Memang terjadi pertempuran sengit antara pasukan pemerintah dengan pasukan pilihan yang memang sudah dipersiapkan oleh Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani selama ini, pasukan yang memang sudah bertekad untuk memberontak. Akan tetapi setelah berkelahi setengah malam, pada saat matahari mulai mengusir kegelapan malam, pasukan inti ini pun sudah sebagian besar roboh dan pasukan lainnya menjadi semakin jeri. Ada yang melarikan diri, banyak pula yang melempar senjata menyerah.
Hanya di sana-sini, di sekitar markas itu masih terjadi perkelahian, yaitu di antara para perwira kerajaan yang mengepung Hek-i Mo-ong yang mengamuk. Tiada seorang pun yang kuat menghadapi Raja Iblis ini yang sudah mengamuk dan merobohkan banyak sekali prajurit dan perwira Bhutan. Kini, iblis ini memperlihatkan diri yang sebenarnya.
Dengan tangan kanan memegang sebatang tombak Long-ge-pang dan tangan kiri memegang kipas merahnya, sepak terjangnya menggiriskan sekali sehingga tidak ada prajurit Bhutan berani mendekatinya lagi. Padahal, Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani sudah sejak tadi tertawan dan luka-luka oleh pengeroyokan para perwira Bhutan.
Ketika Wan Tek Hoat mendengar laporan bahwa Phang-sinshe mengamuk hebat dan tidak ada orang berani mendekatinya, dia sendiri lalu mendatangi tempat itu diikuti oleh isterinya. Terkejutlah pendekar ini ketika menyaksikan kehebatan sepak terjang iblis itu. Melihat sepasang senjata itu, teringatlah Tek Hoat akan tokoh besar kaum sesat Hek-i Mo-ong dan sadarlah dia bahwa Phang-sinshe yang lemah lembut itu ternyata adalah penyamaran seorang tokoh besar kaum sesat yang amat keji dan terkenal, yaitu Hek-i Mo-ong!
"Hek-i Mo-ong, kiranya engkaukah ini?!" bentaknya sambil meloncat dekat, diikuti oleh Puteri Syanti Dewi yang kini bersenjatakan sebatang pedang.
Hek-i Mo-ong tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut, katakanlah bahwa usahaku di Bhutan gagal, akan tetapi jangan harap akan dapat merobohkan aku dengan mudah!"
Marahlah Tek Hoat. Sudah lama pedang Cui-beng-kiam tidak pernah dipergunakannya dalam perkelahian. Pedang Cui-beng-kiam (Pencabut Nyawa) yang kini telah dilolos dari sarungnya mengeluarkan hawa yang menyeramkan. Sinarnya membuat orang banyak terpaksa melangkah mundur dengan perasaan gentar. Pedang ini merupakan pedang peninggalan Cui-beng Koai-ong, Raja Iblis dari Pulau Neraka, yang kemudian diwarisi oleh Tek Hoat.
"Hek-i Mo-ong, engkau berani mengacau Bhutan, berarti engkau sudah bosan hidup!"
Sambil mengeluarkan lengkingan panjang yang menyeramkan, Tek Hoat menyerang dengan pedangnya. Pedang Cui-beng-kiam menyambar dahsyat dan nampak sinar berkilauan ketika pedang itu menyambar dengan amat cepat dan kuatnya.
"Cring! Cring! Tranggg....!"
Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua pihak cepat memeriksa senjata mereka masing-masing. Ketika pedang Cui-beng-kiam bertemu dengan tombak Long-ge-pang, Tek Hoat merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat, akan tetapi pedangnya tidak rusak dan sebaliknya, ketika Hek-i Mo-ong memeriksa tombaknya, ujungnya patah dan dia menjadi marah sekali.
Kakek iblis ini maklum bahwa dalam hal tenaga sinkang, dia masih menang sedikit, tetapi senjatanya tidak akan mampu menandingi pedang pusaka itu. Maka kini sambil mengeluarkan bentakan hebat dia pun menerjang dengan dahsyat, menggerakkan tombaknya dan juga kipasnya. Kipas itu mengeluarkan angin dingin, akan tetapi ketika menyambar dekat, berubah menjadi totokan berbahaya yang dilakukan oleh ujung kipas yang runcing.
Tek Hoat cepat mengelak, mengenal serangan yang amat berbahaya itu. Pedangnya juga membalas dengan bacokan yang dapat dielakkan oleh lawan. Saling serang terjadi dan ketika pedang Cui-beng-kiam kembali berkelebat, tiba-tiba pedang itu tertahan oleh tombak yang menggunakan tenaga menempel dari samping, tidak berani beradu tajam. Tek Hoat terkejut ketika merasa betapa kuatnya tenaga sedot yang keluar dari senjata lawan, membuat pedangnya seperti menempel pada besi sembrani.
Selagi dia mengerahkan tenaga untuk membetot dan menarik kembali pedangnya, tiba-tiba terdengar suara mencicit dan dari mulut kakek itu tersembur uap panas seperti api! Itulah Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), ilmu baru yang sedang dilatih oleh kakek iblis itu. Bukan main hebatnya serangan ini. Wan Tek Hoat terpaksa menarik kembali pedangnya dan melempar tubuh ke belakang, lalu menggulingkan tubuhnya menjauh karena dia maklum betapa hebatnya uap yang amat panas itu.
Melihat suaminya didesak, Syanti Dewi mengeluarkan suara melengking nyaring dan tuhuhnya mencelat ke depan. Tahu-tahu pedangnya telah menusuk ke arah leher Hek-i Mo-ong dari samping.
Kakek itu terkejut sekali, tak pernah mengira bahwa puteri itu bisa bergerak secepat itu, bahkan harus diakuinya bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi kecepatan yang bagaikan terbang saja itu! Sukarlah mengikuti gerakan puteri itu dengan pandang matanya, maka dia hanya mengandalkan ketajaman telinganya saja, menggerakkan gagang tombak Long-ge-pang untuk menangkis sambil miringkan leher karena tusukan itu benar-benar amat cepat.
"Tranggg....!"
Tubuh Syanti Dewi terlempar dan hanya dengan ilmu ginkang-nya yang hebat puteri ini dapat menghindarkan diri agar tidak sampai terbanting, yakni dengan berjungkir balik membuat poksai (salto) sampai tiga kali. Puteri itu terkejut, dan Hek-i Mo-ong merasa lega. Biar pun sang puteri itu memiliki ginkang yang luar biasa hebatnya, namun dalam hal tenaga sinkang, tidaklah sekuat Si Jari Maut, sehingga tidak terlalu membahayakan baginya.
Akan tetapi, pada saat itu perlawanan pasukan pemberontak telah hancur sama sekali dan tinggal Hek-i Mo-ong seorang yang melakukan perlawanan. Tentu saja para tokoh Bhutan kini berdatangan membantu Tek Hoat, juga pasukan pilihan Bhutan mengepung kakek itu dengan busur terpentang. Bagaimana pun juga, Hek-i Mo-ong takkan dapat meloloskan diri dari tempat itu, kecuali kalau dia pandai melenyapkan diri atau terbang seperti burung.
Kakek itu pun maklum akan hal ini. Akan tetapi dia adalah seorang datuk kaum sesat, maka dia pun tidak mengenal takut. Hanya dia sudah putus asa untuk dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan hidup, maka dia pun lantas mengamuk dengan senjatanya, menghadapi pengeroyokan banyak orang.
Diam-diam Tek Hoat kagum bukan main. Memang, lawannya ini adalah seorang datuk sesat yang jahat seperti iblis. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang dia bertemu dengan orang yang mempunyai ilmu kepandaian sedemikian hebatnya, juga memiliki kegigihan yang luar biasa. Jika orang dengan watak dan kepandaian seperti ini disertai pula kesetiaan dan kejujuran, tentu akan dapat menjadi tulang punggung sebuah negara yang boleh diandalkan.
Bagaimana pun juga, Hek-i Mo-ong yang sakti itu pun hanyalah seorang manusia, sudah tua pula. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun, maka daya tahannya tentu saja sudah banyak menurun walau pun kepandaiannya semakin matang. Dan dia dikeroyok oleh banyak sekali orang. Terutama sekali desakan-desakan Tek Hoat dan kecepatan Syanti Dewi membuatnya lelah dan gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah.
Akan tetapi, hal ini bukan membuatnya gentar, bahkan sebaliknya dia bahkan menjadi penasaran dan marah.
"Haiiiiiitttt!" Teriakannya disusul gerengan seperti seekor harimau terluka dan tubuhnya membalik, tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya bergerak cepat.
Terdengar jeritan mengerikan. Dua orang perwira Bhutan roboh dan tewas seketika. Akan tetapi pada detik itu juga, pedang Cui-beng-kiam di tangan Tek Hoat menyambar dan nyaris membabat putus leher kakek itu kalau saja dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan sambil membabatkan tombaknya ke seputar dirinya, membuat para pengeroyok terpaksa mundur.
Ketika meloncat bangun lagi, kakek itu mengusap pundaknya yang berdarah. Kiranya pedang Cui-beng-kiam masih sempat menyerempet pundaknya, membabat baju dan sebagian kulit dan daging pundaknya ikut terkupas! Marahlah kakek itu, akan tetapi diam-diam dia pun maklum bahwa saat akhirnya sudah dekat. Kedua tangannya sudah mulai gemetar dan napasnya sudah mulai memburu, apalagi pundak yang terkena pedang Cui-beng-kiam itu terasa panas dan perih, tanda bahwa racun pada pedang itu amatlah ampuhnya.
Melihat ini, Tek Hoat yang merasa kagum itu lalu membentak, "Hek-i Mo-ong, apakah engkau masih belum mau menyerah?"
Tiba-tiba kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha! Sekiranya Giam-lo-ong (Malaikat Maut) sendiri datang, akan kulawan dan aku tidak sudi menyerah, apalagi menghadapi kalian!"
"Siapkan anak panah!" Tek Hoat memberi aba-aba.
Sepasukan pemanah yang telah siap dengan anak panah di busur kini menujukan ujung anak panah ke arah tubuh Hek-i Mo-ong! Akan tetapi, sebelum Tek Hoat mengeluarkan aba-aba terakhir untuk menghujankan anak panah dari jarak dekat kepada kakek itu tiba-tiba terdengar bentakan suara nyaring.
"Tahan! Jangan bunuh dia!"
Semua orang terkejut. Tek Hoat menoleh dan melihat betapa Ceng Liong datang sambil memegang lengan kiri Hong Bwee. Wajahnya berubah pucat dan dia pun cepat sekali membentak, "Tahan semua senjata!"
Syanti Dewi juga melihat bahwa puterinya telah dipegang oleh Ceng Liong dan tahu apa artinya. Ia menjadi marah, hendak bergerak meloncat untuk menyelamatkan puterinya. Akan tetapi lengannya dipegang oleh suaminya yang berbisik agar ia tenang.
"Ceng Liong, apa maksudmu mencegah kami membunuh pengkhianat?" bertanya Tek Hoat dengan suara lantang. Dia mencari kesempatan bagaimana untuk dapat menolong puterinya.
Akan tetapi, puterinya berdiri mepet dengan Ceng Liong dan tangan anak laki-laki itu sudah siap untuk mengirim serangan maut. Hal ini diketahuinya dari cara anak itu memegang tangannya. Yang amat mengherankan hatinya adalah melihat betapa wajah puterinya itu cerah saja, bahkan agak tersenyum seakan-akan tidak sedang dalam ancaman maut.
"Aku minta agar guruku dibebaskan!"
"Tidak mungkin....!" Tek Hoat berseru marah.
"Kutukar nyawa guruku dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!" Ceng Liong berkata lagi, suaranya lantang, sedikit pun dia tidak kelihatan gentar. Matanya penuh kewaspadaan mengerling ke kanan kiri dan kepalanya kadang-kadang menoleh ke belakang, agaknya dia sudah mempersiapkan diri kalau-kalau dibokong dari belakang atau samping.
Mendengar ini, Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. "Jangan ganggu anakku!"
"Aku tak akan mengganggunya, selembar rambutnya pun tidak, asal guruku dibebaskan dan kami berdua dibiarkan pergi meninggalkan tempat ini dengan aman," jawab Ceng Liong tenang.
Tek Hoat saling bertukar pandang dengan isterinya. Mereka berdua merasa bingung sekali melihat sikap Ceng Liong. Bukankah anak itu yang mengkhianati gurunya dan yang melaporkan akan semua pengkhianatan dan rencana pemberontakan sehingga pemberontakan itu dapat digagalkan? Bukankah Ceng Liong pula yang menyelamatkan Hong Bwee, membebaskannya dari tahanan pihak musuh? Mengapa sekarang Ceng Liong berbalik menolong gurunya dan menjadikan Hong Bwee sebagai sandera?
"Ceng Liong, apa artinya ini? Engkau adalah seorang anak yang amat baik dan berbudi, mengapa engkau hendak membela gurumu yang jahat ini? Tidak tahukah engkau bahwa gurumu ini sama sekali bukanlah seorang ahli pengobatan, melainkan seorang datuk kaum sesat yang tersohor dan berjuluk Hek-i Mo-ong? Dosanya terhadap Bhutan sudah bertumpuk, dan engkau masih ada muka untuk berusaha menyelamatkannya dengan mengancam puteri kami?"
"Aku berhutang budi kepadanya dan aku adalah muridnya. Budi adalah budi yang harus dibalas karena aku tidak mau menjadi manusia yang tidak mengenal budi. Aku berhutang nyawa kepadanya, maka aku akan membalas budinya, tidak perduli dia jahat ataukah tidak. Andai kata dia jahat, kalau dia sudah melepas budi kebaikan kepadaku, apa harus kubalas dengan kejahatan? Aku menentang perbuatannya, bukan orangnya. Dan aku berguru ilmu kepadanya, bukan berguru kejahatan."
Jawaban yang keluar dari mulut seorang anak kecil seperti itu mengejutkan hati Tek Hoat dan dia menduga bahwa anak ini pasti bukan anak sembarangan. Akan tetapi, hatinya tetap saja masih merasa tidak rela untuk membebaskan Hek-i Mo-ong begitu saja. Bukankah kakek iblis ini sudah menimbulkan bencana hebat yang mengorbankan nyawa banyak prajurit Bhutan? Dan bukankah kakek ini tetap akan merupakan bahaya besar kalau dibiarkan berkeliaran di kolong langit dan menimbulkan bencana-bencana baru di antara manusia?
"Ceng Liong, aku tidak percaya bahwa kalau kami membunuh Hek-i Mo-ong, engkau akan tega mencelakai Hong Bwee. Hatimu terlalu baik untuk melakukan kejahatan keji itu!" katanya untuk mencoba hati anak itu dan menundukkannya.
Akan tetapi, terkejutlah dia ketika melihat sepasang mata anak itu mencorong seperti mata seekor naga. "Ucapan seorang laki-laki tidak akan ditarik mundur kembali! Apa pun yang akan terjadi, aku harus menyelamatkan guruku. Sekali lagi, aku minta agar nyawa guruku ditukar dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!"
"Ceng Liong, engkau akan ditentang oleh pendapat banyak orang, dan engkau akan dikutuk!" Tek Hoat masih membantah.
"Aku tidak menyandarkan hidupku pada pendapat atau kutukan orang. Orang boleh membenarkan atau menyalahkan aku, akan tetapi semua tindakanku adalah urusanku sendiri, semua akibatnya adalah urusanku sendiri, orang lain tidak turut campur!"
Kembali jawaban ini mengejutkan hati Tek Hoat.
Syanti Dewi yang sejak tadi memandang khawatir, tiba-tiba saja berkata dengan suara tinggi dan nyaring, "Bebaskan Hek-i Mo-ong! Aku menukar nyawanya dengan nyawa anakku!"
Wajah Ceng Liong yang tadinya tegang dan serius itu, kini menjadi cerah dan dia tersenyum lalu menjura ke arah Syanti Dewi. "Aku percaya bahwa ucapan seorang puteri seperti paduka akan ditaati oleh seluruh rakyat Bhutan. Aku minta agar paduka suka menjanjikan kepada kami berdua guru dan murid untuk dapat meninggalkan Bhutan dengan aman."
Syanti Dewi mengangguk dan berkata lagi dengan lantang, "Biarkan Hek-i Mo-ong dan muridnya pergi meninggalkan Bhutan dengan aman. Siapa pun juga dilarang untuk mengganggu atau menghalangi kepergian mereka!"
Ceng Liong melepaskan tangannya dari lengan Hong Bwee, lalu tersenyum kepada anak itu. "Adik yang baik, terima kasih atas bantuanmu yang amat berharga."
Kini anak perempuan itu yang memegang lengan Ceng Liong dan suaranya terdengar sedih, "Ceng Liong, benarkah engkau mau pergi meninggalkan Bhutan? Meninggalkan aku?"
Ceng Liong mengangguk. "Engkau melihat sendiri bahwa aku terpaksa pergi. Kelak kita akan dapat bertemu lagi."
"Benarkah? Engkau takkan lupa kepadaku? Engkau kelak akan mengunjungiku?"
Ceng Liong mengangguk.
Syanti Dewi sekali lompat telah berada di dekat anaknya yang segera dipeluknya dan ia memandang pada Ceng Liong dengan alis berkerut, lalu berkata agak ketus, "Pergilah cepat!"
Ceng Liong menghampiri gurunya. Sejenak mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan Ceng Liong lalu berkata, "Mo-ong, mari kita pergi."
Mendadak Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara menggeram dan menubruk Ceng Liong. Semua orang yang melihat merasa terkejut dan khawatir sekali, mengira bahwa kakek iblis itu akan membunuh murid yang telah mengkhianatinya itu.
Akan tetapi Ceng Liong tenang-tenang saja. Ternyata kakek itu malah memondongnya, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya sambil tertawa bergelak! Suara tawanya menyeramkan hati semua orang, seperti ketawa setan yang menakutkan.
"Ha-ha-ha! Sungguh aneh! Sebentar engkau jadi musuhku, kemudian tiba-tiba menjadi penolongku. Sebentar aku ingin membunuhmu, di lain saat aku ingin memondong dan merangkulmu! Ha-ha-ha, engkau anak luar biasa, dan engkau tepat menjadi muridku. Ha-ha-ha-ha!"
Kakek itu lalu pergi sambil memondong Ceng Liong, menyeret tombak Long-ge-pang sambil tertawa-tawa. Tidak seorang pun berani menghalanginya. Pertama, karena Sang Puteri Syanti Dewi telah mengeluarkan perintahnya, dan kedua kalinya, karena memang mereka semua gentar menghadapi kakek iblis yang amat sakti itu.
Tek Hoat menggelengkan kepalanya, kagum sekali. Seorang kakek yang amat hebat, pikirnya. Dan muridnya itu bahkan lebih hebat lagi.
Peristiwa pemberontakan di Bhutan itu mengguncangkan sendi pertahanan negara kecil itu, maka Bhutan pun tidak mau banyak ribut ketika bala tentara Nepal menyerbu ke Tibet melalui perbatasan antara kedua negara. Asal Nepal tidak melanggar wilayah Bhutan, negara kecil ini lebih baik tinggal diam karena maklum bahwa kekuatan mereka tidak akan mampu menandingi Nepal yang jauh lebih besar.....
![](https://img.wattpad.com/cover/160035028-288-k872231.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (seri ke 11 Bu Kek Siansu)
Action(seri ke 11 Bu Kek Siansu)