Vote di awal ⭐
Komen di akhir 💬
꧁ H a p p y R e a d i n g ꧂
“Tak penting bagaimana akhirnya. Yang penting adalah prosesnya. Karena pada tahap itulah memori dan kenangan terbentuk.”
.
.
.
.
.
.
.
.
.
."Daebak!" Starla berdecak takjub menatap ruang tamu Angkasa.
Gadis dengan rambut terurai yang basah itu duduk di salah satu sofa panjang. Ia tak habis-habisnya memandang takjub ke seisi ruangan.
Dari tempat duduknya, Starla langsung bisa melihat dapur mewah yang didominasi warna gold dan cream itu. Ada dua tangga yang berbeda arah, satu ke kanan dan satu ke kiri yang menghubungkannya pada lantai dan ruangan lain. Lampu-lampu indah menggantung di atap, karpet berbulu halus di bawah sofa, lalu tak banyak hiasan dan ornamen di sini, hanya ada beberapa. Tapi semuanya adalah kualitas terbaik karena Starla pernah melihat beberapa benda itu ditayangkan di televisi sebagai pajangan-pajangan termewah di dunia. Starla amat yakin kalau harganya juga fantastis.
Terlalu sibuk memikirkan perkiraan harga salah satu benda itu, Starla dikejutkan oleh tangan besar yang terulur ke arahnya. Bukan apa-apa, kalau sedang memikirkan sesuatu dengan serius, lalu tiba-tiba tersadar karena suatu hal ataupun benda, ia jadi kaget dan parno sendiri. Ya ... mungkin efek suka menonton film horor.
Starla mendongak, menatap manik legam Angkasa yang menginterupsi agar segera mengambil ulurannya. Bukannya mengikuti interupsi Angkasa, Starla justru menatap cowok itu hingga terbengong.
Starla tahu Angkasa tampan, tapi melihat Angkasa dengan rambut setengah basah dan kaus hitam seperti ini membuatnya berkali-kali lipat lebih tampan. Mungkin, kalau di komik-komik, wajah Angkasa akan muncul cahaya menyilaukan karena terlalu tampan.
Kalau para gadis di sekolah melihat Angkasa yang seperti ini ... apa yang terjadi, ya? Tunggu, apa Starla harus memotret pemandangan ini, mencucinya hingga banyak, lalu ia jual dengan harga 10 ribu per lembar. Kalau yang beli 100 orang, Starla akan dapat keuntungan 1 juta, kan? Waw!
Belum sempat menyentuh ponselnya, suara dalam nan tegas milik Angkasa terdengar dan saat melihat tatapan yang tajam itu, Starla jadi mengurungkan niat bisnisnya. Akhirnya, ia memilih mengikuti interupsi Angkasa.
"Apa, nih?"
"Basah," jawab Angkasa, namun tak juga membuat kebingungan Starla mereda.
"Hah?"
"Baju lo."
Starla langsung manggut-manggut paham. Angkasa itu kalau ngomong gak bisa langsung satu kalimat, ya? Kenapa harus dipisah-pisah begitu, sih? Bikin bingung aja. Apalagi untuk dirinya yang males mikir.
"Oh, ini. Gapapa! Cuma basah dikit doang," ujar Starla.
"Ganti," suruh Angkasa
"Gak usah." Starla menggosok hidungnya sekilas. "Berbahaya," lanjutnya pelan.
Angkasa bukan tak mendengar ucapan gadis itu. Ia mendengarnya, dengan sangat jelas. Mungkin, karena gumaman pelan gadis itu setara dengan volume 7+ di televisinya. Ya ... setidaknya Starla masih waras karena berpikir seperti itu. Angkasa sempat berpikir otak Starla sudah dimakan rayap seluruhnya. Ternyata tidak sepenuhnya.
"Dibilang gapapa. Cuma kena hujan sebentar aja." Starla gregetan karena Angkasa mendadak jadi pemaksa seperti ini.
Sebelum mendudukkan dirinya di sofa seberang, Angkasa kembali memandang Starla dan bertitah, "ganti. Lagian..." Dia meneliti penampilan Starla dari atas hingga bawah. "Gak tertarik," lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Angkasa! [COMPLETED]
Teen Fiction"GUE SUMPAHIN LO SUKA SAMA GUE!" "Mimpi." __________________________________ Angkasa cuek, Starla hiperaktif. Angkasa tenang, Starla heboh. Angkasa realistis, Starla dramatis. Angkasa benci direpotkan, Starla hobi merepotkan. Bagi Angkasa, hidupnya...