Jilid 27/55

430 2 0
                                    

"Bun-te, engkau terlalu lemah. Kenapa engkau tidak hajar saja kedua orang gadis yang tidak tahu malu itu?" Suma Hui menegur adiknya ketika mereka melakukan perjalanan dan di tengah jalan Ciang Bun terpaksa menceritakan persoalannya dengan dua orang gadis tadi.

"Ahh, aku kasihan kepada mereka, enci. Apalagi, Tan Hok Sim begitu baik kepadaku. Kalau aku berterus terang, tentu akan mengakibatkan terputusnya tali perjodohan antara dia dan tunangannya. Pula, aku tidak menganggap mereka yang.... ehhh, suka kepadaku itu sebagai suatu kesalahan, hanya aku yang tidak dapat membalas cinta mereka...."

"Hemmm, engkau memang aneh. Kulihat mereka itu cantik-cantik, kenapa engkau tidak suka dan bahkan bersikap keras kepada mereka?"

"Aku.... aku memang tidak pernah suka kepada gadis-gadis....," Ciang Bun agaknya menemui wadah penuangan perasaannya melalui enci-nya.

"Ehh....! Bun-te, engkau sudah cukup dewasa, perasaanmu tidak pernah suka kepada gadis itu sungguh-sungguh tidak wajar," kata Suma Hui prihatin sambil menghentikan langkahnya, memegang kedua pundak adiknya dan menatap wajah adiknya itu dengan penuh selidik.

Ciang Bun balas memandang dan dia melihat seolah-olah sinar mata enci-nya itu menembus dadanya dan menjenguk ke dalam. Selama ini, dia melihat kelainan pada dirinya dengan penuh kecemasan, menyimpannya sebagai rahasia dan dia tidak berani membicarakannya kepada siapa pun juga. Tetapi kini dia berhadapan dengan enci-nya, satu-satunya orang yang dekat dengan dia, satu-satunya orang yang benar-benar amat disayangnya karena sejak kecil dia bergaul dengan enci-nya siang malam.

Ayahnya dianggapnya terlalu keras dan menakutkan, ibunya terlalu memanjakannya, hanya enci-nya ini yang selalu bersikap terbuka dan jujur. Tiba-tiba saja ada keharuan menyelinap di hati pemuda ini dan seperti bendungan pecah, dia pun menangis terisak!

Bukan main kaget rasa hati Suma Hui. Adiknya ini sejak kecil pendiam dan serius, tak banyak bicara akan tetapi sama sekali tidak cengeng! Belum pernah ia melihat adiknya menangis seperti ini, apalagi sekarang sudah berusia tujuh belas tahun, sudah dewasa! Ciang Bun menangis terisak-isak? Sukar ia membayangkannya, akan tetapi kini hal itu terjadi di depannya.

Tentu saja ia merasa kaget dan juga khawatir dan dirangkulnya adiknya itu, seperti ketika mereka masih kecil dan dituntunnya Ciang Bun, diajak duduk di bawah pohon yang rindang. Tempat itu sunyi tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.

"Bun-te, tenanglah. Ingat, sangat tidak baik seorang pendekar gagah seperti engkau ini menangis. Hapus air matamu dan mari kita bicara secara dewasa. Ceritakanlah apa yang merisaukan hatimu sampai engkau menangis. Aku enci-mu, saudara tunggalmu, aku akan membelamu lahir batin!"

"Enci Hui, tolonglah aku, enci....," Ciang Bun mencoba untuk menghentikan tangisnya. Semua kegelisahan hatinya tumpah pada saat itu melalui air mata dan akhirnya dia merasa dadanya agak lega.

"Hemm, tentu saja aku akan menolongmu, adikku, jika perlu dengan taruhan nyawaku. Nah, ceritakan, apakah masalah itu?"

Ciang Bun mengusap air matanya dan kini dia dapat memandang wajah enci-nya dengan mata agak merah. "Enci Hui, tadi engkau mengatakan bahwa aku tidak wajar...."

"Aihh....! Itu? Aku hanya main-main. Mungkin engkau masih terlalu kekanak-kanakan, tidak biasa bergaul dengan wanita sehingga engkau masih belum dapat menyukai gadis-gadis. Hal itu tidak aneh, kenapa dirisaukan?" Suma Hui tersenyum, merasa lega karena ternyata yang dirisaukan adiknya itu hanyalah persoalan sepele saja.

Akan tetapi Ciang Bun menggeleng kepala. "Bukan, bukan hanya itu, enci. Ketahuilah, memang aku.... ada sesuatu yang tidak wajar kepadaku, di dalam hatiku...."

Suma Hui mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan bertolak pinggang, memandang kepada adiknya. "Hemmm, apa maksudmu, adikku? Ada ketidak wajaran apa dalam hatimu? Engkau sungguh membikin aku heran dan cemas."

"Enci, kalau tidak ada engkau, tentu rahasia ini akan kubawa mati. Kepada ayah dan ibu sendiri aku enggan bercerita. Ketahuilah, memang ada ketidak wajaran di dalam hatiku, ada suatu kelainan yang terasa amat menakutkan hatiku. Sejak dahulu, aku.... aku tidak pernah merasa suka kepada wanita, akan tetapi aku.... aku malah tertarik kepada pria, kepada pemuda...."

"Ehhh....?" Sepasang mata Suma Hui terbelalak dan dia memandang adiknya seperti melihat hantu di siang hari.

"Enci Hui, jangan.... janganlah memandang padaku seperti itu....!" Suma Ciang Bun mengeluh. "Jangan engkau juga menganggap aku seperti setan...."

"Bun-te....!" Suma Hui maju merangkul adiknya dan beberapa lamanya enci dan adik ini saling rangkul dengan hati nelangsa. Suma Hui teringat akan nasib dirinya sendiri dan kini ia melihat adiknya menghadapi masalah yang lebih rumit lagi.

"Bagaimana.... bagaimana bisa begitu....? Aku.... aku tidak mengerti, adikku, sungguh, aku belum mengerti...." Suma Hui meragu. "Mungkinkah itu bahwa engkau.... engkau adalah seorang pria pembenci wanita....?"

"Tidak, enci. Aku sama sekali tidak membenci wanita. Aku kira.... aku akan dapat bersahabat dengan wanita, sahabat baik, seperti aku dengan engkau ini.... akan tetapi, hanya sampai di situ saja. Persahabatan biasa, tidak ada daya tarik menimbulkan gairah birahi. Pendeknya, aku tidak pernah berani melihat wanita, enci, semua wanita hanya kupandang seperti aku melihatmu, seperti saudara, seperti sahabat."

"Apa salahnya dengan itu?" Suma Hui menegas karena ia belum mengerti dan selama hidupnya baru sekarang ia mendengar hal seperti ini.

"Memang tidak salah, akan tetapi.... aku.... aku tertarik oleh pria, oleh pemuda, merasa mesra berdekatan dengan pemuda dan timbul gairah birahiku. Aku.... aku hanya dapat jatuh cinta kepada pemuda, enci...."

"Hehh....?!" Suma Hui terbelalak, melepaskan rangkulannya, lalu mendekat lagi dan menjamah dahi adiknya seperti hendak melihat apakah adiknya tidak sedang terserang demam sehingga mengigau.

Ciang Bun tersenyum sedih melihat enci-nya meraba dahinya. Dengan halus dia menjauhkan tangan enci-nya. "Enci Hui, aku tidak gila.... biar pun kadang-kadang aku sendiri bertanya-tanya apakah aku sudah gila. Tidak, aku belum gila dan mudah-mudahan tidak akan gila. Akan tetapi, aku melihat kenyataan yang menakutkan ini pada diriku. Aku.... aku agaknya mempunyai selera seperti wanita. Tubuhku pria, segala-galanya, akan tetapi seleraku, juga terutama sekali dalam hal selera birahi, aku seperti... seperti wanita...."

"Ahhh....!"

"Enci Hui, jangan ber-ah-eh-uh saja. Tolonglah aku!"

Suma Hui menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah dengan tubuh lemas. Ia merasa tidak berdaya sama sekali, bahkan bingung. "Bagaimana cara aku harus menolongmu, Bun-te?"

"Mungkin ada obat...."

"Kita bicarakan saja dengan ayah dan ibu, minta nasehat mereka...."

"Tidak! Aku akan malu sekali kalau engkau menceritakan hal itu kepada mereka, aku akan lari minggat!"

Gadis itu merasa prihatin sekali sehingga memikirkan keadaan adiknya, ia dapat sedikit melupakan kedukaan hatinya sendiri. Ia kecewa bahwa ia tidak dapat bertemu dengan Cin Liong yang memimpin pasukan menyerbu ke Nepal dan ia merasa nelangsa selama ini. Akan tetapi kini semua keprihatinan hatinya ditujukan untuk Ciang Bun.

"Aku akan bantu memikirkan keadaan dirimu, adikku. Engkau tenang sajalah dan jangan terlalu menyedihi keadaanmu, kelak tentu akan ada jalan baik untukmu. Mari kita pulang dulu, sudah terlalu lama kita meninggalkan ayah dan ibu, tentu mereka merasa cemas dan berduka."

Mereka pun melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan itu mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing selama mereka berpisah. Ciang Bun juga merasa prihatin melihat enci-nya berduka dan kecewa karena belum juga dapat bertemu dengan Kao Cin Liong.

Setelah melakukan perjalanan yang jauh dan memakan waktu yang lama sekali, tanpa ada halangan yang berarti, tibalah kedua kakak beradik ini pada suatu siang di kota Thian-cin, tempat tinggal orang tua mereka! Berdebar juga hati mereka ketika mereka tiba di kota yang mereka kenal sejak kecil ini dan perasaan mereka bercampur aduk ketika mereka melihat rumah mereka dari jauh.

Ada rasa gembira karena hendak bertemu kembali dengan ayah bunda mereka yang sudah lama mereka tinggalkan. Ada perasaan takut-takut karena mereka dapat menduga bahwa ayah mereka tentu akan marah sekali kepada mereka. Ada perasaan terharu karena mereka teringat akan segala peristiwa yang terjadi di tempat tinggal mereka ini. Bagaimana pun juga, akhirnya kampung halaman merupakan tempat yang paling indah di dunia ini.

Pada siang hari itu, sekitar rumah keluarga mereka nampak sunyi. Dengan jantung berdebar tegang, Suma Hui dan Suma Ciang Bun memasuki pekarangan rumah yang amat mereka kenal itu. Seorang pelayan tua yang melihat mereka datang, segera berteriak dan lari masuk ke dalam sambil berteriak-teriak.

"Siocia dan kongcu pulang....!"

Seruan ini membuat tiga orang keluar menyambut. Mereka adalah Suma Kian Lee, Kim Hwee Li, dan Louw Tek Ciang! Sejenak dua orang kakak beradik yang baru tiba itu berdiri saling pandang dengan mereka yang menyambut. Ada keharuan di dalam hati mereka semua.

Suma Ciang Bun memperhatikan ayah ibunya. Ayahnya yang kini berusia kurang lebih lima puluh satu tahun itu kelihatan semakin tua. Agaknya selama kurang lebih dua tahun ini Suma Kian Lee menderita tekanan batin yang membuat wajahnya dihias banyak garis-garis yang dalam, juga rambutnya kini banyak ubannya. Ibunya masih kelihatan muda dan sama saja, masih cantik dan wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar.

Di sebelah ayahnya dia melihat suheng-nya yang tak disenanginya, yaitu Louw Tek Ciang walau pun harus diakuinya bahwa selama dua tahun ini nampak kemajuan pada diri pemuda itu. Tek Ciang semakin tampan dan gagah, nampak lebih matang dan sepasang matanya itu jelas membayangkan kecerdikan dan senyumnya kini terkendali, menunjukkan kematangan!

"Ayah....! Ibu....!" Kakak beradik itu berseru sambil menghampiri ke depan dan memberi hormat.

"Kalian baru pulang....!" Kim Hwee Li meloncat dan merangkul mereka. Sepasang mata ibu yang juga banyak memikirkan mereka ini membasah.

Akan tetapi, Suma Kian Lee tetap bersikap tenang, seolah-olah pulangnya kedua orang anaknya itu tidak mendatangkan perubahan pada hatinya. Memang pendekar ini pandai menyimpan perasaannya yang pada waktu itu penuh dengan kegirangan melihat anak-anaknya selamat dan pulang, juga penuh kemarahan, terutama sekali terhadap Suma Hui.

"Mari kita masuk dan bicara di dalam," katanya dan suaranya begitu datar, membuat hati kakak beradik itu berdebar.

"Sumoi dan sute, selamat datang!" kata Tek Ciang dengan suara gembira dan agaknya dia tidak tersinggung ketika kedua orang kakak beradik itu hanya memandang padanya dan mengangguk tanpa menjawab.

Mereka semua mengikuti Suma Kian Lee yang sudah melangkah lebar menuju ke ruangan dalam yang luas, yang menjadi ruangan duduk atau ruangan keluarga. Tanpa banyak cakap Suma Kian Lee duduk menghadapi meja dan semua keluarganya juga mengambil tempat duduk. Kim Hwee Li duduk di sebelah kanannya, Tek Ciang mengambil tempat duduk agak jauh di belakang, sedangkan Ciang Bun dan Suma Hui duduk di depan ayah mereka dengan muka tunduk.

Keadaan amat hening dan semua orang merasakan keheningan yang mencekam itu. Semua orang tahu bahwa pendekar setengah tua itu dalam keadaan marah sekali. Udara di dalam ruangan itu seolah-olah terbakar panas oleh kemarahan Suma Kian Lee ketika duduk menghadapi kedua orang anaknya dan memandang wajah putera dan puterinya itu bergantian.

Ciang Bun, Suma Hui dan Tek Ciang tidak berani berkutik, menguasai diri sepenuhnya agar jangan mengeluarkan suara. Bahkan Kim Hwee Li yang merupakan satu-satunya orang di dunia yang dapat mencairkan kebekuan dan kemarahan hati Suma Kian Lee, saat itu pun berdiam diri. Isteri ini ikut prihatin dan ia menghormati perasaan suaminya, tahu benar betapa penasaran, marah dan kecewa hati suaminya terhadap anak-anak mereka.

Tiba-tiba pendekar itu mengeluarkan suara dan biar pun kata-katanya tidak kasar atau keras, namun terdengar dingin menyeramkan.

"Hemm, setelah kalian ingat untuk pulang ke rumah sini, apa yang hendak kalian katakan sekarang?"

Suma Hui dan Ciang Bun tidak berani menjawab, tidak berani mengangkat muka karena mereka maklum bahwa ayah mereka itu benar-benar sedang marah sekali.

"Brakkkk....!"

Kian Lee menggebrak meja di depannya sehingga seluruh ruangan itu seperti tergetar. "Kenapa kalian tidak menjawab? Apakah tuli dan bisu? Kalian pergi meninggalkan rumah tanpa pamit, orang tua kalian anggap sampah saja! Begitukah watak anak-anak yang berbakti kepada orang tua? Apalagi engkau, Hui-ji, engkau sebagai seorang anak perempuan sungguh tidak patut pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Kalian ini sungguh hanya dapat membikin susah hati orang tua saja. Begitukah kalian membalas budi orang tua, dengan cara merusak hati kami berdua? Begitukah?"

Suma Hui makin menunduk dan biar pun ia tidak mengeluarkan suara, namun kedua matanya menjadi basah oleh air mata. Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia teringat akan nasib dirinya, akan aib yang menimpa dirinya, akan dendam sakit hatinya terhadap Cin Liong yang belum dapat dibalas. Ia telah pergi tanpa pamit karena hendak membalas dendam, mencari orang yang telah merusak kebahagiaan hidupnya. Tetapi kepergiannya sia-sia, tanpa hasil dan setelah pulang, dimaki-maki ayahnya sebagai anak puthauw (tidak berbakti)!

Hampir semua orang tua mengharapkan agar anak mereka berbakti kepada mereka. Bahkan semenjak kecil, anak-anak ditekankan dan diajar agar berbakti kepada orang tuanya. Berbakti adalah sikap yang timbul dengan sendirinya karena rasa sayang, dan perasaan sayang tidak mungkin dipelajari, tidak mungkin dilatih. Berbakti yang dilakukan karena latihan berarti merupakan suatu sikap yang dipaksakan dan sikap apa pun kalau dipaksakan, berarti palsu.

Sikap berbakti yang dipaksakan bukanlah kebaktian lagi namanya, melainkan penjilatan atau bermuka-muka. Berbakti, menghormati, menyayang, menaruh rasa iba, semuanya itu ada dengan sendirinya apabila terdapat rasa cinta kasih di dalam hati. Kalau ada cinta kasih di dalam hati seorang anak, maka tidak perlu lagi anak itu diajari untuk berbakti dan sebagainya. Sebaliknya, kalau batin si anak kosong dari cinta kasih, maka semua kebaktian yang dilakukannya itu hanyalah palsu belaka, mengandung pamrih dan sama dengan penjilatan.

Orang tua yang mengharapkan anaknya berbakti atau membalas budi, bukanlah orang tua yang mencinta anaknya. Cintanya hanya cinta dagangan, dengan perhitungan untung rugi, memberi hutang dan menagih hutang berikut bunga-bunganya. Cintanya hanya berupa penanaman budi agar kelak dapat memetik buahnya. Cinta macam ini hanyalah cinta nafsu, yang berarti cinta kepada diri sendiri belaka, si anak hanya dijadikan jembatan untuk menikmati kesenangan dirinya sendiri.

Karena itulah, maka cinta seperti ini baru dapat bertumbuh subur kalau si anak dapat menyenangkan hatinya, sebaliknya, begitu si anak tidak menyenangkan hatinya atau malah menyusahkan, cintanya menjadi kabur dan mungkin saja berubah menjadi kebencian. Dan untuk menjamin kesenangan yang hendak direguknya melalui diri si anak, orang tua tidak segan-segan untuk mempergunakan senjata berupa sebutan hauw (kebaktian). Anak yang tidak menyenangkan hatinya disebut puthauw (tidak berbakti atau durhaka) dan pada umumnya di Tiongkok orang-orang paling takut disebut puthauw. Sebutan ini seperti semacam kutukan baginya.

Khong Cu menekankan pentingnya hauw (kebaktian) ini. Akan tetapi pelajaran beliau itu ditujukan untuk orang-orang dalam kedudukannya sebagai anak. Sayangnya, orang dalam kedudukan sebagai anak tidak begitu memperhatikan pelajaran itu, sebaliknya kalau sudah menjadi orang tua, hendak mempergunakan pelajaran itu sebagai senjata agar supaya anak-anak mereka berbakti kepadanya! Berbakti yang tentu saja berarti menyenangkan hatinya! Kita manusia ini memang ingin enaknya saja, dalam segala bidang, bahkan dalam bidang kerohanian atau agama pun, kita mau yang enaknya saja untuk diri kita.

Kalau di dalam batin orang tua dan anak terdapat cinta kasih, maka segala macam pelajaran tentang hauw, tentang penghormatan, tentang kelakuan baik dan sebagainya itu tidak dibutuhkan lagi! Cinta kasih merupakan landasan mutlak bagi semua tindakan, semua sikap dan perbuatan apa pun. Cinta kasih merupakan sinar terang yang akan membuat segala perbuatan menjadi bersih dan suci, tanpa pura-pura, tanpa pamrih demi kesenangan diri sendiri, tanpa harapan untuk dibalas.

Suma Kian Lee adalah seorang pendekar besar, putera mendiang Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es. Namun, dia tetap hanya seorang manusia biasa dengan segala kelemahannya seperti juga kita. Kekeliruan dalam sikapnya terhadap anak-anaknya itu merupakan kekeliruan kita pada umumnya yang kita lakukan seperti dengan sendirinya dan tanpa disadari lagi. Akan tetapi kalau kita mau membuka mata mempelajari batin kita sendiri, mengamati sikap kita terhadap keluarga, terhadap isteri, anak, orang tua, sahabat-sahabat, maka akan nampak dengan jelas segala kepalsuan yang terkandung di dalamnya!


"Hayo jawab, jangan diam saja!" Suma Kian Lee membentak, kemarahannya makin berkobar karena kedua orang anaknya diam saja.

Melihat ayah mereka marah, Suma Hui dan Ciang Bun tidak berani berkata apa-apa. Mereka berdua sudah merasa salah, maka apa lagi yang hendak dikatakan? Akan tetapi, mereka pun penasaran karena biar pun bersalah, mereka sama sekali tidak berniat untuk menyusahkan hati orang tua mereka.

Suma Hui pergi karena didorong oleh dendam sakit hatinya dan dia pergi untuk mencari musuh besarnya. Sedangkan Suma Ciang Bun pergi karena selain hatinya sakit melihat betapa ayahnya telah mengangkat ahli waris ilmu silat keluarga mereka kepada orang lain juga ingin menyusul enci-nya. Mereka bersedia untuk ditegur dan dimarahi, akan tetapi mereka tidak mau minta ampun!

Melihat kemarahan Suma Kian Lee, tiba-tiba Tek Ciang yang sejak tadi mendengarkan tanpa mengeluarkan suara, lalu turun dari tempat duduknya dan menjatuhkan dirinya berlutut menghadap suhu-nya.

"Suhu dan subo, sudilah kiranya suhu dan subo mengampunkan sumoi dan sute, mengingat bahwa usia mereka masih amat muda. Teecu mohon agar suhu dan subo bersabar dan sudi mengampuni mereka."

Suma Hui mengerutkan alisnya dan dengan sinar mata berapi ia memandang kepada pemuda itu, kemudian terdengar ia membentak, "Louw-suheng, siapa membutuhkan pembelaanmu? Aku tidak ingin dikasihani dan sungguh engkau lancang mencampuri urusan orang!"

"Hui-ji....!" Suma Kian Lee bangkit dari tempat duduknya dan memandang kepada puterinya dengan mata bersinar-sinar. "Tidak patut sekali sikapmu ini! Suheng-mu telah memperlihatkan sikap yang amat baik, mintakan ampun untukmu dan engkau malah berani mengeluarkan ucapan yang kasar itu. Sungguh tidak mengenal budi! Pula, dia adalah suheng-mu dan calon suamimu!"

Kalau tadi ketika dimarahi ayahnya Suma Hui diam saja, kini mendengar ucapan ayahnya itu tiba-tiba ia membantah dengan suara yang cukup lantang. "Ayah, dia bukan calon suamiku!"

Suma Kian Lee terkejut juga mendengar bantahan yang lancang itu dan diam-diam Kim Hwee Li tersenyum di dalam hatinya. Itulah puterinya dan dia bangga melihat sikap puterinya! Wanita ini memang paling tidak suka melihat kelemahan karena ia sendiri adalah seorang wanita yang keras hati dan penuh keberanian, selalu kagum melihat kegagahan.

Akan tetapi Suma Kian Lee mengerutkan alisnya dan sejenak dia beradu pandang mata dengan puterinya. "Bagus sekali! Apakah engkau sudah lupa akan janjimu sebelum engkau pergi? Engkau bilang bahwa engkau mau menjadi isteri Tek Ciang kalau dia dapat mengalahkanmu dalam ilmu silat. Nah, apakah engkau sekarang hendak menjilat ludah kembali seperti seorang pengecut?"

Suma Kian Lee sengaja menyentuh hal ini karena dia memang sudah mengenal watak puterinya. Suma Hui, seperti juga Kim Hwee Li, merupakan seorang gadis yang paling pantang dikatakan pengecut. Seorang wanita gagah seperti Suma Hui atau ibunya itu lebih baik mati dari pada menjadi pengecut! Maka, mendengar ucapan ayahnya, Suma Hui meloncat bangun dari tempat duduknya dan memandang kepada Tek Ciang.

"Aku tidak akan mengingkari janjiku. Louw Tek Ciang, kalau engkau memang ada kepandaian, mari kau coba robohkan aku!" Dara itu langsung menantang dengan suara geram. Dalam kemarahannya ia tidak menyebut suheng kepada pemuda itu melainkan langsung menyebut namanya begitu saja.

Wajah Tek Ciang berubah merah akan tetapi dia masih pandai bersikap merendah.

"Aih, sumoi, mana aku berani....?"

"Ucapan seorang gagah takkan diingkarinya sendiri. Hui-ji sudah mengucapkan janjinya dan kini tantangannya. Hayo kalian selesaikan ketentuan urusan ini di lian-bu-thia!" kata Suma Kian Lee sambil melangkah menuju ke ruangan silat.

Dengan langkah tegap dan muka merah karena marah Suma Hui melangkah mengikuti ayahnya. Barulah Tek Ciang melangkah perlahan dengan sikap ragu-ragu dan sungkan-sungkan. Di belakangnya, Kim Hwee Li dan Ciang Bun juga turut berjalan memasuki lian-bu-thia.

Ciang Bun yang melihat ayahnya membersihkan ruangan bermain silat itu, kemudian membantunya. Ruangan itu cukup luas sebab memang sengaja dibangun untuk berlatih silat.

Kini Suma Hui sudah berdiri tegak di tengah-tengah ruangan. Setelah mengikatkan sabuknya lebih erat, dara ini berdiri dengan dua kaki terpentang dan sikap menantang. Sebaliknya, Tek Ciang bersikap hati-hati dan ragu-ragu. Dia melepaskan jubah luarnya dan ternyata di sebelah dalamnya, dia sudah siap dengan pakaian ringkas sekali dan dalam pakaian itu dia nampak gagah dan tampan. Pemuda ini memang pandai sekali berdandan.

Tentu saja diam-diam Ciang Bun mengharapkan enci-nya akan menang karena dia sendiri pun tidak setuju kalau enci-nya menjadi isteri orang ini. Akan tetapi, Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li berpikir lain. Suami isteri ini tahu bahwa selama dua tahun menerima gemblengan, Tek Ciang telah memperoleh kemajuan pesat sekali.

Anak itu memang berbakat dan cerdik sehingga ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es dapat diserapnya dan dapat dilatihnya dengan baik. Bahkan dia telah mempelajari dua ilmu inti dari Pulau Es, yaitu Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang. Walau pun kedua ilmu ini belum dapat dikuasainya dengan baik dan dia masih kurang latihan, namun dia sudah mampu mempergunakannya dan tenaganya cukup hebat!

Tentu saja suami isteri pendekar ini sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa selain menerima gemblengan ilmu dari Suma Kian Lee, diam-diam Tek Ciang juga menerima dan mempelajari ilmu-ilmu dari Jai-hwa Siauw-ok!

Suma Hui tidak mau membuang-buang banyak waktu lagi. Begitu melihat Tek Ciang melangkah masuk ke ruangan dan menghampirinya, ia lalu mengeluarkan bentakan nyaring, "Lihat serangan!" dan tubuhnya sudah meluncur maju dan ia sudah mengirim serangan kilat yang cukup hebat.

Melihat datangnya serangan, Tek Ciang cepat mengelak. Akan tetapi, Suma Hui terus menghujankan serangan dan mainkan Ilmu Silat Toat-beng Bian-kun (Silat Kapas Pencabut Nyawa). Ilmu silat ini diwarisi Suma Kian Lee dari mendiang Lulu, ibunya dan merupakan ilmu silat yang gerakan-gerakannya halus akan tetapi di balik kehalusan itu mengandung jurus-jurus mematikan. Tek Ciang sudah mempelajari ilmu silat ini, maka dia pun dapat menghadapinya dan mengelak ke sana-sini sambil kadang-kadang menangkis.

Lewat tiga puluh jurus, Tek Ciang hanya menangkis dan mengelak saja tanpa pernah membalas. Tetapi diam-diam Suma Hui terkejut juga karena tenaga yang ia kerahkan dengan tenaga sinkang Pulau Es seperti Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, dapat ditangkis oleh pemuda itu dan ia merasa betapa lengan yang ditangkis menjadi tergetar dan agak nyeri, tanda bahwa tenaga pemuda tidak kalah kuat olehnya!

Suma Hui merasa penasaran dan ia pun merubah-rubah ilmu silatnya, namun ilmu silat apa pun yang dikeluarkannya, dapat dihadapi dengan baik oleh Tek Ciang. Hanya kadang-kadang saja, kalau sudah terlampau terdesak, Tek Ciang terpaksa membalas serangan, hanya untuk membuyarkan desakan Suma Hui saja.

"Tek Ciang, jangan main-main! Balas serang!" Tiba-tiba Suma Kian Lee berseru, tidak sabar melihat ulah Tek Ciang yang banyak mengalah itu.

Tek Ciang terkejut dan dia pun tidak berani membantah. Kemudian mulailah dia balas menyerang. Suma Hui melindungi dirinya dan berusaha membalas, namun ternyata kini gerakan Tek Ciang cepat sekali sehingga ia tidak memperoleh waktu untuk membalas. Maka segera ia terdesak hebat oleh pemuda itu.

Agaknya Tek Ciang memang tidak mau mengalahkan Suma Hui, atau tidak ingin membuat malu gadis itu. Pemuda ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa Suma Hui masih belum mau tunduk kepadanya, maka dia pun ingin menundukkan hati gadis itu dengan sikap baiknya. Kalau dia secara langsung mengalahkan gadis itu, mungkin gadis itu akan menjadi semakin penasaran dan bahkan mungkin akan membencinya.

Maka, dia bersikap cerdik dan tidak mau terlalu mendesak, membiarkan pertandingan itu berjalan seru dan seimbang. Padahal, kalau dia mau, tidak terlalu sukar baginya untuk mengalahkan Suma Hui karena selain telah mewarisi ilmu keluarga gadis ini, juga dia telah digembleng oleh gurunya yang lain, yaitu Jai-hwa Siauw-ok yang juga lihai sekali.

Memang Tek Ciang sangat cerdik. Sikapnya yang banyak mengalah itu setidaknya telah membuat Suma Kian Lee semakin suka kepadanya. Bahkan seorang wanita yang amat cerdas seperti Kim Hwee Li juga kena diakali dan kini wanita ini tidak lagi begitu tidak suka kepada Tek Ciang yang selalu bersikap baik, jujur dan halus. Apalagi menyaksikan pertandingan ini, diam-diam Kim Hwee Li harus mengakui bahwa Tek Ciang benar-benar mengalah dan hal ini dianggapnya sebagai tanda cinta pemuda itu kepada Suma Hui.

Ciang Bun sendiri menggigit bibir dan mengepal tinju. Dia maklum bahwa tingkat kepandaian Tek Ciang kini sudah amat hebat, lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian enci-nya dan dia dapat menduga bahwa tentu enci-nya akan kalah dan akan terpaksa menjadi isteri Tek Ciang.

Tetapi, tiba-tiba terjadi perubahan dalam perkelahian itu dan Kim Hwee Li mengeluarkan seruan tertahan. Mendadak Suma Hui merubah gerakannya dan Tek Ciang nampak terkejut dan bingung, lalu berbalik terdesak!

Kiranya kini gadis itu memainkan Ilmu Cui-beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Pengejar Roh)! Ilmu ini adalah ilmu silat istimewa terdiri dari delapan jurus yang dimiliki Kim Hwee Li dan telah diturunkan kepada puterinya. Tentu saja Tek Ciang belum pernah mempelajari ilmu ini dan tidak mengherankan kalau dia merasa bingung karena ilmu itu, biar pun hanya delapan jurus banyaknya, akan tetapi merupakan ilmu silat tinggi pilihan.

Kim Hwee Li memperoleh ilmu silat yang sakti itu dari mendiang Dewa Bongkok dari Gurun Pasir! Apalagi kini dimainkan oleh Suma Hui yang bersemangat penuh untuk merobohkan lawan. Tek Ciang segera terdesak mundur dan hampir terkena pukulan sampai dia terhuyung. Melihat betapa lihainya ilmu silat yang dimainkan Suma Hui, Tek Ciang tidak ingin kalah dan tiba-tiba dia pun menggerakkan tubuh lebih cepat lagi, tangannya mencengkeram ke arah leher Suma Hui!

Suma Kian Lee sendiri sampai mengerutkan alis. Jurus apa yang dimainkan muridnya itu? Demikian keji dan tak tahu malu kalau dipergunakan menyerang lawan wanita. Tangan kanan Tek Ciang mencengkeram ke arah leher sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada! Juga Kim Hwee Li terkejut dan heran.

Akan tetapi, Tek Ciang yang tadi tanpa disadarinya memainkan jurus dari ilmu silat yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok, segera tersadar ketika Suma Hui mengeluarkan seruan kaget. Betapa bodohnya dia, pikirnya dan cepat dia merubah gerakannya, kini menggunakan jurus dari Ilmu Silat Hong-in Bun-hwat melanjutkan cengkeramannya menjadi totokan dan tangan kanan yang tadi mencengkeram ke arah leher digerakkan ke atas dan tahu-tahu tusuk konde Suma Hui telah dapat dicabutnya!

"Hyaaaattt....!"

Suma Hui marah sekali dan menendang. Tetapi sekali ini Tek Ciang memperlihatkan kelihaiannya. Dia tidak mengelak ke belakang menghadapi tendangan itu, sebaliknya dia malah maju dan memiringkan tubuh, tusuk kondenya dipakai menotok atau menusuk ke arah lutut yang menendang. Melihat ini, Suma Hui menahan tendangannya dan inilah yang dikehendaki Tek Ciang karena secepat kilat tangan kirinya menyambar ke depan dan.... sepatu kaki yang menendang itu pun copot, terampas oleh tangan kiri Tek Ciang.

Suma Hui terbelalak dan menubruk ke depan, tangan kirinya dikepal menghantam dada lawan. Tek Ciang yang sudah berhasil merampas tusuk konde dan sepatu, yang berarti menang mutlak, menyambut pukulan ke dadanya itu sambil tersenyum. Dia sama sekali tidak mengelak atau menangkis.

"Dukkk....!"

Tubuh Tek Ciang terjengkang. Ketika dia bangkit kembali, bibirnya berdarah. Agaknya, biar pun dia telah menggunakan sinkang untuk menahan pukulan itu, tetap saja getaran pukulan membuat dia menderita sedikit luka di dalam tubuhnya. Akan tetapi dia tetap tersenyum dan menghampiri Suma Hui sambil berkata,

"Engkau semakin lihai saja, sumoi. Maafkan aku!" Dan dia menyerahkan kembali sepatu dan tusuk konde.

Suma Hui menerimanya dengan renggutan, lalu mengenakan sepatunya.

"Hui-ji, apakah engkau masih tidak mau mengaku kalah?" Suma Kian Lee menegur puterinya.

Suma Hui bukan anak kecil, bukan pula bodoh. Sepatu dan tusuk kondenya terampas lawan, itu berarti kalah mutlak. Ia pun tahu bahwa pukulannya yang mengenai dada Tek Ciang tadi adalah pukulan yang sengaja diterima pemuda itu untuk 'memberi muka' kepadanya.

"Sudahlah, aku mengaku kalah!" katanya dengan suara lirih.

"Dan engkau tidak mengingkari janji, mau berjodoh dengannya?" ayahnya mendesak.

"Terserah kepada ayah sajalah, aku hanya mentaati ayah."

Setelah berkata demikian, tanpa menoleh kepada Tek Ciang, Suma Hui kemudian lari meninggalkan ruangan itu, langsung masuk ke kamarnya dan membanting tubuhnya di atas pembaringannya lalu menangis terisak-isak, menutupi muka dengan bantal untuk menyembunyikan tangisnya.

"Enci...."

Suara halus Ciang Bun dan sentuhan lembut pada pundaknya membuat Suma Hui semakin terharu dan tangisnya semakin mengguguk. Ciang Bun duduk dengan muka pucat dan alis berkerut, membiarkan enci-nya menangis sepuasnya. Setelah enci-nya dapat menenangkan hatinya, dia pun berbisik.

"Enci Hui, kalau engkau tidak suka menjadi jodohnya, jangan memaksa diri. Tolak saja, jangan mau!" Ciang Bun berkata dengan penasaran dan merasa kasihan sekali kepada enci-nya.

Suma Hui bangkit duduk dan menarik napas panjang. Setelah isaknya terhenti dan ia dapat menguasai kembali hatinya, ia berkata, "Adikku, sekali ini tidak mungkin aku mengelak. Mau tidak mau aku harus mentaati perintah ayah dan rela menjadi isteri Louw Tek Ciang."

"Hemm, mengapa begitu, enci? Apakah alasanmu?"

"Pertama, sudah banyak aku membikin susah hati ayah dan ibu dan aku tidak mau lagi mengulanginya. Ke dua, aku tidak mau kalau sampai orang tuaku melanggar janji kepada keluarga Tek Ciang. Ke tiga, aku sendiri mana sudi menjilat ludah, aku harus berani mempertanggung jawabkan semuanya dan memenuhi janjiku. Ke empat, aku sudah tidak mempunyai ikatan hati dengan siapa pun. Engkau tahu betapa benciku sekarang kepada orang yang pernah kucinta. Ke lima, aku bisa minta bantuan Tek Ciang dalam menghadapi si keparat Cin Liong karena sekarang ilmu kepandaiannya sudah memperoleh kemajuan hebat. Dan ke enam, melihat sikapnya tadi, betapa dia mengalah, harus diakui bahwa sesungguhnya Tek Ciang berhati baik."

Ciang Bun mengangguk-angguk. "Terlalu baik, dia itu.... terlalu baik....!"

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (seri ke 11 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang