Jilid 49/55

439 3 0
                                    

Kui Lok yang semenjak tadi mengerahkan sinkang untuk melawan suara itu, memungut pedang suheng-nya, menyambar tubuh itu dan memanggulnya.

"Locianpwe, maafkan kami....!" katanya terengah-engah.

Dia pun lalu melarikan diri sambil memanggul tubuh Tek Ciang. Mukanya pucat sekali, keringatnya bercucuran dan kedua kakinya menggigil. Hampir dia tidak kuat menahan, dan dia memaksakan diri lari meninggalkan tempat itu, diiringkan dua suara suling dan suara senandung itu. Untung baginya suara itu menghilang, tidak mengejarnya lagi dan ketika tiba di sebuah lapangan rumput di kaki bukit, Kui Lok tidak kuat lagi, roboh bersama Tek Ciang yang dipanggulnya dan dia pun pingsan!

Sementara itu, keluarga Kam dan murid mereka itu bangkit berdiri. Wajah Bu Ci Sian berwarna merah dan sepasang matanya berkilat. "Aku ingat sekarang! Pemuda pendek itu, bukankah dia yang dahulu datang menyerbu bersama Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok? Benar, dialah orangnya!"

Kam Hong seperti diingatkan. Tadi dia sudah merasa bahwa wajah pemuda itu tidak asing baginya. "Ahhh, benar. Dia murid Jai-hwa Siauw-ok dan agaknya dia merupakan cucu murid Ngo-ok yang mewarisi ilmu-ilmu Lima Jahat itu. Akan tetapi, bagaimanakah cucu murid Ngo-ok dapat menguasai pula ilmu-ilmu dari Pulau Es semahir itu? Dan dia pun jelas menguasai ilmu silat dari Lembah Naga Siluman! Bahkan kini datang mewakili keluarga Cu untuk menandingi kita."

Bu Ci Sian mengerutkan alisnya. "Jelaslah bahwa keluarga Cu telah mencari dua jago muda itu, yang seorang malah murid Kun-lun-pai. Dua orang itu agaknya mereka didik untuk kemudian menjadi utusan mereka, mewakili mereka untuk menyerbu ke sini. Kita harus tangkap mereka!" Nyonya ini hendak melakukan pengejaran, namun suaminya mencegah.

"Tidak perlu dikejar. Mereka itu hanya utusan yang diperintah untuk menandingi kita, untuk mengalahkan aku. Kini mereka kalah dan melarikan diri, tidak ada alasannya untuk dikejar lagi."

"Akan tetapi, mereka itu datang dari Lembah Naga Siluman dan aku khawatir sekali akan keadaan anak kita di sana. Bukankah Bi Eng berada di sana. Lalu apa yang terjadi dengan anak kita itu kalau keluarga Cu masih memusuhi kita?"

Kam Hong menarik napas panjang. "Melihat bahwa tiga tahun yang lalu, dua orang locianpwe she Cu itu datang ke sini untuk mengajak pulang Houw-ji, kurasa Bi Eng tidak tinggal di sana. Tentu terjadi pertentangan antara saudara Sim Hong Bu dan keluarga Cu. Dan aku yakin bahwa saudara Sim tentu bertanggung jawab atas keselamatan anak kita. Bahkan sekarang waktu tiga tahun yang kita janjikan dengan dia sudah lewat, kurasa tidak lama lagi tentu dia akan datang memberi kabar."

Seperti biasa, Bu Ci Sian tunduk kepada keputusan suaminya dan walau pun hatinya mendongkol, namun ia bersabar dan mereka bertiga menanti berita dari Sim Hong Bu. Tentu saja mereka mempertajam kewaspadaan semenjak terjadi peristiwa itu agar pihak lawan yang berniat buruk tidak dapat mempergunakan kecurangan untuk mengganggu mereka.

Tek Ciang dan Kui Lok tidak lama jatuh pingsan di lapangan rumput itu. Ketika sadar kembali, Tek Ciang yang menderita luka dalam cepat duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni, mengobati luka di dalam dadanya sendiri. Kui Lok bersila di sampingnya, memulihkan tenaganya. Setelah rasa nyeri dalam dadanya mereda, Tek Ciang menarik napas panjang dan menyeka darah yang mulai mengering di sudut bibirnya.

"Keluarga iblis Kam yang keparat!" dia memaki gemas.

Kui Lok memandang kepada suheng-nya dengan alis berkerut. "Suheng, tahanlah rasa penasaran dan kemarahanmu itu. Aku sendiri merasa malu sekali terhadap keluarga Kam. Jelaslah betapa kita kelihatan jahat dan rendah dibandingkan dengan mereka. Kalau mereka menghendaki, betapa mudah bagi mereka untuk membunuh kita. Tadi, baru dengan suara suling saja mereka mampu mengusir kita dan membuat kita tidak berdaya sama sekali."

Tek Ciang mengepal tinjunya. Tentu saja hatinya semakin penasaran dan dendamnya menebal. Dulu, ketika dia menyerbu bersama Jai-hwa Siauw-ok, dia sudah kalah dan terluka oleh keluarga Kam. Sekarang, setelah lewat tiga tahun dan digembleng ilmu oleh keluarga Cu, masih saja dia kalah dan kembali terluka. Sungguh memalukan dan menggemaskan.

"Aku masih belum mau menerima kalah! Sute, kita telah menerima budi besar keluarga Cu selama tiga tahun. Kalau untuk membalas budi itu mereka hanya minta kita untuk mengalahkan Kam Hong, kini sebelum hal itu terlaksana, mana kita ada muka untuk berjumpa dengan kedua orang suhu kita? Aku masih merasa penasaran. Kalau kita mengeluarkan semua ilmu kita, belum tentu kita kalah. Kita tadi hanya kalah oleh suara suling mukjijat itu."

"Janganlah terlampau membesarkan kepandaian sendiri dan meremehkan kemampuan orang lain, suheng. Aku tahu bahwa kepandaian yang kau dapat dari pendekar keluarga Pulau Es amatlah hebat. Akan tetapi harus diakui bahwa keluarga Kam itu pun memiliki ilmu silat tinggi yang sukar dikalahkan. Aku tadi heran, suheng. Ilmu silatmu banyak dan aneh-aneh, ini sudah kuketahui. Akan tetapi apa maksudnya ucapan isteri pendekar Kam itu? Ilmu pukulanmu dengan jari yang hebat itu.... benarkah seperti katanya tadi disebut Kiam-ci dan merupakan ilmu dari.... Ngo-ok? Benarkah engkau ada hubungan dengan tokoh-tokoh hitam yang terkenal seperti iblis itu?"

Tek Ciang tersenyum. "Tidak kusangkal, sute. Memang ilmu itu namanya Kiam-ci dan kudapat dari keturunan Ngo-ok. Akan tetapi tidak berarti bahwa aku memiliki hubungan dengan Ngo-ok yang sudah tiada. Memang aku suka sekali mempelajari segala macam ilmu silat, sute. Apa salahnya memperluas pengetahuan dengan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, dari mana pun datangnya? Sekali waktu akan berguna bagi kita. Kalau tadi mereka tidak menggunakan suara suling mukjijat itu, belum tentu aku kalah."

Kui Lok menyangsikan kebenaran kalimat terakhir itu, akan tetapi dia enggan berbantah dengan suheng-nya, apalagi setelah mereka berdua menderita kekalahan. Dia tak mau menyinggung perasaan suheng-nya.

"Aku rasa ilmu itulah yang oleh suhu Cu Han Bu disebut sebagai ilmu meniup suling Kim-kong Sim-in yang harus kita hadapi dengan waspada. Tak kusangka suara tiupan suling akan sehebat itu. Kita sudah digembleng oleh suhu untuk menghadapi suara itu. Kalau hanya menghadapi suara suling yang tadi menyerang kita itu, cukup bagi kita mengerahkan sinkang untuk bertahan. Akan tetapi apa artinya kalau kita hanya selalu bertahan? Begitu kita menyerang, tenaga kita lalu membalik dan memukul diri sendiri, seperti yang kau alami tadi, suheng."

Tek Ciang mengangguk-angguk, wajahnya muram, hatinya kesal. "Ah, kalau kita tidak dapat memperoleh ilmu untuk menandingi suara suling itu, habislah harapan kita untuk mengalahkan mereka, dan bagaimana kita mempunyai muka untuk menghadap suhu di Lembah Naga Siluman?"

Kui Lok merasa kasihan melihat kemuraman wajah Tek Ciang. Dia tahu akan rahasia hati suheng-nya ini. Dia tahu bahwa antara suheng-nya ini dan suci (kakak perempuan seperguruan) mereka, yaitu Cu Pek In, puteri guru mereka Cu Han Bu, yang kabarnya sudah menjadi janda karena ditinggal pergi suaminya, terdapat suatu hubungan yang amat erat dan akrab, bahkan mesra sekali.

Biar pun usia suci itu sudah hampir empat puluh tahun, akan tetapi suci mereka itu tetap cantik dan terutama sekali mempunyai kepandaian yang cukup hebat. Diam-diam dia menduga bahwa telah terjalin hubungan asmara antara keduanya itu secara gelap. Walau pun dia merasa tidak cocok, namun karena bukan urusannya, dia pura-pura tidak tahu saja. Hanya dia merasa heran bagaimana suheng-nya yang masih muda dan cukup tampan dan gagah itu dapat jatuh cinta kepada seorang wanita yang sepuluh tahun lebih tua.

Kini dia tahu betapa resah hati suheng-nya itu karena tugas yang hanya satu-satunya itu gagal. Suheng-nya tidak hanya merasa malu terhadap suhu-suhu mereka, melainkan terutama sekali malu terhadap kekasihnya atas kegagalannya.

"Suheng, aku sekarang teringat. Ketika masih belajar di Kun-lun-pai, suhu pernah bercerita tentang suatu ilmu yang mirip dengan suara suling dari keluarga Kam itu. Ilmu itu disebut Sin-liong Ho-kang (Ilmu Gerengan Naga Sakti). Akan tetapi ilmu itu dianggap sebagai ilmu yang berbahaya oleh para tokoh pimpinan Kun-lun-pai, dianggap sebagai ilmu yang kejam dan sesat sehingga tidak ada murid Kun-lun-pai yang diperbolehkan mempelajarinya."

"Ahhh, sungguh sayang sekali. Kalau begitu berarti ilmu itu telah lenyap dari perguruan Kun-lun-pai!" kata Tek Ciang menyesal.

"Tidak, suheng. Sebetulnya tidaklah lenyap sama sekali. Ilmu itu masih disimpan baik-baik dalam ujud kitab, akan tetapi kitab itu selalu disimpan di dalam kamar pusaka dan tidak ada seorang pun murid yang boleh membuka atau membacanya. Dan biasanya, murid-murid Kun-lun-pai amat patuh karena sudah terikat oleh sumpah kami."

"Ahhh, begitukah, sute? Jadi memang ada pelajaran itu, masih berupa kitab? Sute, maukah engkau bermurah hati kepadaku?"

"Maksudmu bagaimana, suheng?"

"Maukah engkau membawaku ke Kun-lun-pai dan minta ijin kepada ketua Kun-lun-pai agar mengijinkan aku mempelajari ilmu itu?"

"Hemm, rasanya sukar, suheng...."

"Sute, larangan itu hanya terbatas pada murid-murid Kun-lun-pai, bukan? Dan aku bukanlah murid Kun-lun-pai. Tetapi karena engkau seorang murid Kun-lun-pai tersayang dan kita sudah terikat persaudaraan, kalau kita menceritakan tentang kegagalan kita, mengingat pula hubungan baik antara gurumu dan para tokoh keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, kurasa akan banyak harapan aku akan diperkenankan mempelajarinya. Bukan untuk maksud keji, melainkan hanya untuk melawan suara suling keluarga Kam itu atau setidaknya mencari cara untuk mengatasinya."

Kui Lok mengerutkan alis, lalu mengangguk-angguk. "Baiklah, akan kucoba. Kitab-kitab Kun-lun-pai aslinya memang berada di pusat Kun-lun-pai di pegunungan Kun-lun-san, amat jauh dari sini. Akan tetapi semua cabangnya mempunyai salinan-salinannya dan ada kulihat suhu memiliki juga salinan kitab ilmu Sin-Liong Ho-kang itu. Mari kita coba menghadap suhu dan mudah-mudahan saja permintaan kita akan dikabulkan."

Tek Ciang merangkul sute-nya. "Ah, aku tahu bahwa memang engkau seorang saudara yang amat baik sekali, sute!"

Berangkatlah mereka menuju ke kuil Kun-lun-pai yang letaknya tidak berapa jauh dari situ, hanya perjalanan dua hari saja.....

KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (seri ke 11 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang