2. Falling Apart

18.8K 2.2K 599
                                        

Mentari pagi menembus vitrage putih yang terbentang di jendela kamar rumah bertingkat dua bergaya modern minimalis di kawasan elite Patal Senayan, Jakarta. Pancaran sinar matahari membuat suhu di kamar menjadi lebih hangat mengimbangi semburan pendingin ruangan. Kehangatan yang mampu menggugah semangat Jovita untuk menyambut hari. Ia berdiri di depan meja riasnya, mematut pakaian, mengafirmasi diri, bersiap untuk menjalani rangkaian aktivitasnya hari ini.

Berbalut pencil dress, tubuh semampai Jovita setinggi 170 cm, terlihat memesona. Busana berwarna hitam yang menutupi hingga bawah lututnya memperlihatkan kakinya yang indah. Sebuah ikat pinggang kecil yang dililitkan menonjolkan lekuk tubuh bak gitar Spanyol. Rambut sedada berwarna nutty mocha–perpaduan cokelat dan sedikit nuansa oranye kemerahan–dengan ujung yang bergelombang natural, menegaskan professional-looks pada tampilannya.

Ezra yang baru saja keluar dari kamar mandi, mengamati penampilan Jovita sejenak, lalu memeluknya dari belakang. "You're getting prettier every day." Ia menciumi tengkuk istrinya.

Jovita tersenyum. Sudah dua bulan, sejak kejadian penamparan pertama, Ezra terlihat amat menyesal. Ia bersikap sangat manis, tiap hari selalu membawakan berbagai makanan kesukaan Jovita, menghujani dengan hadiah, menyempatkan diri makan siang bersama di sela kesibukan, bahkan sesekali mereka melanjutkan dengan check-in hotel untuk sekadar melampiaskan hasrat yang tiba-tiba menggelora. Berulang kali, Ezra menyampaikan penyesalannya telah menyakiti fisik Jovita. Kondisi lelah akibat tumpukan kasus berat menjadi dalih mengapa ia khilaf melakukannya. Alasan yang dengan mudah dimaklumi dan diterima oleh Jovita, seperti yang banyak dilakukan oleh istri lain saat suami melakukan kesalahan.

"Bagaimana jika akhir pekan ini kita pergi berdua saja?" usul Ezra menghirup aroma citrus yang menguar dari rambut istrinya.

"Mau ke mana?" tanya Jovita sambil menyandarkan tubuhnya di dada bidang Ezra.

"Terserah kamu, Bali, Lombok, Singapore. Mana saja yang kauinginkan." Ezra menciumi pipi istrinya.

"Akhir pekan ini aku sudah janji menemani Vanya ke toko buku, lagi pula seminggu ini kita selalu pulang malam. Kasihan Vanya jika harus ditinggal," tolak Jovita dengan halus.

Ezra mendengkus kecewa.

Jovita membaca ekspresi Ezra, tak ingin suaminya kembali kesal. "Kalau bulan depan, bagaimana?"

"Bulan depan?" Ezra membelalakkan mata.

"Bulan ini kegiatanku padat sekali. Sudah pasti akan pulang malam saat Vanya sudah tidur. Rasanya aku hanya bisa membayar kebersamaan dengannya di akhir pekan. Jadwal bulan depan masih bisa kuatur," usul Jovita.

"Jadi, sekarang aku tidak lebih penting dari pekerjaanmu?"

Jovita memutar tubuh, mengalungkan tangan di leher Ezra, memandangi mata indah beriris gelap di hadapannya. "Bear, jangan berkata seperti itu! Kamu tahu betapa berartinya kamu dan Vanya bagiku, tapi komitmen pekerjaan tentu tidak dengan mudah kuabaikan. Kamu juga tahu usaha kerasku merintis semua ini."

"Kurasa membatalkan satu atau dua seminarmu bukan hal sulit, kamu bisa meminta rekanmu menggantikan. Itu jika aku memang masih prioritas dalam hidupmu." Nada suara Ezra terdengar seperti anak merajuk.

Jovita tertawa kecil. Kedua tangannya meremas gemas pipi Ezra. "Kamu kadang lebih kekanakkan dibanding Vanya."

"Oh, ya? Jadi, ada pria lain yang lebih dewasa?" tukas Ezra, nada suaranya meninggi.

"Astaga! Kenapa kamu ngomong gitu, sih?"

"Menurutmu kenapa?" Suara Ezra penuh amarah.

Jovita menggeleng-gelengkan kepala. Lagi-lagi perubahan mood Ezra yang membingungkannya. "Aku tidak punya waktu untuk meladenimu." Ia mendengkus, tidak mau merusak paginya dengan kejadian semacam ini. Ada seminar yang harus diisi siang nanti, tidak ingin mood-nya kacau. Ia membalikkan tubuh, kembali menghadap cermin.

Estuari HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang