keadaan tidak mungkin dapat dirubah semau kita. Saudara yang baik, perkenalkan, aku she Tan bernama Hok Sim. Bolehkah aku mengetahui namamu?"

"Namaku Suma Ciang Bun," jawab Ciang Bun sederhana, dalam hatinya khawatir kalau-kalau she-nya itu akan memancing banyak pertanyaan.

Akan tetapi, Tan Hok Sim adalah seorang pemuda pelajar, bukan seorang kang-ouw maka she yang akan menarik perhatian kalangan kang-ouw ini, baginya tidak terlalu istimewa.

Perkenalan itu sebentar saja membuat mereka menjadi sahabat yang akrab karena Tan Hok Sim pandai bergaul, ramah-tamah dan agaknya suka kepada Ciang Bun. Ketika mereka bicara mengenai ujian, Hok Sim lalu mengajak Ciang Bun untuk keluar dari ruangan itu menuju ke pelataran belakang kuil yang sunyi.

"Tidak enak bicara di sana," kata Tan Hok Sim. "Yang akan kuceritakan kepadamu ini adalah suatu rahasia. Tentu saja sebagian dari mereka ada yang sudah tahu, akan tetapi kalau sampai terdengar orang luar dapat mengakibatkan hal yang tidak enak pula."

"Rahasia apakah, twako?" tanya Ciang Bun yang menyebut kakak kepada Tan Hok Sim yang tiga empat tahun lebih tua darinya.

"Tentang ujian. Tahukah engkau bahwa ujian itu dikendalikan oleh pembesar yang memperkaya diri secara berlebihan setiap kali diadakan ujian?"

"Tukang korupsi?"

Hok Sim mengangguk. "Betapa pun pandainya engkau, tanpa ada uang sogokan yang amat besar, takkan mungkin dapat lulus! Kecuali kalau di kota raja ini engkau memiliki keluarga yang berpengaruh, baik karena kedudukannya atau hartanya, jangan harap akan dapat lulus."

"Eh, mengapa begitu?" tanya Ciang Bun heran dan penasaran. "Kalau yang pandai tidak diluluskan sedangkan yang bodoh asal bisa nyogok diluluskan, itu namanya bukanlah ujian."

"Memang bukan kepandaian yang diuji, semata-mata melainkan isi kantongnya," Tan Hok Sim menjawab marah.

"Lalu bagaimana dengan engkau, twako?"

"Hemm, aku tidak mempunyai harapan lagi walau pun besok masih akan kulanjutkan mengikuti ujian. Aku yakin akan dapat lulus, walau pun tidak mencapai angka terbaik, kalau saja para penguji tidak hijau matanya oleh uang. Kalau disuruh menyogok, mana aku mampu? Aku belum bekerja, sedangkan ayahku hanyalah seorang guru silat...."

"Ayahmu seorang guru silat!" Ciang Bun berseru kaget dan gembira. "Ahh, kalau begitu engkau tentu pandai ilmu silat!"

"Ahh, pandai sih tidak. Keluarga kami tinggal di Ceng-tao, jauh di barat dan di daerah kami, ilmu silat amat diperlukan untuk berjaga diri. Ayahku seorang guru silat bayaran dan engkau tahu, berapa hasil seorang guru silat. Karena itu maka ayahku setengah memaksa aku dan adik perempuanku untuk lebih tekun mempelajari bun (sastera) dari pada bu (silat). Engkau sendiri, karena tidak banyak mempelajari bun, tentu mahir sekali ilmu silat, bukan?"

"Aku suka merantau dan banyak menghadapi kesukaran di perjalanan, memang pernah mempelajari silat, akan tetapi tidak terlalu tinggi. Twako, sebetulnya, siapakah yang berhak memutuskan lulus tidaknya ujian kota raja itu?"

"Di sana terdapat pengawas-pengawas dan mereka inilah yang harus disogok. Akan tetapi, tentu saja para pengawas itu pun harus menyogok atasan mereka dan orang yang paling berwenang dalam hal ujian itu tentu saja menteri."

"Hemm, tentu menteri bagian kebudayaan atau pendidikan."

"Kurasa begitulah. Akan tetapi mengapa engkau menanyakan hal itu?"

"Mengapa engkau tidak mendatangi saja menteri itu, dan kemudian melaporkan tentang penyelewengan yang dilakukan oleh para pengawas?" tanya Ciang Bun.

Tan Hok Sim membelalakkan matanya. "Wah, mana aku berani? Kalau aku melakukan perbuatan nekat itu, selain tidak mungkin diluluskan, juga aku tentu akan ditangkap, dipenjara atau mungkin dibunuh. Siapa yang akan dapat melindungiku?"

Ciang Bun menarik napas panjang. "Tan-twako, dalam hal ujian ini, yang terhimpit dan dirugikan adalah kalian para pemuda pelajar. Kalau kalian sebagai orang-orang yang terkena ketidak beresan itu diam-diam saja, lalu siapa yang akan mampu memperbaiki keadaan? Kenapa engkau tidak mengajak semua pelajar itu untuk memprotes kepada menteri dan melaporkan kecurangan para pengawas itu?"

Hok Sim menunduk dan mengerutkan alisnya. Ucapan Ciang Bun tadi menggerakkan hatinya. Dia tahu bahwa di dalam hatinya, dalam hati semua pemuda pelajar yang mengalami nasib yang sama, memang ada api pemberontakan itu untuk menentang kecurangan para pengawas, namun siapa yang berani? Para pengawas itu dilindungi oleh pasukan dan menterinya sendiri belum tentu jujur. Bagaimana jika para pembesar itu bersekongkol dan melindungi anak buah mereka?

"Hal itu tidak mungkin dilakukan, adik Bun. Bahkan sebagian besar para pengikut ujian sendiri, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang berada, lebih suka kalau keadaannya seperti sekarang ini. Terus terang saja, aku sendiri kalau mempunyai uang, juga lebih senang mengeluarkan uang dan ujianku lulus, dari pada bersusah payah memeras otak akan tetapi hasilnya belum tentu, bahkan harapannya sedikit sekali."

Ciang Bun diam saja. Dia merasa penasaran akan tetapi dia pun maklum bahwa kegetiran membuat semua pemuda berpendapat seperti Hok Sim itu. Kalau dengan uang dapat lulus dengan mudah, perlu apa repot-repot memeras otak yang akhirnya toh tidak akan diluluskan kalau tanpa uang?

"Kalau begitu, biarlah aku yang akan mengajukan protes itu. Aku tidak ikut ujian maka aku tidak khawatir tidak diluluskan."

Tan Hok Sim memandang dengan mata terbelalak dan dia memegang lengan sahabat barunya itu. "Bun-te, apa yang hendak kau lakukan?"

Ciang Bun tersenyum. "Tenanglah dan tunggu saja hasilnya. Kuharap besok pagi sudah akan ada perubahan. Nah, kau masuklah dulu, twako dan tunggu saja aku di dalam kuil."

Setelah berkata demikian, Ciang Bun meninggalkan sahabatnya yang berdiri melongo, mengikutinya dengan pandang mata heran akan tetapi tidak percaya. Apa yang akan dapat dilakukan oleh pemuda itu terhadap pemerintah? Urusan ujian yang kotor dan bergelimang korupsi itu sudah berjalan puluhan tahun, sepanjang pendengarannya, mana mungkin kini akan dirubah hanya oleh tindakan seorang pemuda seperti Suma Ciang Bun?

Dia sangat mengkhawatirkan pemuda itu. Bagaimana pun juga, sahabat barunya itu menarik hatinya. Dia akan merasa menyesal sekali kalau karena percakapan mereka, Ciang Bun melakukan tindakan yang mustahil dan akhirnya malah akan ditangkap dan dihukum! Dia pun lalu kembali ke dalam ruangan belakang kuil itu, mendekati teman-temannya dan berbisik-bisik menceritakan tentang pemuda kenalan barunya yang aneh itu.

Teman-temannya tentu saja terkejut, ada yang merasa gembira dan penuh harapan, yaitu mereka yang hendak menghadapi ujian dengan pengetahuan mereka saja karena mereka tidak mampu membayar. Ada juga di antara mereka yang tidak senang dan mereka ini adalah pelajar-pelajar yang mengharapkan lulus dengan pengaruh uang atau pengaruh kenalan atau keluarga di kota raja. Apa pun tanggapan mereka, berita tentang seorang pemuda yang bukan pengikut ujian tetapi hendak melaporkan kecurangan para pengawas itu kepada menteri, menjadi bahan percakapan mereka dan menimbulkan ketegangan.....

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (seri ke 11 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang