Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan buas, para penjahat maju menyerang. Seorang penjahat yang memegang sebatang tombak panjang menubruk dan menusuk ke arah perut Suma Kian Bu.
Pendekar ini tidak bergerak dari tempat dia berdiri, melainkan menyambut tusukan itu dengan tangannya, menangkap ujung tombak dengan mudah dan sekali betot, orang itu terbawa mendekat. Begitu kedua tangan pendekar sakti ini bergerak, tombak panjang itu seperti benda lunak saja dilibat-libatkan pada tubuh pemiliknya sehingga penjahat itu terbelit tombaknya sendiri, tidak mampu bergerak seperti ayam ditelikung.
"Plakkk!"
Tangan pendekar sakti itu menampar dan tubuh penjahat yang sudah tidak mampu bergerak itu terlempar keluar dari perahu, jatuh menimpa air yang muncrat tinggi dan tubuh itu pun tenggelam karena dibebani tombak dan kedua lengannya tidak mampu bergerak!
Orang pertama yang menyerang Teng Siang In ialah seorang penjahat berperut gendut dengan kepala botak. Dia memegang ruyung besar. Orang inilah yang tadi menggebuk punggung wanita nelayan itu. Sekarang, dengan ruyung yang besar dan berat itu dia menyerang kepada Teng Siang In. Nyonya pendekar ini pun tak bergerak dari tempat ia berdiri, tetapi sepasang matanya yang tajam berpengaruh itu menatap ke arah wajah si gendut, mulutnya yang manis berkemak-kemik dan telunjuk kanannya menuding.
Terjadilah keanehan yang luar biasa dan membuat para anak buah perahu itu bengong terlongong. Si gendut berkepala botak itu tiba-tiba berhenti menyerang, melotot dan ruyung yang dipegang oleh tangan kanannya itu tiba-tiba saja digerakkan memukuli kepalanya sendiri yang botak. Terdengar bunyi tak-tok-tak-tok disusul keluhan dan teriakannya dan kepala botak itu sebentar saja bocor semua, berdarah dan benjol-benjol.
Tangan kiri orang itu berusaha mencegah tangan kanan, akan tetapi tetap saja tangan kanan itu menggerakkan ruyung, makin lama semakin keras menghantami kepalanya sendiri. Orang itu kebingungan, ketakutan dan kesakitan, berlari ke tepi perahu akan tetapi ruyung di tangannya masih saja terus memukulinya, dan pada pukulan terakhir terdengar suara keras.
"Prakkk!"
Dia pun terguling keluar dari perahu, menimpa permukaan air dan tenggelam karena pukulan terakhir tadi agaknya telah membuat kepala botaknya retak-retak! Melihat ini, mulailah para anak buah perahu percaya akan kehehatan sepasang pendekar itu dan mereka pun bersorak gembira.
Penjahat ke dua yang menyerang Suma Kian Bu adalah seorang penjahat tinggi kurus yang bersenjata sebatang golok. Melihat betapa kawannya dilempar ke telaga oleh pendekar itu, dia berseru marah dan goloknya lalu ditusukkan ke depan, ke arah perut pendekar itu. Seperti tadi, Suma Kian Bu tetap tidak bergerak dari tempatnya melainkan menggunakan jari telunjuk menyentil ke arah golok yang segera menyeleweng arahnya dan pemegangnya terhuyung. Namun, penjahat itu membalik dan kembali menusukkan goloknya dari samping ke arah lambung.
Kian Bu menggunakan dua jari tangan menangkap atau menjepit ujung golok dan sekali dia mengerahkan tenaga, terdengar suara nyaring dan golok itu pun patah menjadi dua! Sebelum penjahat itu hilang kagetnya, Kian Bu menggerakkan tangannya dan patahan golok yang dijepitnya itu menyambar dan langsung amblas memasuki perut si penjahat yang terbelalak dan berteriak keras. Kian Bu menangkap punggung bajunya dan sekali tangannya bergerak, tubuh penjahat itu menyusul temannya terlempar ke air telaga, terus tenggelam oleh karena patahan golok yang terbenam dalam perutnya itu telah merenggut nyawanya.
Penjahat ke empat yang menyerang Teng Siang In juga mengalami nasib yang sama buruknya. Dia menggunakan sebatang pedang yang diputar-putar ke atas kepala dan ketika dia menerjang maju, Siang In berkata halus, "Monyet busuk, engkau bermain-main dengan seekor ular apakah tidak takut digigit?"
Bagi para anak buah perahu yang enak nonton perkelahian aneh itu, terjadilah suatu pemandangan yang aneh luar biasa. Mereka melihat betapa penjahat berpedang yang menyerang nyonya pendekar itu tiba-tiba menjerit, memandangi pedangnya di tangan yang diangkat tinggi-tinggi, matanya terbelalak ketakutan dan berkali-kali dia menjerit seolah-olah melihat pedangnya sendiri sebagai sesuatu yang menakutkan!
Dan memang sesungguhnya demikian. Seperti tadi ketika menghadapi lawan pertama, nyonya pendekar ini tidak mau mengotorkan tangan menandinginya dengan ilmu silat, tetapi sudah menggunakan ilmu sihirnya. Yang pertama tadi, ia membuat si penjahat memukuli kepala sendiri dengan ruyung sampai remuk. Kini, ia menyihir lawan membuat si lawan itu tiba-tiba saja melihat pedangnya yang berada di tangan itu berubah menjadi seekor ular besar ganas yang menyembur-nyembur dan hendak menggigit hidungnya. Tentu saja dia menjadi ketakutan dan panik melihat ular yang dipegangnya sendiri pada ekornya itu. Selagi dia masih kebingungan, sebuah sepatu runcing menyambar ke arah pusarnya.
"Dukkk!"
"Ahhhh...."
Penjahat itu berteriak, matanya mendelik dan tubuhnya terlempar keluar perahu, lalu menimpa air telaga mengikuti teman-temannya ke neraka!
Si raksasa tinggi besar yang menjadi pimpinan lima orang itu menjadi terkejut setengah mati melihat betapa empat orang temannya tewas dalam keadaan demikian aneh, dan tak disangkanya bahwa mereka itu demikian mudahnya jatuh oleh sepasang pendekar setengah tua ini. Matanya terbelalak memandang kepada suami isteri itu bergantian kemudian dia mengkirik dan membalikkan tubuh, lalu lari hendak meloncat keluar dari perahu yang mengerikan hatinya itu.
"Eh, ehhh, nanti dulu! Berikan dulu golok itu padaku!" Teng Siang In berkata halus.
Akan tetapi sungguh aneh sekali, raksasa itu menghentikan langkahnya, membalik dan menghampiri Siang In, menyerahkan golok besar itu seperti seorang anak penurut yang taat sekali! Siang In menerima golok dan orang itu terbelalak, seolah-olah terkejut dan terheran melihat kelakuannya sendiri dan seperti baru sadar, dia lalu membalik dan lari.
Tubuhnya melayang keluar dari perahu ketika dia meloncat. Akan tetapi pada saat itu, nampak sinar berkelebat menyilaukan mata dan sebatang golok terbang menyambar ke arah leher penjahat itu. Nampak darah muncrat dan ketika tubuh raksasa itu menimpa air, ternyata kepalanya telah terpisah dari badannya oleh goloknya sendiri yang tadi dilontarkan oleh Teng Siang In.
Para anak buah perahu itu bersorak, tetapi mereka juga bergidik ngeri menyaksikan betapa suami isteri ini membunuh lima orang penjahat itu dengan sadis. Mengapa suami isteri pendekar ini menjadi demikian kejam dan sadis terhadap para penjahat? Bukan hanya karena para penjahat itu memang merupakan orang-orang berbahaya yang sudah berani mencoba untuk membunuh kaisar, namun terutama sekali karena telah terjadi perubahan besar di dalam batin suami isteri pendekar ini yang tentu saja mempengaruhi tindakan mereka.
Hal ini terjadi sejak mereka berdua mendengar dari Cin Liong dan Suma Hui tentang terculiknya putera tunggal mereka, Ceng Liong, oleh Hek-i Mo-ong dan terutama sekali mendengar bahwa ayah bunda mereka dan Pulau Es telah terbunuh dan terbasmi oleh datuk-datuk sesat itu. Sejak itu, mereka berdua merasa sakit hati sekali, mendendam kepada dunia penjahat yang membuat mereka sampai hati melakukan kekejaman tadi.
Dendam membuat kita menjadi kejam. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dengan melihat sendiri keadaan batin kita. Dendam melahirkan kebencian dan kebencian inilah yang memungkinkan perbuatan kejam karena kebencian membuat kita ingin melihat yang kita benci itu menderita sehebat mungkin!
Sekali diracuni dendam, hati seorang pendekar seperti Suma Kian Bu atau Teng Siang In sekali pun, akan berubah menjadi sadis dan kejam, tentu saja kejam terhadap mereka yang menimbulkan dendam itu. Dan kebencian merupakan suatu penyakit.
Jangan dikira bahwa setelah orang yang dibencinya lenyap, lalu kebencian itu pun akan berakhir atau lenyap dengan sendirinya. Kebencian itu akan tetap ada di batin, tinggal menanti bahan bakarnya saja untuk dapat berkobar lagi. Tentu sekali waktu akan muncul bahan bakar itu yang berupa orang atau golongan yang akan dibencinya lagi. Karena kebencian adalah penonjolan ke-akuan yang paling parah, kebencian timbul karena si aku merasa dirugikan sehingga timbul dendam dan benci yang membuat si aku ingin sekali melihat yang dibenci itu menderita dan 'terbalas'.
Setelah menghajar kelima orang penjahat itu, Kian Bu dan Siang In membalik dan menghadapi kaisar.
Akan tetapi kaisar muda itu memangku tubuh yang sudah lunglai itu sambil menangis dan menciuminya! Kemudian terdengar Kaisar Kian Liong yang sudah mengenal baik suami isteri pendekar itu berkata, "Suma-taihiap, tolonglah.... tolong selamatkan nyawa kekasihku ini...."
Mendengar ucapan ini, Kian Bu dan Siang In terkejut, cepat menghampiri, berlutut dan memeriksa keadaan wanita itu. Akan tetapi mereka hanya dapat saling pandang setelah mengadakan pemeriksaan. Keduanya maklum bahwa nyawa wanita itu tidak mungkin dapat diselamatkan lagi.
Bagian dalam tubuhnya luka hebat oleh pukulan keras, dan juga lambungnya terluka parah oleh bacokan senjata tajam. Belum lagi seluruh tubuhnya yang terhias luka-luka yang cukup dalam dan parah. Mereka berdua memandang dengan hati iba dan diam-diam mereka pun heran mendengar betapa kaisar menyebut wanita nelayan itu kekasih.
Memang sesungguhnyalah bahwa wanita itu adalah seorang gadis yang semenjak lama menjadi kekasih hati Kaisar Kian Liong, yaitu sejak kaisar ini masih menjadi seorang pangeran.
Beberapa tahun yang lalu, orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai yang mendendam kepada Kaisar Yung Ceng, menyerbu istana. Di antara mereka terdapat seorang murid Siauw-lim-pai wanita yang bernama Souw Li Hwa yang pada waktu itu baru berusia delapan belas tahun. Ia pun mendendam pada kaisar yang masih terhitung susiok-nya sendiri karena gurunya menderita sengsara ketika isteri gurunya itu pada suatu hari diperkosa oleh kaisar!
Souw Li Hwa ikut rombongan para hwesio Siauw-lim-pai untuk membalas dendam dan menyerbu istana. Akan tetapi, orang-orang Siauw-lim-pai itu roboh dan tewas semua kecuali Souw Li Hwa yang berhasil melarikan diri. Di dalam istana ini, selagi dikejar-kejar, Souw Li Hwa bertemu dengan Pangeran Kian Liong yang segera menolongnya, menyembunyikannya, bahkan mengawalnya keluar istana sampai selamat.
Ternyata sang pangeran itu sudah jatuh cinta kepada Souw Li Hwa. Sebelum berpisah, pangeran itu memberikan sebuah cincin dan sang pangeran berjanji bahwa kelak dia akan berjodoh dengan Souw Li Hwa setelah menjadi kaisar. Peristiwa ini diceritakan dengan jelas dalam cerita Suling Emas dan Naga Siluman.
Souw Li Hwa masih sadar dan gadis ini pun melihat sikap sepasang suami isteri itu. Ia pun maklum bahwa dirinya tak mungkin dapat ditolong lagi, maka ia pun berkata lemah, "Sudahlah.... sri baginda.... hamba.... hamba tak mungkin dapat hidup...."
"Li Hwa.... ah, Li Hwa, kenapa selama ini engkau tidak datang kepadaku? Ini.... ah, ini cincinku masih kau bawa.... tapi kenapa engkau tak pernah muncul....?" Kaisar muda itu menarik sebuah tali yang tergantung pada leher Li Hwa, ternyata cincin pemberiannya tergantung pada tali itu.
"Sri baginda.... hamba hanya seorang.... rendah.... mana berani hamba.... mengganggu seorang.... mulia seperti paduka....?"
"Ahhh, Li Hwa kekasihku. Akulah yang bersalah, aku sudah melupakanmu.... terlalu banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan sampai aku terlupa padamu.... padahal, cintaku padamu tak pernah padam. Li Hwa, kau maafkan aku...."
"Sudahlah, sri baginda.... hamba merasa bahagia.... pada saat terakhir.... masih dapat berjumpa dengan paduka.... masih dapat membela paduka.... ahhh, hamba puas.... ternyata paduka masih mencinta...." Gadis itu menghentikan kata-katanya, napasnya terengah-engah.
Melihat wajah itu makin memucat dan tubuh yang dipangkunya makin lemas terkulai, Kaisar Kian Liong menjadi panik. "Taihiap.... ahhh, tolonglah dia...."
Namun Kian Bu dan isterinya hanya menarik napas panjang. "Luka-lukanya terlampau parah, sri baginda."
Jawaban ini cukup bagi Kian Liong. Dia merangkul dan menciumi muka yang pucat itu sambil menangis. "Li Hwa.... ahhh, Li Hwa, jangan mati.... mari hidup di sampingku sebagai isteri tercinta...."
Souw Li Hwa membuka kembali matanya dan kini sepasang matanya bersinar layu, walau pun bibirnya mengarah senyum dan wajahnya berseri. "Sri baginda.... kekasih hamba.... hamba rela mati.... hamba.... berterima kasih.... hamba cinta...." Dan ia pun terkulai karena nyawanya telah melayang.
"Li Hwa....!"
"Sri baginda, ia telah tiada...." Siang In berkata halus dan mengambil mayat itu dari pangkuan kaisar.
Kaisar Kian Liong memejamkan matanya dan sejenak dia duduk seperti itu, air matanya turun dari kedua mata yang dipejamkan, dan dia menguatkan hatinya. Kemudian dia membuka mata, bangkit berdiri dan melihat betapa para pengawal, sepasukan besar yang tadinya berjaga di tepi telaga, sudah tiba di situ menggunakan perahu mereka, dia cepat memberi perintah, "Tangkap semua penjahat-penjahat itu dan beri hukuman berat kepada mereka!"
Menerima perintah dari kaisar yang berduka dan marah ini, para pengawal menjadi bingung, tetapi mereka segera turun tangan, ada yang meloncat ke air dan menyelam, mencari lima orang penyerbu tadi. Akan tetapi, mereka hanya mampu menangkap lima mayat saja karena lima orang penjahat tadi telah mati semua.
Suma Kian Bu dan isterinya mengawal Kaisar Kian Liong kembali ke istana di kota raja, dan jenazah Souw Li Hwa juga diangkut ke kota raja di mana kaisar menganugerahi pangkat selir pertama kepada wanita yang telah mati itu. Jenazahnya dikubur dengan upacara kebesaran dan dibuatkan nisan yang besar dan megah.
Setelah ikut menghadiri upacara pemakaman sebagai penghormatan kepada Souw Li Hwa, suami isteri Suma Kian Bu mohon diri meninggalkan istana dan mereka pun mulai melakukan penyelidikan di kota raja tentang diri Hek-i Mo-ong yang telah menculik dan melarikan putera mereka. Namun, tidak ada orang yang mendengar tentang datuk itu dan tentu saja hal ini makin menggelisahkan hati suami isteri itu. Mereka makin giat menyelidiki dan mengambil keputusan tidak akan berhenti mencari sebelum mereka berhasil menemukan putera mereka.....
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (seri ke 11 Bu Kek Siansu)
Action(seri ke 11 Bu Kek Siansu)