Jilid 18/55

684 6 0
                                    

Suma Hui memandang ke sekeliling kamarnya. Meja dan kursi hancur berantakan oleh amukannya. Kasurnya robek awut-awutan. Akan tetapi dia tak perduli. Dia menjatuhkan badannya ke atas pembaringan kayu yang kasurnya telah robek-robek itu, memejamkan matanya dan menahan tangisnya. Tidak, tidak ada gunanya lagi menangis, pikir dara yang keras hati ini. Tidak ada lagi yang perlu ditangisi.

Hidupnya sudah berakhir, kebahagiaannya sudah hancur. Dia harus menuntut kepada Cin Liong, ia akan minta pertanggungan jawabnya. Bagaimana pun juga, ia tak mungkin dapat mencinta Cin Liong lagi setelah pemuda itu melakukan hal yang demikian kejinya terhadapnya. Cintanya sudah lenyap bersama dengan kehormatannya yang direnggut oleh pemuda pujaannya itu. Ahhh, benarkah bahwa cinta antara bibi dan keponakan seperti dia dan Cin Liong itu dikutuk oleh para leluhur, dikutuk oleh Thian sehingga menimbulkan mala petaka yang begini hebat atas dirinya?

Siapa kalau bukan Cin Liong yang melakukan perbuatan keji itu? Suaranya tak dapat dilupakannya. Kelihaian pemerkosa itu pun menunjukkan bahwa Cin Liong orangnya. Akan tetapi, mengapa Cin Liong mempergunakan asap pembius? Apakah agar tidak dikenal? Tetapi, ucapan pemuda itu jelas memperkenalkan dirinya! Apakah dasar dari perbuatan kekasihnya itu? Hanya karena dorongan nafsu birah? Tak mungkin!

Saat mereka berpelukan semalam sebelum pemuda itu meninggalkannya, ia pun dapat merasakan gairah birahi pada diri pemuda itu, namun Cin Liong cepat memisahkan diri. Cin Liong bukanlah seorang pemuda hamba nafsu. Ataukah....?

Suma Hui membuka matanya ketika teringat akan hal itu, dan ia cepat bangkit duduk, mengepal tinju. Apakah pemuda itu melakukan perbuatan keji itu dengan maksud agar ayahnya terpaksa memenuhi tuntutan mereka untuk dapat saling berjodoh? Karena ia sudah dinodai maka ayahnya takkan dapat menolak pinangannya lagi karena aib yang menimpa dirinya takkan dapat tercuci?

"Tidak!" Ia mendesis. "Aku tidak sudi! Lebih baik mati dari pada menjadi isteri seorang yang berhati palsu! Noda ini hanya dapat ditebus dengan nyawa!"

Kemarahannya membuat ia melotot, akan tetapi ia segera membayangkan wajah Cin Liong yang begitu tampan dan sikapnya yang begitu halus dan gagah, dan tak terasa lagi air matanya menetes turun. Sejenak ia membiarkan kekecewaan dan penyesalan menguasai dirinya, akan tetapi kekerasan hatinya segera timbul kembali. Ia bangkit berdiri dan membanting-banting kaki kirinya beberapa kali, kebiasaan yang tak disadari kalau ia sedang marah.

"Kao Cin Liong keparat busuk! Cintaku sudah hancur dan lenyap dan mulai malam tadi, engkau telah menjadi musuhku sampai tujuh turunan!"

Dan ia pun segera membereskan rambut dan pakaiannya, berdandan dengan ringkas, kemudian dengan hati panas seperti dibakar ia melangkah keluar, membawa sepasang pedangnya yang digantungkan di punggung. Hanya satu tujuan memenuhi batinnya, yaitu mencari Cin Liong di rumah penginapan dan membunuhnya kalau mungkin!

"Sumoi....!"

Louw Tek Ciang telah berdiri di depannya. Pemuda itu nampak pucat seperti orang kurang tidur atau orang yang gelisah, akan tetapi tidaklah sepucat Suma Hui. Pemuda itu memandang penuh gelisah ke arah punggung sumoi-nya di mana terdapat sepasang pedang bersilang. Tidak pernah sumoi-nya pergi meninggalkan rumah membawa-bawa pedang.

"Sumoi, engkau hendak pergi ke manakah sepagi ini? Dan engkau membawa pedang.... mau apakah engkau....?"

Suma Hui mengerutkan alisnya, merasa tidak senang dan terganggu, maka jawabnya dengan suara dingin, "Suheng, engkau jaga rumah baik-baik dan jangan mencampuri urusanku. Aku mempunyai keperluan dan tak seorang pun boleh mencampuri." Setelah berkata demikian, ia membalik dan hendak melanjutkan perjalanannya.

"Hui-moi....!"

Suma Hui terperanjat seperti disambar petir, akan tetapi, kemarahannya memuncak mendengar suara Cin Liong. Dengan perlahan ia membalik dan menghadapi pemuda yang baru muncul itu. Melihat wajah pemuda itu juga lesu dan ada tanda-tanda kurang tidur, hati Suma Hui merasa semakin yakin akan kesalahan orang yang tadinya amat dicintanya itu.

"Singgggg....!" Nampak sinar berkelebat dan sepasang pedang telah berada di kedua tangan gadis itu.

"Keparat jahanam Kao Cin Liong, rasakan perbalasanku!" bentaknya.

Dengan kemarahan meluap-luap, Suma Hui langsung menyerang Cin Liong dengan sepasang pedangnya, langsung mempergunakan jurus Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hehat karena ia tahu bahwa yang diserangnya adalah orang yang amat lihai.

"Heiiiiii....!" Terkejut sekali Cin Liong melihat serangan itu. Saking kaget dan herannya, terlambat dia mengelak.

"Crottttt....!"

Pangkal lengan kirinya terkena serempetan pedang. Agaknya tadi dia mengira bahwa gadis itu hanya main-main, maka barulah dia sadar bahwa sesungguhnya kekasihnya itu tidak main-main dan serangan yang ditujukan kepadanya tadi adalah serangan maut!

"Hui-moi.... tahan dulu....! Apa dosaku? Apa salahku? Apa yang terjadi? Kenapa engkau menyerangku, memusuhiku...."

"Penghinaan itu hanya dapat dicuci dengan darah serta ditebus dengan nyawamu, manusia hina dina!"

Kini Suma Hui sudah menyerang lagi dengan lebih hebat karena kemarahannya makin memuncak, seolah-olah melihat darah yang membasahi baju pada pangkal lengan Cin Liong itu mengingatkan ia akan darahnya sendiri dan membuatnya sedih sekali.

"Eh, Hui-moi, nanti dulu....!" Cin Liong menjadi bingung sekali.

"Hyaaaattt.... sing-sing-singgg....!"

Suma Hui menyerang bertubi-tubi. Sepasang pedangnya menjadi dua sinar bergulung-gulung dan menyambar-nyambar mengarah bagian yang berbahaya dari tubuh Cin Liong. Karena panik dan bingung, hampir saja tubuh Cin Liong terbabat dan gerakannya menjadi kacau sehingga dia hanya mampu melempar tubuhnya ke belakang, kemudian bergulingan dengan cepat.

"Hui-moi, aku menuntut penjelasan....!" teriaknya penasaran. "Apa salahku?" Dia sudah berhasil meloncat dan bangkit berdiri lagi.

Akan tetapi, Suma Hui sudah tidak sudi bicara lagi. Pedangnya menyambar lagi dan ia menyerang dengan jurus-jurus pilihan Siang-mo Kiam-sut yang memang hebat bukan main.

Biar pun Cin Liong memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi, namun menghadapi serangan ilmu pedang itu tanpa membalas, tentu saja sangat berbahaya. Dia berloncatan dan menyelinap di antara gulungan sinar pedang, beberapa kali nyaris tubuhnya tercium ujung pedang, bahkan ada beberapa bagian ujung pakaiannya yang sudah robek oleh sambaran pedang yang amat tajam itu.

"Hui-moi, kita bicara dulu....!"

"Engkau atau aku yang harus mampus!" bentak Suma Hui dan ia menyerang terus dengan hebat.

"Sumoi.... sumoi.... sabarlah, sumoi....!" Berkali-kali Tek Ciang juga turut menasehati sumoi-nya. Akan tetapi dia tidak berani melerai karena dia merasa tidak akan mampu menghadapi permainan pedang yang dahsyat itu.

"Sing-singgg.... wuuutttt....!"

Segumpal rambut kuncir dari kepala Cin Liong terkena sabetan pedang dan rontoklah gumpalan rambutnya ke atas tanah. Pemuda ini terkejut sekali. Beberapa sentimeter lagi selisihnya, nyaris lehernya yang putus. Dia melihat bahwa kekasihnya itu sungguh-sungguh dan bahwa pada saat itu bukan waktunya untuk bicara.

Tentu saja kalau dia mau, dia dapat merobohkan Suma Hui dan membuatnya tidak berdaya lalu mengajaknya bicara. Namun dia mengenal watak keras dari kekasihnya itu sehingga kalau dia merobohkannya, hal itu tentu akan menambah gawatnya keadaan karena tentu gadis itu akan menjadi semakin marah. Jalan satu-satunya hanyalah menjauhkan diri dan membiarkan sampai hati gadis itu yang terbakar menjadi agak dingin dan marahnya mereda. Barulah dia akan datang bicara.

"Ahhh, Hui-moi.... Hui-moi....," keluhnya dan cepat dia meloncat ke belakang, berjungkir balik beberapa kali lalu berlompatan jauh melarikan diri.

"Jahanam jangan lari!" Suma Hui membentak, akan tetapi Cin Liong sudah lari dengan cepatnya.

"Sumoi, jangan kejar....!" Tek Ciang juga berlari mengejar gadis itu.

Karena hari telah pagi dan banyak orang di jalan, tentu saja mereka merasa heran melihat orang-orang muda itu berlarian, apalagi dengan ilmu lari cepat. Suma Hui tidak memperdulikan seruan suheng-nya dan ia terus mengejar menuju ke rumah penginapan di mana Cin Liong mondok.

Akan tetapi, ketika ia tiba di situ, ternyata Cin Liong sudah lama pergi membawa bekal pakaiannya. Terpaksa Suma Hui membanting-banting kakinya dan menahan tangis, lalu pulang. Di jalan ia bertemu dengan Tek Ciang yang mengejarnya.

"Sumoi, percuma saja engkau mengejar. Kalau ada sesuatu, dan kalau engkau merasa penasaran kepada Kao-taihiap, laporkan saja kelak kepada suhu. Tentu suhu akan dapat turun tangan. Engkau sendiri kiranya takkan dapat melawan Kao-taihiap yang amat lihai itu."

Suma Hui hanya mengangguk dan berjalan pulang dengan cepat. Hatinya meradang, marah dan penasaran sekali. Jelas bahwa Cin Liong bersalah, kalau tidak, tentu tidak akan melarikan diri. Keparat itu! Hatinya terasa sakit sekali, lebih nyeri rasanya karena ia tahu benar bahwa ia masih tetap mencinta pemuda itu.

Setelah sampai di rumah, Tek Ciang memberanikan diri bertanya, "Sumoi, sebenarnya apakah yang terjadi? Mengapa sumoi begitu marah dan tiba-tiba hendak membunuh Kao-taihiap?"

Suma Hui mengerutkan alisnya, memandang kepada suheng-nya, kemudian berkata, "Louw-suheng, aku harap agar engkau tidak mengajukan pertanyaan itu lagi kepadaku dan tidak menceritakan semua yang terjadi tadi kepada siapa pun juga. Kalau suheng melanggar pesanku ini, aku akan marah sekali!" Setelah berkata demikian, dara itu lalu pergi memasuki kamarnya, meninggalkan Tek Ciang yang memandang bengong.

Semenjak hari itu, Suma Hui jarang bicara, baik terhadap Tek Ciang mau pun terhadap pelayan rumah itu. Bahkan jarang ia menemani Tek Ciang makan, dan lebih sering duduk termenung di dalam kamarnya. Karena kurang makan dan kurang tidur, sebentar saja wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya menjadi kurus. Sang pelayan dan Tek Ciang menjadi prihatin sekali, akan tetapi mereka tidak berani bicara. Terpaksa Tek Ciang selalu berlatih sendirian saja sebab gadis itu sama sekali tak pernah mau menemaninya latihan lagi.

Beberapa pekan kemudian, ketika Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li pulang bersama Suma Ciang Bun, mereka terkejut bukan main melihat Suma Hui yang begitu kurus dan agak pucat. Akan tetapi, begitu melihat adiknya, Suma Hui segera merangkulnya sambil menangis.

"Bun-te.... ahhh, Bun-te, syukur engkau selamat....!" katanya sambil merangkul Ciang Bun yang juga merasa terharu.

Kim Hwee Li mengerutkan alisnya, bukan hanya karena khawatir melihat puterinya begitu kurus, akan tetapi juga jarang ia melihat puterinya yang tabah dan keras hati itu dapat terharu sampai menangis ketika bertemu adiknya kembali.

"Hui-cici, kenapa engkau begini kurus?"

"Engkau kenapakah, Hui-ji?" tanya pula ayahnya.

"Dan mukamu agak pucat," sambung ibunya.

Dihujani pertanyaan oleh ayah, ibu dan adiknya itu, Suma Hui menjawab singkat dan menyimpang, "Tidak apa-apa, ahhh, aku girang sekali melihat engkau selamat, Bun-te. Lekas kau ceritakan semua pengalamanmu sejak kita berpisah, sejak engkau terlempar ke lautan itu."

Suma Hui menggandeng tangan adiknya dan beramai-ramai mereka memasuki rumah. Di pintu depan muncul Tek Ciang yang cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada suhu dan subo-nya. Melihat penghormatan yang amat sopan ini, Suma Kian Lee memandang girang.

"Bangkitlah, Tek Ciang dan mari berkenalan dengan sute-mu. Ciang Bun, inilah murid ayah yang bernama Louw Tek Ciang seperti yang kuceritakan itu."

"Ehh, Tek Ciang, kenapa engkau memakai pakaian berkabung?" tiba-tiba Hwee Li yang waspada itu bertanya.

Ditanya demikian, Tek Ciang yang masih berlutut itu lalu mengusap air matanya yang tiba-tiba membasahi kedua matanya. "Suhu, subo, teecu dilanda mala petaka besar dan mohon petunjuk suhu berdua...."

"Apakah yang telah terjadi, Tek Ciang?"

"Ayah.... ayah teecu terbunuh...."

"Ehhh....? Terbunuh? Siapa yang membunuh ayahmu?" Suma Kian Lee terkejut sekali mendengar ucapan itu.

Tek Ciang merasa tidak enak kepada Suma Hui dan melirik ke arah sumoi-nya, akan tetapi Suma Hui diam saja dan hanya memandang padanya dengan sinar mata kosong.

"Mendiang ayah tewas.... tewas ketika bertempur melawan.... melawan jai-hwa-cat yang berkeliaran di kota ini."

"Ihhh....!" Kim Hwee Li berseru kaget dan penasaran. "Penjahat cabul mana yang begitu berani mengacau di Thian-cin?"

"Suheng, kenapa engkau tidak berterus terang saja? Ayah, Louw-kauwsu tewas ketika dia berkelahi melawan Kao Cin Liong...."

"Heh, bagaimana pula ini?" Hwee Li berteriak. "Kao Cin Liong datang ke sini dan dia berkelahi dengan Louw kauwsu?" Ia memandang tajam kepada Tek Ciang. "Tek Ciang, ceritakan sejujurnya apa yang telah terjadi!"

"Mari kita semua masuk dulu dan bicara di dalam rumah," kata Suma Kian Lee yang dapat menguasai perasaannya dan sikapnya lebih tenang.

Mereka kemudian masuk ke dalam rumah dan mereka semua duduk di ruangan dalam. Dengan sikap ragu-ragu dan kadang-kadang mengerling ke arah Suma Hui, akan tetapi melihat gadis itu diam saja tidak memberi tanda atau memperlihatkan sikap sesuatu, akhirnya Tek Ciang lalu bercerita.

"Menurut ayah, di kota ini ada jai-hwa-cat berkeliaran. Lalu pada suatu malam, ayah bersama dua orang teman yang melakukan penyelidikan, bertemu dengan Kao-taihiap, dan ayah agaknya menyangka bahwa Kao-taihiap adalah jai-hwa-cat itu, maka lalu diserangnya. Tentu saja ayah dan dua orang temannya tak dapat menang dan akhirnya ayah tewas...."

Suma Hui hendak membuka mulut, akan tetapi membatalkan niatnya. Apa perlunya ia membela Cin Liong? Biarlah, biar ayah ibunya menyangka Cin Liong yang membunuh Louw-kauwsu, ia tidak perduli! Dan ia pun tahu mengapa suheng-nya tak menceritakan bahwa ayahnya membunuh diri, bukan tewas dalam perkelahian itu. Tentu pemuda itu merasa malu karena membunuh diri, bukan tewas dalam perkelahian, berarti pengecut.

Suma Kian Lee yang sudah merasa tidak senang kepada Cin Liong karena pemuda itu berani jatuh cinta kepada Suma Hui yang terhitung bibi sendiri, mengerutkan alisnya dan mengepal tinju. "Sungguh tidak patut sekali perbuatan Cin Liong itu! Andai kata dia bukan jai-hwa-cat, mengapa dia harus membunuh Louw-kauwsu yang hanya bertindak untuk menentang kejahatan? Aku pasti akan menegurnya kalau sempat berjumpa dengannya kelak!"

"Hemm, kurasa ada apa-apanya di balik peristiwa itu. Putera Naga Sakti Gurun Pasir itu adalah seorang panglima yang terkenal, dan seorang pendekar perkasa yang sudah membela Pulau Es secara mati-matian. Tidak mungkin kiranya dia begitu sembrono membunuh orang yang tidak berdosa. Ehhh, Hui-ji, mustahil kalau engkau tidak tahu apa-apa tentang peristiwa itu. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi hingga Cin Liong sampai berkelahi serta membunuh Louw-kauwsu?" Dengan sinar mata tajam penuh selidik, nyonya yang cerdik ini bertanya kepada puterinya.

Namun Suma Hui tetap berkeras tidak sudi membela Cin Liong yang dibencinya. "Aku tidak tahu, ibu," jawahnya singkat, lalu dipegangnya tangan Ciang Bun sambil berkata mendesak, "Bun-te, hayo ceritakan pengalamanmu sampai engkau dapat selamat dan dapat pulang bersama ayah dan ibu."

Tek Ciang masih berdebar-debar rasa jantungnya karena khawatir kalau-kalau suhu dan subo-nya mendesak terus sehingga rahasia ayahnya terancam bahaya terbuka tabirnya, lalu bangkit dan menjura dengan hormat. "Sebaiknya teecu mohon diri dan mundur agar suhu, subo dan sute dapat beristirahat dan bercakap-cakap dengan leluasa."

Kian Lee mengangkat tangan dan memandang kepada muridnya itu dengan rasa iba dalam hatinya. Ayah pemuda itu adalah seorang duda, maka sepeninggal ayahnya, berarti pemuda ini yatim-piatu.

"Duduklah saja, Tek Ciang. Engkau dapat dibilang anggota keluarga kami sendiri, maka boleh engkau duduk dan ikut mendengarkan."

Tentu saja ucapan suhu-nya ini membesarkan hati Tek Ciang. Dia pun kembali duduk, namun masih mengambil sikap sungkan-sungkan.

Ciang Bun lalu menceritakan pengalamannya, betapa dia diselamatkan dari lautan oleh kakak beradik Liu dengan kakek mereka sebagai penghuni Pulau Nelayan. Betapa dia kemudian tinggal di pulau itu bersama mereka bertiga, mempelajari ilmu dalam air. Tentu saja dia tidak menceritakan tentang hubungannya yang aneh dengan Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang, hanya menceritakan kebaikan-kebaikan kakak beradik dan kakek mereka itu.

"Setelah merasa bosan tinggal di pulau itu dan sudah mempelajari semua dasar ilmu dalam air, aku lalu meninggalkan pulau itu dan ketika mendarat, aku bertemu dengan ayah dan ibu." Demikian Ciang Bun menutup ceritanya.

"Kebetulan kami bertemu dengan Ciang Bun," sambung Kim Hwee Li. "Padahal kami berdua telah berhari-hari mencari-cari di sekitar pantai namun tidak pernah melihat jejaknya atau mendengar berita tentang dirinya. Siang hari itu, selagi kami berjalan-jalan di pantai dan sudah hampir putus asa, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menggunakan perahu melakukan penyeberangan ke Pulau Es untuk menyelidiki di lautan, muncullah perahu yang membawa Ciang Bun."

Keluarga yang telah berkumpul lagi dengan lengkap itu tentu saja merasa gembira. Akan tetapi Suma Hui seoranglah yang tidak pernah merasakan kegembiraan, walau pun ia berusaha untuk kelihatan gembira. Ibunya telah mendesaknya dan berkali-kali menanyakan sikapnya itu di dalam kamar dengan suara bisik-bisik. Akan tetapi, biar pun terhadap ibu kandungnya sendiri yang biasanya ia menceritakan segala hal yang rahasia sekali pun, sekali ini ia tidak dapat membuka rahasianya. Bagaimana mungkin ia dapat menceritakan bahwa dirinya telah dinodai, bahwa kehormatannya telah dicemarkan, bahwa ia telah diperkosa oleh Cin Liong?

Sikap gadis itu membuat ayah dan ibunya sering kali membicarakannya dalam kamar mereka. "Pasti telah terjadi sesuatu yang dirahasiakan oleh Hui-ji," demikian antara lain Hwee Li berbisik kepada suaminya pada malam hari setelah mereka pergi tidur. "Ia menderita sesuatu."

"Sungguh tidak baik kalau hal itu dibiarkan saja. Tek Ciang telah kehilangan ayahnya, sebaiknya kalau perjodohan antara mereka itu dipercepat. Aku akan memanggil mereka berdua dan menyatakan terus terang bahwa antara aku dan ayah Tek Ciang telah ada persetujuan untuk menjodohkan mereka."

"Suamiku, kurasa kita tidak boleh terlalu tergesa-gesa bicara tentang itu dan memberi tahu kepada Hui-ji. Aku yakin bahwa tentu terjadi sesuatu yang luar biasa antara Hui-ji dan Cin Liong. Hui-ji kelihatan demikian menderita tekanan atau guncangan batin yang hebat. Aku khawatir dia akan jatuh sakit. Hanya kekerasan hatinya saja yang masih mampu mencegah ia jatuh sakit. Maka, kuharap engkau suka bersabar dulu dan jangan sampaikan hal yang belum tentu disetujuinya itu dalam waktu sekarang."

Suma Kian Lee mengerutkan alisnya, tetapi dia pun tidak dapat membantah isterinya. Dia tahu bahwa Suma Hui memiliki kekerasan hati yang sama dengan kekerasan hati isterinya.

"Baiklah, dan aku akan segera mulai menurunkan ilmu-ilmu silat kepada Tek Ciang agar dia dapat cepat menyusul ketinggalannya dari Hui-ji."

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (seri ke 11 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang