Memiliki ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Bi Eng mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi. Apalagi ilmu memainkan suling sebagai senjata. Dahulu ibunya juga mempelajari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan ilmu meniup suling, bahkan ibunya juga memiliki senjata suling emas yang persis milik ayahnya, hanya lebih kecil. Dan ia sendiri pun telah dibuatkan sebuah suling emas seperti milik ibunya dan gadis ini sudah pandai pula menggunakan sulingnya sebagai senjata, baik dimainkan sebagai pedang, atau dipergunakan suaranya untuk mengalahkan lawan, atau dipakai untuk menghibur diri memainkan nyanyian-nyanyian merdu.
Demikianlah serba singkat tentang keadaan keluarga Kam yang tinggal di istana tua bekas milik Raja Pengemis itu. Selama tinggal di situ, keluarga ini tak pernah mendapat gangguan, juga mereka tidak mau mencari perkara, bahkan boleh dibilang mereka telah menjauhkan diri dari dunia kang-ouw dan tidak mau melibatkan diri dengan urusan dunia ramai. Mereka sudah merasa berbahagia hidup tenteram di antara orang-orang dusun di sekeliling tempat itu, hidup sederhana namun sehat dan tenteram.
Oleh karena itu, mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada waktu itu, ada bahaya besar mengancam mereka, seperti awan mendung hitam gelap yang terbawa angin perlahan-lahan menuju ke tempat sunyi itu.
Siapakah yang datang menuju ke istana kuno pada siang hari itu? Bukan hanya Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong dua orang saja, melainkan empat orang yang amat lihai karena selain dua orang ini, kini ada pula dua orang lain yang menemani guru dan murid ini. Mereka itu bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Louw Tek Ciang! Bagaimanakah dua orang jahat ini dapat bergabung dengan Hek-i Mo-ong?
Seperti kita ketahui, Hek-i Mo-ong berhasil membujuk Ceng Liong untuk membantunya menghadapi musuh besarnya, yaitu Kam Hong. Berdua guru dan murid itu melakukan perjalanan naik perahu menuju ke arah timur. Arus air yang deras itu mempercepat perjalanan mereka dan beberapa hari kemudian, mereka mendarat dan meninggalkan sungai yang terus mengalir masuk ke Sungai Huang-ho, menjadi aliran besar menuju ke laut timur. Mereka sendiri melanjutkan perjalanan dengan melalui darat, menuju utara, ke arah Pegunungan Tai-hang-san yang dari situ sudah nampak puncak-puncaknya menjulang tinggi di angkasa.
Siang itu matahari yang terik tidak dapat mengurangi kesejukan hutan di kaki Gunung Tai-hang-san. Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong berjalan perlahan memasuki hutan dan dari luar hutan sudah nampak dinding sebuah kuil kuno yang agaknya terlantar dan tidak dipergunakan lagi oleh orang sebagai tempat pemujaan. Akan tetapi, ketika guru dan murid itu lewat di depan kuil, mendadak Ceng Liong menahan langkahnya dan memandang ke arah kuil dengan alis berkerut. Dia mendengar isak tangis wanita dari dalam kuil itu. Tentu saja Hek-i Mo-ong juga mendengarnya.
Di antara isak tangis itu, terdengar suara wanita yang berkata dengan suara memohon. "....aku ingin pulang.... ahhh, aku ingin pulang...."
Ceng Liong makin penasaran, namun Hek-i Mo-ong tersenyum lebar sambil berkata, "Ceng Liong, perlu apa kita mencampuri urusan orang dan mengganggu kesenangan orang? Hayo kita lanjutkan perjalanan kita."
Ceng Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Aku tidak ingin mencampuri urusan orang, apalagi mengganggu kesenangan orang. Akan tetapi wanita itu menangis dan suaranya berduka. Siapa tahu aku akan dapat menolongnya." Dan pemuda ini pun melangkah mendekati kuil.
"He-he-heh, engkau cari perkara saja!" kata Hek-i Mo-ong, akan tetapi kakek ini tidak mencegah, hanya berdiri memandang sambil tersenyum lebar saat muridnya memasuki kuil tua itu.
Ruangan depan kuil itu kotor karena gentengnya telah banyak yang berlubang sehingga ruangan itu kemasukan air bocor dan kotoran. Ruangan itu kosong, akan tetapi isak tangis itu datang dari arah belakang. Ceng Liong terus memasuki kuil dengan perlahan-lahan karena dia tidak mau mengagetkan wanita yang sedang menangis itu.
Tiba-tiba dia berhenti melangkah ketika mendengar suara laki-laki tertawa mengejek, agaknya tertawa kepada wanita itu. "Kau ingin pulang? Pulang ke akhirat? Ha-ha-ha, jangan khawatir. Aku akan memulangkanmu ke akhirat jika aku sudah bosan padamu!"
"Cici....!" Suara wanita yang tadi menjerit dan menangis.
"Siauw-moi, bersabarlah....!" Terdengar suara wanita ke dua, akan tetapi wanita ini pun menangis sehingga kini terdengar suara dua orang wanita sesenggukan.
Ceng Liong makin penasaran dan kini dia mempercepat langkahnya memasuki ruangan belakang kuil itu yang gentengnya masih utuh sehingga lantainya pun agak bersih. Ketika dia masuk melangkahi pintu tanpa daun itu, dia melihat ke atas lantai dan mukanya seketika berubah merah karena malu.
Di lantai itu terdapat dua orang laki-laki, seorang laki-laki tua yang pakaiannya mewah dan wajahnya pesolek, usianya lima puluh tahun lebih, dan laki-laki ke dua masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun, juga pakaiannya mewah dan wajahnya tampan. Akan tetapi, dua orang laki-laki ini masing-masing memangku seorang gadis muda yang pakaiannya hampir telanjang, dan dua orang laki-laki itu sedang mempermainkan gadis masing-masing, meraba dan menciuminya. Dua orang gadis itu menangis, akan tetapi tidak melawan. Wajah mereka pucat dan melihat mata mereka yang merah dan agak bengkak, mudah diduga bahwa mereka itu banyak menangis.
Melihat betapa dua orang pria itu sedang bermesraan dengan wanita, tentu saja Ceng Liong menjadi malu dan kikuk, akan tetapi hatinya juga merasa penasaran karena keadaan dua orang wanita itu sama sekali tidak dapat dibilang gembira dengan kemesraan yang diperlihatkan dua orang pria itu. Kalau saja dia tahu bahwa dia akan menemukan pemandangan seperti ini, tentu dia tidak akan sudi masuk. Akan tetapi dia sudah terlanjur masuk dan hatinya pun menjadi penasaran. Hanya, apa yang harus dikatakan atau dilakukan setelah dia masuk?
Biar pun usianya sudah hampir enam belas tahun dan dia menjadi murid seorang datuk sesat, rajanya kaum penjahat, namun selama ini gurunya tidak pernah mengajaknya bergaul dengan para penjahat sehingga Ceng Liong tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di depan matanya itu. Akan tetapi, dia adalah seorang yang mempunyai kecerdikan, maka dalam keadaan malu dan kikuk itu dia masih saja dapat bicara dengan tenang.
"Apakah yang sedang terjadi di sini?" Pertanyaan ini seperti ditujukan kepada diri sendiri, bukan pada seorang tertentu di antara empat orang yang berada di dalam ruangan itu.
Dua orang pria itu sudah sejak tadi tahu akan munculnya pemuda remaja itu, namun agaknya mereka tetap asyik dengan kesibukan mereka sendiri yang menyenangkan dan sama sekali tidak mempedulikan adanya Ceng Liong. Ketika Ceng Liong mengeluarkan pertanyaan itu, pria muda itu mengangkat mukanya dari dada wanita yang dipangkunya, menoleh dan memandang kepada Ceng Liong sambil tersenyum!
Akan tetapi senyum pada wajah yang tampan itu amat tidak menyenangkan hati Ceng Liong. Senyum yang licik, pikirnya, maka dia pun menentang pandang mata pria itu dengan tajam penuh selidik. Agaknya pria itu pun tercengang melihat penegurnya seorang pemuda remaja yang demikian tampan walau pun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang petani muda.
"Ehh, bocah ingusan! Apakah engkau tidak dapat menduga apa yang sedang terjadi di sini? Apakah engkau belum pernah melihat orang bermain cinta? Setidaknya ayah ibumu sendiri? Kami berdua sedang bersenang-senang dengan kekasih kami, apa kau tidak lihat?"
Biar pun dia sama sekali belum berpengalaman, akan tetapi Ceng Liong sudah cukup dewasa untuk dapat menduga apa yang terjadi. Dia tadi mengeluarkan pertanyaan itu hanya untuk menutupi rasa malu dan kikuknya. Akan tetapi kini, setelah dia melihat benar keadaan dua orang gadis itu, gadis-gadis muda yang mungkin baru lima belas tahun usianya, yang tengah memandang kepadanya dengan mata terbelalak merah dan ketakutan seperti mata kelinci dalam cengkeraman harimau, rasa malu dan kikuknya pun lenyap. Ada sesuatu yang tidak wajar di sini, pikirnya. Orang yang bercintaan dan bercumbuan tidak memperlihatkan wajah takut dan duka seperti itu!
"Aku tadi mendengar suara tangisan dan orang minta pulang....," katanya lagi sambil menatap wajah kedua orang gadis itu bergantian. Dua orang gadis yang masih amat muda dan berwajah manis, akan tetapi amat pucat dan seperti orang kurang makan, nampak lemas.
"Kamu hendak mencampuri urusan kami?" bentak orang muda itu, kini senyumnya menghilang dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
"Tidak, tapi kalau ada orang menangis dan perlu kutolong...."
"Ha-ha-ha!" Tiba-tiba orang muda itu tertawa, sedangkan orang yang tua sama sekali tidak peduli, hanya melanjutkan perbuatannya yang tidak tahu malu, seolah-olah di situ tidak terdapat orang lain.
Gadis yang dipangkunya menggeliat-geliat, kemudian menangis dan berkata, ditujukan kepada Ceng Liong. "Tolonglah kami.... tolonglah kami, kami diculik...."
Barulah Ceng Liong mengerti dan dia pun tahu bahwa dua orang itu adalah penculik dan pemerkosa wanita, yang di kalangan penjahat dinamakan jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga). Maka seketika mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar mencorong. Agaknya, penculik yang muda itu dapat mengerti bahwa pemuda remaja itu menjadi marah, maka dia pun tertawa lagi.
"Ha-ha-ha, memang engkau dapat menolong mereka berdua ini, bocah lancang. Kau antarkan mereka ke akhirat. Nah, kau berangkatlah lebih dulu!" Tangannya bergerak ke depan, ke arah Ceng Liong.
"Singgg....!"
Sinar perak menyilaukan mata menyambar ke arah leher Ceng Liong dan ternyata yang disambitkan oleh penjahat muda itu adalah sebatang pisau terbang yang amat tajam dan runcing. Kalau bukan Ceng Liong yang diserang seperti itu, tentu di lain saat dia sudah menggeletak tak bernyawa dengan leher putus terbabat pisau itu! Akan tetapi, melihat serangan ini, Ceng Liong mendengus.
"Huhhh!"
Tangan kirinya bergerak ke depan, jari tangannya dibuka dan tiba-tiba saja jari telunjuk dan ibu jarinya telah menjepit pisau terbang itu dengan gerakan yang demikian tenang, seolah-olah apa yang dilakukannya tadi merupakan pekerjaan yang teramat mudah! Kemudian, jari-jari kedua tangannya menekuk.
"Krekkk!" terdengar suara, lalu pisau yang sudah menjadi empat potong itu dilemparkan Ceng Liong ke atas lantai!
Pemerkosa muda itu adalah Louw Tek Ciang sedangkan yang tua adalah Jai-hwa Siauw-ok. Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya hati Louw Tek Ciang ketika dia melihat betapa pemuda remaja yang disangkanya tentu akan roboh dengan leher putus sehingga dia dapat menikmati pemandangan ketika darah muncrat-muncrat dari leher pemuda itu ternyata dengan amat mudahnya dapat menangkap hui-to (pisau terbang) dengan jepitan dua buah jari, bahkan kemudian mematah-matahkan pisaunya itu bagai orang mematah-matahkan sebatang ranting belaka!
Dia bangkit berdiri setelah melemparkan gadis yang dipermainkannya tadi ke samping, seperti orang membuang kain kotor yang tidak terpakai lagi, memandang kepada Ceng Liong seperti hendak menelan pemuda remaja itu bulat-bulat. Kemudian, dengan suara lantang dia berseru, "Bocah setan, siapakah engkau? Berani engkau mencampuri urusan pribadi kami?"
Ceng Liong tersenyum mengejek dan menggerakkan pundaknya. "Siapa mencampuri urusan pribadi kalian? Aku hanya mendengar wanita menangis dan minta pulang, dan aku bertanya. Tapi engkau menyambutku dengan lemparan pisau dan ini bukan urusan pribadimu lagi."
Louw Tek Ciang tentu saja tidak memandang kepada pemuda remaja itu. Kalau hanya sedikit kepandaian menangkap dan mematahkan pisau sedemikian saja, tentu tidak akan membuat dia menjadi gentar. Permainan kanak-kanak itu!
"Setan cilik! Kau mau apa?"
"Setan besar!" Ceng Liong balas memaki sambil tersenyum karena memang dia merasa geli melihat lagak orang di depannya itu. "Aku mau agar kalian membebaskan dua orang nona itu, kemudian engkau makan potongan-potongan pisaumu ini sampai habis, baru aku mau sudah!"
Tek Ciang terbelalak. Alangkah beraninya bocah ini! Wajahnya menjadi merah saking marahnya. Dia akan membuat anak ini menyesal tujuh turunan telah berani bersikap sedemikian kurang ajar kepadanya.
"Keparat kau!"
"Jahanam kau!" Ceng Liong balas memaki, makin gembira melihat tingkah orang ini. Dia tahu orang ini marah besar, dan justru inilah yang menggembirakan hatinya. Wataknya yang suka menggoda orang timbul. "Eh, apakah bisamu hanya membikin susah wanita, melempar-lemparkan pisau dan maki-maki orang saja?"
Louw Tek Ciang yang biasanya pandai bicara, cerdik dan licik itu, kini saking marahnya kehabisan akal untuk balas mengejek dan memaki. Dia lalu mengerahkan tenaganya dan menghantam dengan tangan kanan terbuka ke arah Ceng Liong.
"Mampuslah!" bentaknya sambil mengerahkan tenaganya dalam pukulan itu.
Ceng Liong cepat mengelak dan kini matanya terbelalak.
"Wuuutt!"
Pukulan yang mengandung hawa panas sekali itu lewat di sampingnya dan kini Tek Ciang yang juga kaget melihat betapa anak itu dengan mudahnya dapat mengelak dan menghindarkan diri dari pukulannya, sudah menyusulkan pukulan ke dua yang lebih panas lagi. Dan kini Ceng Liong benar-benar terkejut.
Dia mengenal pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biar pun belum dikuasainya akan tetapi sudah amat dikenal teorinya itu. Orang ini menyerangnya dengan Hwi-yang Sin-ciang! Karena dia maklum betapa berbahayanya pukulan ke dua ini dan sukar pula untuk dielakkan, terpaksa dia pun mengerahkan tenaga sinkang-nya dan menangkis pukulan dengan sambutan telapak tangannya pula.
"Desss....!"
Dua tenaga sinkang yang kuat bertemu di udara dan akibatnya, keduanya terpental mundur sampai tiga langkah! Tentu saja Tek Ciang lebih kaget lagi. Tidak disangkanya bahwa pemuda remaja itu akan sanggup menahan pukulannya dengan tenaga yang demikian dahsyatnya. Baru terbuka matanya bahwa pemuda remaja yang disangkanya hanya seorang yang usil dan lancang yang hendak mencampuri urusannya dan hendak mengganggu kesenangannya itu ternyata adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mampu menahan pukulan Hwi-yang Sin-ciang!
Sementara itu, kakek yang tadinya bersenang-senang mempermainkan gadis ke dua, kini juga memandang penuh perhatian dan dia pun terkejut melihat kehebatan pemuda remaja itu. Tahulah dia bahwa ada bahaya mengancam. Siapa tahu pemuda remaja itu tidak datang sendiri saja dan masih ada kawannya yang lebih lihai di luar kuil.
Maka Jai-hwa Siauw-ok segera melakukan tindakan pengamanan. Yang terpenting, dua korban itu harus dibunuh dulu supaya tidak dapat menjadi saksi. Dia bangkit berdiri, tangannya bergerak cepat. Terdengar suara mencicit seperti tikus terjepit dan ada sinar menyambar ke arah dua orang gadis itu yang sudah terlempar ke lantai.
Dua orang gadis itu menjerit kecil dan tewas seketika, karena mereka telah menjadi korban serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang dilakukan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Setelah itu, Jai-hwa Siauw-ok menyerang Ceng Liong dengan Kiam-ci.
Ketika Ceng Liong mendengar bunyi mencicit dan sinar tangan menyambar ke arahnya, dia mengenal serangan ampuh dan cepat dia mengelak ke kiri. Dari kiri, tangan Tek Ciang menyambar dan menghantamnya. Sekarang Tek Ciang mempergunakan pukulan Swat-im Sin-ciang yang tentu saja dikenal pula oleh Ceng Liong. Pemuda ini penasaran sekali dan kembali dia menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Desss....!"
Keduanya terpental lagi, tanda bahwa keduanya memiliki tenaga yang seimbang. Bukan hanya Tek Ciang yang merasa heran, bahkan Jai-hwa Siauw-ok juga kaget sekali. Guru dan murid ini, yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, cepat bergerak hendak maju berbareng.
"Heh-heh-heh-heh, Siauw-ok, tidak malu engkau mengeroyok muridku?"
Dan muncullah Hek-i Mo-ong di ambang pintu tak berdaun ruangan itu. Melihat Hek-i Mo-ong, tentu saja Jai-hwa Siauw-ok terkejut bukan main dan wajahnya berubah pucat.
"Hek-i Mo-ong....!" serunya.
Seruan ini lebih ditujukan kepada muridnya agar muridnya mengenal kakek yang pernah diceritakannya kepada muridnya sebagai raja datuk sesat itu. Dan Tek Ciang memang segera teringat akan cerita itu, maka pemuda ini pun cepat melangkah mundur dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak.
"Ahh, kiranya dia ini muridmu sendiri, Mo-ong? Maaf, karena kami tidak mengenalnya maka terjadi kesalah pahaman," kata Jai-hwa Siauw-ok merendah.
Tek Ciang adalah seorang yang cerdik. Dia sudah mendengar dari gurunya bahwa Hek-i Mo-ong memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, jauh lebih lihai dari pada Jai-hwa Siauw-ok. Tentu saja dia tidak takut karena kepandaiannya sendiri pun tidak kalah dibandingkan dengan Siauw-ok, akan tetapi melihat betapa murid kakek itu juga lihai, dia pikir lebih aman kalau bersahabat dengan mereka ini. Apalagi, bukankah mereka itu segolongan? Maka dia pun cepat menjura dengan sikap hormat dan merendah sekali kepada Hek-i Mo-ong.
"Ahhh, kiranya saya memperoleh keberuntungan dapat menghadap locianpwe yang namanya menjulang tinggi di angkasa dan sudah lama saya kagumi itu. Dan murid locianpwe yang masih amat muda ini sungguh lihai bukan main ilmunya, menjadi bukti betapa hebatnya kepandaian locianpwe sebagai gurunya."
Suasana penuh dengan ketegangan dan kegelisahan bagi Jai-hwa Siauw-ok. Dia sudah mengenal baik watak Hek-i Mo-ong. Teringat dia betapa dia pernah membantu Mo-ong dan kawan-kawan yang menjadi sekutunya menyerbu Pulau Es. Dia sendiri melarikan diri untuk menyelamatkan diri sendiri sambil membawa gadis cucu Pendekar Super Sakti sebagai tawanan. Hal ini saja sudah menjadi alasan cukup bagi Hek-i Mo-ong untuk membunuhnya!
Dan kini mereka bertemu di sini, malah timbul perkelahian antara dia dan muridnya melawan murid Mo-ong. Ini merupakan alasan ke dua yang cukup untuk membuat Raja Iblis itu turun tangan membunuh dia dan muridnya. Tentu saja dia tidak akan mau menyerahkan nyawa begitu saja.
Muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, mungkin malah lebih kuat dari padanya, dan dengan kepandaian mereka berdua, mungkin saja mereka akan dapat menandingi Hek-i Mo-ong. Akan tetapi di situ terdapat murid Hek-i Mo-ong yang biar pun masih remaja namun sudah lihai itu dan hal ini membuatnya semakin gelisah. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan dia sudah siap-siap untuk melawan apabila Hek-i Mo-ong turun tangan menyerang seperti yang diduganya.
Dugaan Jai-hwa Siauw-ok memang tidak berlebihan. Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk besar yang berjuluk Raja Iblis. Kesalahan sedikit saja sudah cukup baginya untuk mencabut nyawa orang lain. Apalagi kesalahan yang diperbuat oleh Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu terlalu besar.
Siauw-ok telah berkhianat dalam penyerbuan di Pulau Es, yaitu lari menyelamatkan diri sendiri tanpa mempedulikan kawan-kawan. Dan sekarang, Siauw-ok dan muridnya malah berani mengeroyok Ceng Liong. Dalam keadaan biasa, tentu apa yang diduga oleh Siauw-ok itu akan terjadi. Hek-i Mo-ong tentu akan turun tangan 'menghukum' mereka. Akan tetapi, sekali ini Hek-i Mo-ong malah tersenyum memandang kepada Tek Ciang.
"Siauw-ok, dia ini muridmukah? Sungguh murid yang baik sekali!"
Jai-hwa Siauw-ok hampir tidak dapat mempercayai mata dan telinganya. Hek-i Mo-ong tersenyum, bersikap ramah dan malah memuji Tek Ciang! Dia pun merasa girang dan cepat berkata, "Mo-ong, terima kasih atas pujianmu!"
"Aaah, kita di antara teman sendiri, tidak perlu banyak sungkan. Kesalah pahaman tadi adalah biasa, dan baik sekali bagi muridku untuk berlatih."
"Muridmu hebat, Mo-ong. Masih begini muda akan tetapi sudah hebat ilmunya."
"Ha-ha-ha, tentu saja! Kalau benar-benar dipertandingkan, engkau sendiri pun tentu akan kalah oleh dia. Akan tetapi, muridmu itu pun bukan barang murahan. Siauw-ok, mengapa engkau dan muridmu berada di sini? Apakah kebetulan saja? Ataukah ada hubungannya dengan puncak Bukit Nelayan?"
"Bukit Nelayan....? Ehh, Mo-ong, bagaimana engkau bisa.... bisa mengetahuinya....?"
"Heh-heh, jangan mengira aku sudah pikun karena tua. Engkau hendak pergi ke sana untuk mencari Bu Ci Sian, bukan?"
Jai-hwa Siauw-ok mengangguk-angguk. "Agaknya Mo-ong telah tahu segalanya."
Kembali Hek-i Mo-ong tertawa "Tentu saja aku tahu. Coba kau ingat, di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat) yang menjadi guru-gurumu, bukankah Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu tewas di tangan Bu Ci Sian?"
Jai-hwa Siauw-ok mengangguk, dan Hek-i Mo-ong melanjutkan, "Kini Bu Ci Sian telah menikah dan tinggal di puncak Bukit Nelayan, maka melihat engkau di sini bersama muridmu yang lihai, ke mana lagi engkau hendak pergi kalau bukan ke bukit itu? Dan agaknya engkau dan muridmu sudah membawa bekal.... ha-ha-ha, agaknya muridmu itu bukan hanya mewarisi ilmu-ilmumu, melainkan juga kebiasaanmu!" Hek-i Mo-ong memandang ke arah mayat dua orang gadis belasan tahun itu.
Jai-hwa Siauw-ok tersenyum. "Ahhh, hanya kesenangan laki-laki biasa saja, Mo-ong. Semua dugaanmu memang benar. Kami berdua hendak ke sana dan kalau mungkin, kami hendak membalas dendam kematian guru-guruku."
"Ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba Hek-i Mo-ong tertawa bergelak.
Jai-hwa Siauw-ok mengerutkan alisnya. Jelas bahwa Raja Iblis itu mentertawakannya, akan tetapi dia menanti keterangan dengan sabar karena maklum bahwa Raja Iblis ini berwatak kejam sekali, sedikit-sedikit mudah saja membunuh orang, baik orang itu sekutunya mau pun musuhnya.
Dan memang Hek-i Mo-ong melanjutkan kata-katanya yang tadi diawali suara ketawa mengejek ini. "Dan engkau bersama muridmu hanya pergi mengantar nyawa dengan sia-sia belaka, untuk mati konyol, ha-ha ha!"
Kini Jai-hwa Siauw-ok menjadi penasaran, bahkan Louw Tek Ciang juga memandang tajam dengan alis berkerut. Bagaimana pun juga, kakek ini memandang rendah kepada dia dan gurunya dan biar pun kakek ini Hek-i Mo-ong, dia tidak berhak memandang rendah orang segolongan seperti itu.
"Harap locianpwe suka menjelaskan!" katanya penasaran.
Sementara itu, Ceng Liong sejak tadi hanya mendengarkan, akan tetapi matanya sering tertuju kepada dua buah mayat gadis itu.
"Ha-ha-ha, apakah kalian belum tahu dengan siapa Bu Ci Sian menikah? Dan apa macam suaminya? Ha-ha, suaminya itu adalah Kam Hong si Pendekar Suling Emas!"
Jai-hwa Siauw-ok terbelalak, sedangkan Tek Ciang tak peduli karena memang pemuda yang belum lama berkecimpung di dunia kang-ouw ini belum pernah mendengar akan nama Pendekar Suling Emas yang merupakan tokoh tua dalam dongeng persilatan, lebih tua dari pada nama keluarga Pulau Es. Sebaliknya, Jai-hwa Siauw-ok yang sudah mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, matanya terbelalak dan dia bertanya dengan suara terheran.
"Ahhh, jangan berkelakar, Mo-ong. Bukankah Pendekar Suling Emas hidup di jaman puluhan tahun yang lalu, lebih seratus tahun yang lalu? Mana mungkin Bu Ci Sian menikah dengan dia yang sudah lama mati."
Kembali Hek-i Mo-ong tertawa, tertawa gembira, tawa seorang yang merasa unggul dan lebih tahu. "Bodoh, tentu saja bukan dengan Pendekar Suling Emas yang pertama, melainkan dengan keturunannya. Dan Kam Hong adalah keturunannya yang telah mewarisi semua ilmu kepandaian keluarga Suling Emas. Maka, kalau kalian ke sana, selain berhadapan dengan Bu Ci Sian, juga akan berhadapan dengan suaminya itu yang sepuluh kali lebih lihai dari pada Bu Ci Sian."
Jai-hwa Siauw-ok tertegun dan saling pandang dengan muridnya. Hal ini memang sama sekali tidak pernah disangkanya. Menurut penyelidikannya, Bu Ci Sian hidup di puncak Bukit Nelayan itu bersama suaminya dan seorang anaknya yang sudah remaja puteri. Sama sekali dia tidak pernah memperhitungkan bahwa suaminya malah lebih lihai dari pada pendekar wanita itu. Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok adalah seorang cerdik. Dia pun mempunyai dugaan bahwa kedatangan orang macam Hek-i Mo-ong ke tempat itu sudah pasti tidak sia-sia, bukan sekedar jalan-jalan saja, tentu ada maksudnya tertentu yang amat penting.
"Mo-ong, apakah engkau dan muridmu juga hendak pergi ke sana? Barangkali kalian hendak mencari.... ehhh, orang she Kam yang lihai itu?"
Hek-i Mo-ong tertawa bergelak, nampak giginya yang tinggal tiga buah di dalam rongga mulutnya. "Ha-ha-ha, engkau amat cerdik seperti serigala! Memang benar, aku hendak membuat perhitungan pribadi dengan Kam Hong."
Sekarang mengertilah Jai-hwa Siauw-ok mengapa Mo-ong tidak membunuh dia dan muridnya. Kiranya Raja Iblis ini pun hendak menyerbu puncak Bukit Nelayan dan agaknya si Raja Iblis ini masih ragu-ragu apakah akan mampu mengalahkan keturunan Pendekar Suling Emas. Inilah sebabnya maka Hek-i Mo-ong tidak mengganggunya, bahkan mendekatinya untuk diajak bersekutu lagi, kini bukan menyerbu Pulau Es, melainkan menyerbu puncak Bukit Nelayan! Persekutuan yang saling menguntungkan, yang satu pihak hendak memusuhi isterinya dan pihak yang lain memusuhi suaminya. Jadi dapat saling bantu! Maka dia pun berani tertawa bergelak dan wajahnya yang tua akan tetapi masih tampan itu nampak jauh lebih muda kalau tertawa.
"Bagus sekali, Mo-ong. Agaknya memang sudah ditakdirkan bahwa kita akan menjadi sekutu dan sekawan dalam menghadapi apa pun. Engkau dan muridmu menyerbu suaminya, aku dan muridku meringkus isterinya dan anak mereka, dan pekerjaan kita menjadi jauh lebih ringan, bukan?"
Hek-i Mo-ong tertawa. "Huh, engkau dan muridmu, yang dipikirkan hanya perempuan saja. Nah, mari kita berangkat, berjalan sambil merencanakan siasat yang baik...."
Kakek ini menghentikan kata-katanya ketika dia menoleh dan melihat Ceng Liong sedang bekerja menggali tanah dengan kedua tangannya. Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang memandang dengan mata terbelalak. Sungguh mengejutkan melihat cara pemuda remaja itu menggunakan kedua tangannya menggali tanah. Kedua tangannya itu seperti berubah menjadi cangkul baja saja ketika jari-jari tangannya menghunjam ke dalam tanah dan menggali dengan cepatnya. Itulah kekuatan Coan-kut-ci (Jari Penusuk Tulang) yang amat hebat. Sebentar saja Ceng Liong sudah dapat menggali tanah yang cukup lebar dan panjang.
"Ehhh, apa yang kau lakukan?" Hek-i Mo-ong bertanya kaget dan heran.
Tanpa menoleh dan tanpa menghentikan pekerjaannya Ceng Liong menjawab, "Aku tidak mau pergi sebelum mengubur mayat dua orang wanita ini, Mo-ong."
Dia pun menggali semakin cepat, seolah-olah hendak melampiaskan kemarahannya kepada tanah di depannya. Setelah lubang itu cukup besar, dia pun lalu mengangkat dua mayat gadis itu ke dalam lubang, lalu ditimbuninya lubang itu dengan tanah. Sebentar saja dua orang gadis bernasib malang yang telah menjadi mayat itu telah dikuburkan dengan sederhana namun cukup pantas.
"Ha-ha-ha-ha, Mo-ong, muridmu yang gagah perkasa ini sayang sekali berhati lemah!" Jai-hwa Siauw-ok tertawa dan Tek Ciang juga melempar senyum sinis.
"Jai-hwa-cat! Lekaslah kau maju dan kau cobalah kelemahanku!" Tiba-tiba Ceng Liong membentak dan memasang kuda-kuda. Kedua lengannya masih hitam terkena lumpur, sepasang matanya mencorong ketika dia memandang kepada Jai-hwa Siauw-ok.
Dimaki sebagai jai-hwa-cat (Penjahat Pemetik Bunga) orang itu sama sekali tidak marah, bahkan tertawa senang karena julukan itu baginya sama dengan pengakuan dan pujian! Bagaimana pun juga, andai kata dia tidak ingat bahwa pemuda itu murid Hek-i Mo-ong dan terutama sekali pada saat itu Hek-i Mo-ong hadir di situ, tentu dia tidak akan tinggal diam ditantang oleh seorang muda.
"Hemm, orang muda, gurumu dan aku ialah sekutu yang sama-sama akan menghadapi lawan tangguh. Tidak baik jika urusan kecil kita harus bentrok sendiri dan melemahkan kedudukan kita sendiri," katanya.
"Ceng Liong, musuh kita adalah penghuni istana di puncak Bukit Nelayan itu, dan bukan Jai-hwa Siauw-ok. Jangan engkau layani ocehannya tadi, karena memang dia bermulut cerewet seperti perempuan!" kata Hek-I Mo-ong.
Mo-ong sengaja balas menghina untuk meredakan kemarahan Ceng Liong yang tadi dikatakan berhati lemah. Dan Jai-hwa Siauw-ok yang mengerti maksud ucapan Hek-i Mo-ong hanya tersenyum saja, walau pun Tek Ciang memandang marah mendengar gurunya dimaki.
Empat orang itu lalu melanjutkan perjalanan. Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok berbincang-bincang membahas musuh-musuh mereka. Memang terdapat permusuhan antara keluarga yang tinggal di istana tua Khong-sim Kai-pang di puncak Bukit Nelayan itu dengan mereka berdua.
Kam Hong pernah bentrok dengan Hek-i Mo-ong dan kakek iblis ini telah dihajarnya, dan terpaksa mengakui keunggulan pendekar itu. Hal ini membuat Mo-ong merasa penasaran sekali dan hatinya takkan puas sebelum dia dapat membalas kekalahan itu. Ada pun Jai-hwa Siauw-ok mempunyai dendam sakit hati kepada Bu Ci Sian, pendekar wanita yang kini telah menjadi nyonya Kam Hong.
Bu Ci Sian pada belasan tahun yang lalu sudah membunuh Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat). Hal ini amat menyakitkan hati Jai-hwa Siauw-ok, tertama sekali kematian Ji-ok karena Ji-ok adalah gurunya dan juga kekasihnya. Dendam kedua orang datuk sesat itu terjadi belasan tahun yang lalu dan mereka selalu menanti kesempatan untuk dapat membalas dendam.....
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES (seri ke 11 Bu Kek Siansu)
Action(seri ke 11 Bu Kek Siansu)